Nb : konten sensitif untuk usia 18 tahun ke atas !
Parade Hitam, wabah Menari.
Kisah kelam dalam hidup dan musik.
Tentang hati seorang anak manusia,
mencintai tapi membenci diri sendiri.
Sebuah kisah gambaran dunia yang berantakan ketika adanya larangan akan musik dan terjadinya wabah menari yang menewaskan banyak orang.
------------------------------------------------
Menceritakan tentang Psikopat Bisu yg mampu merasakan bentuk, aroma, bahkan rasa dari suatu bunyi maupun suara.
Dia adalah pribadi yang sangat mencintai musik, mencintai suara kerikil bergesekan, kayu terbakar, angin berhembus, air tenang, bahkan tembok bangunan tua.
Namun, sangat membenci satu hal.
Yaitu, "SUARA UMAT MANUSIA"
------------------------------------------------
Apa kau tahu usus Manusia bisa menghasilkan suara?
Apa kau tahu kulitnya bisa jadi seni indah?
Apa kau tahu rasa manis dari lemak dan ototnya?
Apa kau tahu yang belum kau tahu?
Hahahaha...
Apakah kau tetap mau menari bersamaku?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sad Rocinante, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian II - Birth Of Silence
Berbondong-bondong lah para penduduk yang penasaran akan ajakan Si Kakek dan mengikutinya.
"Itu ... itu!"
Si Kakek menunjuk kearah kolong jembatan yang membuat para pria-pria disana langsung turun untuk melihat apa yang terjadi.
"Hey ... ada seorang wanita disini sepertinya, ada kah yang membawa obor?"
Teriak salah seorang pria dari balik gelapnya kolong jembatan yang lembap.
"Ya ya, saya punya."
Jawab seorang wanita di belakang rombongan yang langsung memberikan obor yang dia bawa kepada orang di depannya agar di lanjutkan kepada para pria di bawah jembatan sana.
"Ya, ada seorang wanita dan bayinya di sini, tolong panggil dokter atau biarawati," teriak pria disana.
"Ayo, panggil dokter di dekat gereja saja."
Beberapa orang pergi untuk memanggil dokter dan membawanya untuk menemui wanita dan bayi nya yang berada di bawah jembatan tersebut.
Sesampainya dokter disana alangkah terkejutnya dia dan orang yang memanggilnya karena orang-orang yang banyak tadi nampak ketakutan dan menjauhi jembatan itu.
"Hai, apa yang terjadi?" Dokter Olliver bertanya kepada orang-orang.
"Wanita yang melahirkan itu adalah si penyihir bermata biru, dan anak haramnya juga bermata biru, kami tidak sudi berdekatan dengan mereka," jawab orang-orang itu.
Dokter Olliver adalah orang yang pendiam dengan badan yang kerdil dan rambut berantakan. Sebagai seorang dokter dia cukup bangga atas pekerjaannya sehinga mau tidak mau dia harus menyelamatkan ibu dan bayi itu agar namanya tidak rusak hanya karena ketakutan konyol terhadap mitos penuh tetek bengek seperti itu, dia adalah seorang yang percaya kepada ilmu pengetahuan dan tidak percaya akan hal-hal gaib atau apapun itu.
"Baik, dimana mereka?" tanya Dokter Olliver.
"Disana di bawah jembatan," balas orang disana menunjuk arah kolong jembatan.
Dokter Olliver dengan berani menuruni jalan menuju kolong jembatan walau sedikit kesulitan karena ukuran tubuhnya.
"Berikan obor nya," ucap Dokter kepada salah seorang pria dengan angkuh.
"Hufff ... ayo kita lihat ada apa sebenarnya."
'Jadi wanita ini baru saja melahirkan bayinya sendiri, lalu aneh sekali kenapa tidak terdengar tangisan, apakah bayinya gagal terlahir dalam keadaan hidup?' bisik Dokter Olliver dalam hati.
"Hei, wanita! apa kau mendengarku?" tanya sang dokter yang telah berdiri di depan Saroh.
Karena sama sekali tidak ada jawaban dari wanita tersebut membuat Dokter Olliver penasaran dan menggerakkan kaki wanita itu.
Namun, ternyata kakinya telah dingin dan beku karena wanita tersebut telah meninggal kira-kira tiga atau empat jam yang lalu dengan mata yang masih terbuka menatap Sang Bayi di pangkuannya.
"Tenang semua! wanita yang kalian percayai sebagai penyihir telah meninggal begitu pula bayi nya," terang sang Dokter kepada para penduduk.
"Syukurlah kita dijauhkan oleh Tuhan dari para pendosa seperti mereka." Para penduduk merasa lega dan senang.
Tiba-tiba Si Kakek merebut obor itu dari tangan dokter untuk memastikan apa benar mereka telah mati, karena dia sangat yakin bahwa tadi dia melihat ada suatu hal yang bergerak.
Benar saja, ternyata bayi itu masih hidup dan bergerak-gerak, mulutnya terbuka dan wajahnya memerah seperti sedang menangis kencang namun tidak terdengar suara sedikit pun dari padanya. Sang Dokter merasa terkejut dan malu karena dugaan yang telah dia sebutkan tadi ternyata salah, dia merasa bahwa mereka berdua telah mati karena tadinya sama sekali tidak terdengar suara sama sekali. Untuk memperbaiki reputasinya dia dengan cepat memeriksa Bayi tersebut.
"Wah, ternyata benar Bayi ini masih hidup, dia bukanlah tidak menangis, tetapi tidak bisa bersuara," ucap dokter sembari menurunkan bayi dari pangkuan ibunya agar darah yang masih tertinggal dalam tali pusar turun mengalir kepada Bayi.
Setelah menunggu sekitar lima menit, Dokter Olliver memakai sarung tangan dan mengambil sebuah kotak dari kantong nya, dari dalam kotak dia mengambil sebuah tali dari kain dan membasuhnya dengan cairan alkohol, mengikatkan tali tersebut ke pusar Si Bayi dengan jarak 6 sentimeter dari pangkal pusar di perut bayi, selanjutnya menjepitnya dengan dua buah jepitan, dimana yang pertama menjepit pusar dekat dengan tali dan yang satunya lagi menjepit pusar dengan jarak 5 sentimeter dari jepitan yang pertama, setelah menunggu sekitar tiga puluh detik sang Dokter mengoleskan kain bersih yang telah disirami alkohol ke kulit pusar yang telah dijepit tersebut dan membersihkan gunting nya juga dengan mengelapnya menggunakan kain lain yang telah disirami alkohol juga.
Merasa semuanya telah baik dan steril, Sang Dokter memotong pusar yang telah dijepit dan melepaskan jepitannya serta menampung aliran darah yang masih keluar dari pusar yang masih terhubung dengan Si Ibu ke dalam botol kaca. Menurut kepercayaan ilmu pengetahuannya darah tali pusar memiliki khasiat yang luar biasa sebagai obat.
Ketika Dokter Olliver telah melepaskan jepitan yang tersisa, dia berdiri dan ingin menggendong Si Bayi, tetapi tiba-tiba dia merasa merinding ketakutan melihat mata biru yang menatapnya penuh arti seperti sedang mendengarkan hati dan isi pikirannya saja.
"Tolong diangkat pak tua," pinta Dokter Olliver kepada Si Kakek di sampingnya.
Setelah Bayi telah ada dalam pangkuan Si Kakek, Dokter Olliver mulai bertanya.
"Siapakah yang masih punya pertalian darah dengan Bayi ini ataupun Ibunya?"
Dokter Olliver menatap semua orang disana. Namun, satu persatu dari mereka menggelengkan kepala.
"Bagaimana dengan kau, Kakek Tua?" Dokter melirik Si Kakek.
Dengan cepat Si Kakek menggelengkan kepala mengatakan bahwa dia sama sekali tidak mengenal mereka dan dia menyangkalnya. Tiba-tiba lonceng raksasa pertanda berakhirnya parade telah berdentang keras.
Tangg ...
Tengg ...
Tanggg ...
Tenggg ....
Orang-orang disana saling menatap bertanya tanya bagaimana nasib Si Bayi kedepannya, sementara yang lain telah berlarian ke arah pengadilan untuk menerima hadiah satu franc.
Melihat itu Dokter Olliver memutuskan agar Si Bayi diberikan saja kepada Polisi disana, agar merekalah yang akan membayar kerja kerasnya dan mereka yang akan mengurus bayi sialan itu.
***
Tibalah mereka di depan halaman pengadilan, dimana telah banyak orang-orang bekumpul untuk menerima hadiah dari Polisi yang menjaga.
Para Polisi itu dipimpin oleh Monsieur Didyer sebagai Kepala Polisi yang baru menggantikan Kepala Polisi sebelumnya.
Dari balik kerumunan berjalan lah Sang Dokter bersama Si Kakek dan Bayi dalam gendongannya menembus bau busuk dan keributan orang-orang.
"Wahai Pak Polisi yang dermawan, tolong dengarkan permintaan saya sebentar," pinta Sang Dokter kepada Kepala Polisi.
"Apakah yang ingin kamu katakan Dokter? tolong cepat katakan saja karena saya tidak punya waktu banyak untuk meladeni kalian-kalian ini." Monsieur merasa muak berada di antara gelandangan kota.
"Kami menemukan seorang bayi bersama ibunya di bawah jembatan, tetapi ibunya telah meninggal sehingga bayi ini adalah milik pemerintahan saat ini, dan sebagai mana peraturan yang berlaku, bahwa adanya bayaran yang akan saya terima sebagai dokter yang membantu persalinan harus dibayarkan oleh kerajaan, begitulah." Dokter menjelaskan agar Bayi itu menjadi tanggung jawab Polisi tersebut.
"Dasar sialan! kau pikir saya ini pencuci kotoran bayi?" bentak Monsieur.
"Sungguh saya tidak bermaksud demikian, saya hanya mengingatkan bahwa peraturan kerajaan itu harus dijalankan sebagaimana mestinya, dan saya yakin Bapak telah mengetahui pasti akibat dari menentang peraturan, bukan?"
Mendengar penjelasan dari Si Dokter menyebalkan membuat Sang Monsieur hanya bisa menelan ludahnya saja karena dia telah tahu pasti hukuman apa yang akan dia terima jika melawan hukum dan peraturan.
"Baik, letakkan saja Bayi itu di dalam sana dan ini bayaranmu," bentak Monsieur merasa kesal.
Monsieur melemparkan tiga franc kepada dokter, satu franc sebagai hadiah dan dua lagi sebagai bayaran.
"Hei prajurit! Kau dan yang lain urus lah mayat wanita di bawah jembatan sana," perintah Monsieur kepada bawahannya.
Setelah itu dia mulai memikirkan bagaimana cara menyingkirkan bayi sialan itu dari hadapan atau tanggung jawabnya, awalnya dia berpikir untuk membawa bayi tersebut untuk dibuang saja ke sungai atau kemanapun itu asalkan tidak membebaninya seperti ini.
Namun, ketika dia mulai bertatapan mata dengan Si Bayi badannya mulai merinding seakan seluruh tubuhnya sedang diamati oleh bayi itu, ketika dia berjalan mengelilingi meja tempat Si Bayi tergeletak mata bayi itu seperti terus menatap dan mengikutinya dengan tajam, padahal dia tahu pasti bahwa Bayi baru lahir masih lah buta dan tidak dapat melihat.
Dia yang tiba-tiba lemas dan ketakutan mencoba menenangkan pikirannya dengan terduduk di sudut ruangan yang lumayan jauh dengan tempat Si Bayi.
"Hei Bayi aneh, ada apa denganmu sebenarnya? Apa kau bisa melihatku? Ahh ... apa yang kupikirkan, apakah aku sudah gila mengajak seorang bayi berbicara?"
Monsieur meyakinkan dirinya bahwa bayi itu cuman seorang bayi seperti bayi pada umumnya, yaitu bayi-bayi merepotkan yang bisa membuat kepala serasa meledak jika memikirkannya.
"Dasar Bayi sialan, betapa bodohnya aku sempat percaya bahwa kau bisa melihatku," ucap Monsieur menepis segala keraguannya.
Namun, dia semakin terkejut lagi karena bayi itu sepertinya memang benar-benar bisa melihatnya, meski dia telah menjauh dari Si Bayi, tetapi tetap saja pandangan mata bayi itu selalu tahu dimana keberadaannya, seakan dengan tatapan rasa jijik bayi itu seperti sedang mengutuki dirinya, membuat Monsieur Didyer semakin merinding saja sampai-sampai dia keluar dari ruangan itu untuk menjauh dari bayi haram dan paling menyeramkan yang pernah dia lihat sepanjang hidupnya.
Di luar nampaknya keramaian telah berangsur-angsur berkurang karena pembagian hadiah telah hampir selesai dilaksanakan, sementara itu Monsieur Didyer terus‐terusan dibuat pusing bagaimana cara agar Si Bayi dikirim saja ke rumah yatim-piatu.
Masalahnya saat ini adalah bayi sialan ini adalah bayi yang belum dibaptis, sedangkan panti asuhan hanya menerima bayi-bayi yang sudah dibaptis dan memiliki sertifikat transportasi resmi karena biasanya bayi akan dikirimkan ke panti asuhan di luar kota, dan karena belum dibaptis maka panti asuhan tidak akan mau menerima bayi tersebut dengan alasan ketidak jelasan asal-usul dan kesulitan dalam transportasi nantinya .
Sempat Monsieur berencana untuk menyelundupkan bayi itu ke rumah yatim-piatu secara diam-diam, tetapi ini sangatlah beresiko, jika perbuatannya ketahuan maka jabatannya akan menjadi taruhan, dan dia sama sekali tidak mau mengalami hal itu.
Merasa tidak ada lagi jalan lain selain memberikan tanggung jawab menyebalkan ini kepada pihak gereja, walaupun itu dengan cara kotor.
Keesokan harinya Monsieur menenteng bayi itu di dalam sebuah keranjang belanja istrinya, secara diam-diam menyelinap bak pencuri melalu lorong-lorong sempit kota menuju gereja terdekat.
Sesampainya Monsieur di gereja itu, dia berdoa memohon pengampunan dan belas kasihan sebelum membuang bayi itu di depan altar gereja dengan harapan para pendeta atau biarawan disanalah yang akan bertanggung jawab akan bayi tersebut.
Monsieur tidak mau tahu dengan hal apa yang akan dilakukan oleh gereja kepada bayi sialan itu, apa mereka mau membaptis dan memutuskan nasibnya lebih jauh ataupun malam membuang bayi tersebut sama seperti hal yang sekarang dia lakukan.
Jadilah sang Monsieur membuang Si Bayi ke Gereja Santo Yosep yang terletak di jalan Diori yang merupakan perbatasan antara kota Nolohopis dan kota Egolm.
Pada siang hari ketika seorang biarawati datang untuk berdoa kedalam gereja, amat terkejut lah dia karena melihat seorang bayi di dalam keranjang yang telah tertinggal di altar gereja tersebut. Awalnya dia mengira bahwa orang tua bayi itu kelupaan akan bayinya sampai-sampai meninggalkan bayi manis itu sendirian.
Namun, sudah lelah dia mencari kemana-mana dan menanyakan kepada setiap orang disana termasuk pedagang maupun biarawan yang lain tetapi sama sekali tidak ada yang tahu ataupun kenal dengan bayi tersebut.
Sebagai jalan terakhir Sang Biarawati bernama Meery ini membawa Si Bayi ke hadapan Pendeta Abiel yang merupakan Kepala Gereja di sana.
Berjalan lah Meery ke arah ruangan Sang Pendeta, Pendeta nampaknya sedang sibuk menuliskan karangan bukunya yang paling dia agung-agungkan. Merasa terganggu oleh kedatangan Meery yang bertanya tentang nasip seorang bayi yang dia temukan di altar gereja membuat Pendeta Abiel dengan cepat menyetujui agar bayi itu segera dibaptis saja karena kotak amal gereja masih belum kering dan dia sedang tidak ingin diganggu.
Akhirnya disana bayi itu dibaptis dengan nama Mercury Saint-Yosep, dan beruntungnya dia diasuh oleh Biarawati Meery sendiri yang bertugas sebagai ibu susu dengan bayaran tiga franc seminggu di biara gereja Santo Yosep sampai dia dipindahkan ke panti asuhan yang akan ditentukan oleh pemimpin gereja nantinya.
pokoknya netral dah, baru kali ini ketemu novel klasik kayak novel terjemahan aja