Nadira Ghautiah hanyalah seorang gadis berhijab yang kesehariannya bekerja sebagai akuntan. Ia tak menyangka hidupnya akan berubah 180 derajat saat bertemu seorang pria yang dikejar-kejar pembunuh.
Situasi itu membawanya pada posisi rumit nan mencekam. Kejadian demi kejadian yang berbahaya terus mengikutinya. Demi keselamatan hidupnya, ia terjebak dalam pernikahan paksa dengan Arsenio Harrington, Sang Pewaris tunggal kerajaan bisnis Harrington.
Mampukah Nadira menerima kenyataan pernikahan yang jauh dari bayangannya dan menerima fakta bahwa suaminya adalah seorang pewaris yang dingin dengan masa lalu kelam.
Bagaimana kisah selanjutnya? Nantikan hanya di novel Cinta Sejati Sang Pewaris.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hernn Khrnsa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CSSP Ep. 15
Sudah hampir setengah jam Nadira berdiri di pojok ruangan. Arsen benar-benar serius dengan ucapannya. Ia membiarkan Nadira berdiri di sana padahal ia tahu bahwa kaki gadis itu belum sepenuhnya sembuh.
Rasa sakit dan kram di kaki mulai terasa menyiksa Nadira. Arsen bukannya tak tahu kalau Nadira kesakitan. Ia tahu, bahkan tak tega. Tapi, seseorang harus tahu batasannya.
Dengan tergesa Galen masuk. "Tuan, gawat!" jeritnya begitu masuk, membuat Arsen dan Nadira menoleh seketika.
"Tuan, apartemen di Jl. Utara terbakar," bisiknya. Mata Arsen membulat.
"Apa? Bukankah itu tempat tinggal?" sesaat Arsen melirik Nadira, gadis itu masih setia berdiri. Galen mengangguk, mengiyakan pertanyaan Arsen.
"Menurutmu, apakah ini sebuah kecelakaan?" tanya Arsen seraya beranjak dari duduknya. Mengajak Galen keluar, tak ingin sampai Nadira mencuri dengar. Apalagi mengetahui berita itu, takutnya, jika Nadira tahu, gadis itu akan langsung pingsan.
Galen tampak menutup pintu. "Sebelumnya, pengawal yang kita perintahkan di sana melihat ada gerak-gerik yang mencurigakan dari sekelompok orang. Kami menduga itu orang dari organisasi hitam yang mengincar Tuan Muda belakangan ini," Galen menjelaskan situasi sebenarnya.
"Mereka sampai berani membakar fasilitas seperti itu takutnya memang sudah menargetkan Tuan Muda. Memancing Tuan Muda untuk keluar, dan lagi, mereka pasti sudah menyelidiki keberadaan Nadira sebelumnya. Makanya mengambil langkah ekstrem seperti ini."
Arsen memandangi keindahan di luar kantornya. Hilir mudik kendaraan ramai melintas. Panasnya terik menyorot tiap kepala yang berjalan di tepian jalan.
"Kau benar, aku takut mereka mulai menargetkan gadis itu," balasnya seraya menyusupkan kedua tangannya ke dalam saku celana.
"Lalu Tuan, apa yang harus kami lakukan?"
Arsen tampak menimbang. 'Jika dugaanku benar, ini seharusnya adalah peringatan. Mereka pasti menginginkan flashdisk itu. Heh, para bajingan itu mau bermain denganku? Baiklah!'
"Kau cari tahu berapa banyak korban atas insiden kebakaran itu. Dan beri para korban itu ganti rugi. Terus selidiki mereka, sisanya biar aku yang urus sendiri," ujar Arsen yakin.
"Dan bagaimana Nona Nadira, Tuan?"
"Kau begitu mengkhawatirkannya sekarang? Urus saja pekerjaanmu!" sentaknya tak suka.
"Ah, baik Tuan Muda. Saya permisi," pamitnya langsung pergi dari sana. Sedangkan Arsen kembali ke ruangannya.
Nadira tampak lemah, kepalanya tertunduk. Menyentil rasa iba Arsen meski sedikit. Lelaki itu berdeham, mau tak mau Nadira mendongak. "Maaf, Pak! Tadi ada kecoa!" Nadira menggoyangkan kakinya yang terasa mati rasa.
"Kemarilah, saya punya informasi yang harus kamu ketahui," ujar Arsen seraya mengambil duduk di sofa ruangannya. Nadira pun turut mendaratkan bokongnya di kursi yang tersedia.
Arsen menyodorkan tab-nya kepada Nadira yang menayangkan video kebakaran apartemen Nadira. Mata gadis itu membulat sempurna. Tak percaya.
"Apa-apaan ini Pak? Bercandanya gak lucu!" sentak Nadira, kesal. Dadanya naik turun oleh amarah. Rasa sakit di kakinya tak ia pedulikan lagi, padahal beberapa waktu lalu kakinya berdenyut nyeri.
Arsen mematikan tab-nya. "Saya tidak bercanda, Nadira. Tempat itu memang terbakar, kamu bisa tonton televisi sekarang. Seharusnya berita kebakaran itu sedang diliput reporter," ucapnya tak berekspresi.
Nadira langsung merebut remot televisi dari Arsen. Menyalakan televisi. Dan benar saja, siarang langsung kebakaran itu sedang ditayangkan. Api itu hampir membabat habis bangunan. 3 truk pemadam kebakaran berbaris menenangkan api yang berkobar nyala. Nadira lantas luruh ke lantai.
Kakinya tak kuasa menahan berat tubuhnya lagi. Tangis tak tertahan, pipinya banjir air mata. "Tidak mungkin... Semua ini tidak mungkin!" teriaknya histeris.
"Maafkan saya. Saya janji akan mengganti semua kerugian yang kamu alami. Perusahaan akan menyediakan tempat tinggal yang baru dan juga mengganti semuanya tak terkecuali." Arsen berupaya menenangkan Nadira yang meraung.
"Semuanya pasti gara-gara Pak Arsen!"
"Apa?"
"Iya, semuanya ini pasti karena Pak Arsen, kan? Pak Arsen begitu angkuh dan kaya. Membakar sebuah tempat tinggal tak akan langsung menghabiskan uangmu, ya kan?"
"Tapi Anda tahu apa soal rumah? Tak Lebih dari sebuah bangunan yang bisa diganti. Tahu apa Anda selain soal ganti mengganti kerugian, hah?!" Nadira berseru marah.
Sakit hatinya ia lampiaskan pada lelaki di hadapannya. Tak peduli lagi pada jabatan atau apapun itu. Ia hamburkan semua laku orang lain hanya pada Arsen seorang.
"Tempat tinggalku, semuanya... sudah hancur," lirih Nadira masih tak percaya.
Arsen terdiam, mendiamkan Nadira meluruhkan semua perasaannya. Meski Arsen tak terima juga disalahkan, tapi ia berusaha diam. Yang dikatakan Nadira memang ada benarnya, semuanya mungkin salah Arsen.
Jika saja waktu itu ia tak mengikut sertakan Nadira dalam masalahnya. Mana mungkin orang-orang itu akan mengusik gadis polos yang tak tahu apa-apa.
Arsen berjalan ke luar, meninggalkan Nadira yang masih terisak di lantai. Tak apa jika ia ingin menangis, yang seharusnya Arsen lakukan sekarang adalah menyelesaikan semuanya sebelum orang-orang itu berulah kembali.
Kalian berani usik tenangku. Maka jangan salahkan aku jika menghancurkan kedamaian kalian...
salam kenal untuk author nya