Nandana Panesthi, seorang istri yang sempurna di mata orang-orang, terjebak dalam pernikahan tanpa cinta dengan Dimas Larung Mahdiva, pria ambisius yang lebih mencintai kekuasaan daripada dirinya. Kehidupan rumah tangga mereka yang tampak harmonis hanyalah topeng dari kebekuan yang semakin menusuk hati Nanda.
Hingga suatu hari, Sanjana Binar Rimbawa hadir seperti badai di tengah gurun kehidupan Nanda. Seorang pria dengan tatapan yang dalam dan kata-kata yang mampu menghidupkan kembali jiwa yang hampir mati. Sanjana bukan sekadar selingkuhan dia adalah pria yang menempatkan Nanda di singgasana yang seharusnya, memperlakukannya bak ratu yang selama ini diabaikan oleh suaminya.
Namun, cinta terlarang ini tak semudah kelihatannya. Di balik kelembutan Sanjana, tersimpan rahasia yang mengancam segalanya. Sementara Dimas mulai mencurigai perubahan sikap Nanda dan bertekad untuk mengungkap siapa pria yang berani merebut perhatian istrinya.
Akankah Nanda menemukan kebahagiaan sejati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NinLugas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pernikahan Sempurna
Siang itu, mentari bersinar cerah di langit kota, seolah tak peduli dengan gundah yang merundung hati Nandana Panesthi. Berdiri di depan cermin besar di kamarnya, Nanda menatap pantulan dirinya yang tampak begitu sempurna dalam balutan gaun pengantin putih gading. Segalanya terlihat indah, begitu memukau namun jauh di dalam hatinya, semua terasa kosong.
"Nanda, kamu sudah siap?" suara ibunya, Ny. Saraswati, terdengar dari balik pintu. Nada suaranya tegas, seperti perintah yang tak bisa dibantah.
Nanda menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab, "Iya, Bu. Aku siap."
Tapi apakah ia benar-benar siap? Siap untuk menikah dengan Dimas Larung Mahdiva, pria yang hanya dikenalnya sebagai teman masa kecil? Siap untuk menjalani kehidupan yang tak pernah ia inginkan?
Pernikahan ini bukanlah keinginannya. Sejak kecil, Nanda selalu mengikuti apa yang diinginkan ibunya. Pendidikan, karier, bahkan pergaulannya semua berada di bawah kendali Ny. Saraswati. Dan kini, pernikahannya pun menjadi bagian dari rencana besar ibunya.
"Dimas adalah pilihan terbaik, Nanda. Dia pengusaha sukses, punya masa depan cerah, dan yang paling penting, dia mencintaimu," ucap ibunya beberapa minggu lalu, saat pernikahan ini pertama kali dibicarakan.
Namun, cinta? Itu adalah kata yang terasa asing bagi Nanda ketika berhubungan dengan Dimas.
Di aula pernikahan, para tamu mulai berdatangan. Musik lembut mengalun, menghiasi suasana yang seharusnya penuh kebahagiaan. Dimas berdiri di depan altar, tampak gagah dalam setelan jas hitamnya. Wajahnya tenang, penuh percaya diri, seperti seorang pria yang tahu bahwa hidupnya telah berjalan sesuai rencana.
Bagi Dimas, pernikahan ini adalah langkah strategis. Dengan menikahi Nanda, ia tidak hanya mendapatkan seorang istri yang cantik dan cerdas, tetapi juga memperkuat posisi bisnisnya melalui koneksi keluarga Panesthi. Baginya, cinta hanyalah bonus yang tidak terlalu penting.
Bagi Dimas, Nanda adalah sosok yang selalu ia inginkan sejak mereka masih remaja. Ia mengagumi kecantikan dan kecerdasan Nanda, meski gadis itu tak pernah menunjukkan minat yang sama padanya. Namun, Dimas bukanlah pria yang mudah menyerah. Ia yakin bahwa segala sesuatu bisa dicapai dengan usaha dan ketekunan, termasuk hati Nanda.
Ibu Saraswati menerima lamaran Dimas bukan tanpa alasan. Bagi wanita itu, Dimas adalah pilihan terbaik untuk masa depan putrinya. Seorang pengusaha muda yang sukses, cerdas, dan Memiliki latar belakang keluarga yang terpandang. Ia yakin bahwa dengan menikahi Dimas, Nanda akan memiliki kehidupan yang mapan dan terhormat.
Di sisi lain, Nanda hanya bisa menerima keputusan ibunya dengan pasrah. Baginya, pernikahan ini bukanlah tentang cinta, melainkan tentang kewajiban. Ia tidak pernah mencintai Dimas, dan mungkin tidak akan pernah. Namun, sebagai anak yang selalu patuh pada ibunya, Nanda tidak memiliki pilihan lain selain menerima nasibnya.
Di ruang ijab kabul, Dimas mengucapkan janji suci dengan suara mantap dan penuh keyakinan. Tangannya bergetar sedikit saat menggenggam tangan wali Nanda, namun matanya memancarkan kebahagiaan yang tak terbantahkan. Baginya, ini adalah awal dari kehidupan baru bersama wanita yang telah lama ia dambakan.
Sementara itu, Nanda duduk diam di samping ibunya, matanya menatap lurus ke depan tanpa ekspresi. Di balik senyum tipis yang terlukis di wajahnya, ada perasaan hampa yang sulit ia jelaskan.
“Mbak, bahagia?” tanya Dayu Nigrum, adik Nanda yang baru berusia lima belas tahun. Suaranya pelan, tapi cukup jelas untuk memecah keheningan yang menyelimuti kamar pengantin Nanda.
Nanda menoleh, menatap wajah polos Dayu yang berdiri di ambang pintu. Gadis itu mengenakan gaun sederhana, rambutnya yang panjang tergerai, dan matanya memancarkan rasa ingin tahu yang tulus.
Pertanyaan itu terasa seperti duri yang menusuk hati Nanda. Apakah ia bahagia? Sejak ijab kabul selesai beberapa jam lalu, ia berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa ini adalah keputusan terbaik. Namun, di dalam hati kecilnya, ia tahu jawaban sebenarnya.
“Bahagia, Dayu,” jawab Nanda dengan senyum tipis, mencoba menyembunyikan kegelisahan yang menguasainya. Ia meraih tangan adiknya dan mengajaknya duduk di tepi ranjang. “Mbak sudah menikah dengan Mas Dimas, dan itu yang diinginkan Ibu.”
Dayu memandang kakaknya dengan tatapan penuh keraguan. “Tapi Mbak tidak terlihat seperti orang yang bahagia. Mata Mbak... kosong.”
Nanda terdiam. Kalimat itu membuatnya terhenyak. Dayu, meski masih muda, selalu bisa membaca apa yang tersembunyi di balik senyum Nanda. Selalu peka terhadap hal-hal yang orang lain abaikan.
“Mbak hanya lelah,” ucap Nanda akhirnya, menepuk lembut tangan Dayu. “Hari ini melelahkan, tapi semuanya akan baik-baik saja.”
Dayu menggenggam tangan Nanda lebih erat. “Aku harap begitu, Mbak. Aku hanya ingin Mbak bahagia. Bukan karena yang lain, tapi karena Mbak memang ingin bahagia.”
Kata-kata Dayu menggema di kepala Nanda saat adiknya berlalu pergi, meninggalkan dirinya sendirian di kamar. Nanda menatap cermin di depannya. Gaun pengantin putihnya masih terbalut rapi di tubuhnya, rambutnya masih tertata sempurna. Ia terlihat seperti seorang pengantin yang bahagia.
Namun, di balik semua itu, ada seorang wanita yang bertanya-tanya: kapan kebahagiaan itu akan benar-benar menjadi miliknya?
***
Malam pertama Nanda terasa begitu sunyi. Duduk di tepi ranjang dengan masih mengenakan gaun pengantin yang belum sempat ia lepas, ia menatap pintu kamar yang tertutup rapat. Dimas Larung Mahdiva, suaminya yang baru saja resmi mengikat janji suci bersamanya, tak kunjung datang.
Waktu terus berlalu. Jarum jam di dinding kamar terus berdetak, menandai menit demi menit yang terasa semakin lambat. Nanda menunggu dengan sabar, berharap Dimas akan segera pulang dan memulai malam pertama mereka sebagai suami istri. Namun, harapan itu semakin pudar seiring waktu berlalu.
Di luar sana, Dimas tidak sedang memikirkan Nanda. Lelaki berusia 29 tahun itu justru menghabiskan malam pertamanya di sebuah klub malam bersama teman-temannya. Dentuman musik yang menggema, lampu neon yang berpendar-pendar, dan gelas-gelas berisi minuman beralkohol menjadi teman setianya malam itu.
“Bro, lo baru aja nikah, tapi udah di sini lagi? Istri lo nggak nyariin?” tanya salah satu temannya sambil menepuk bahu Dimas.
Dimas tertawa ringan, mengambil tegukan dari gelasnya. “Biarin aja. Dia pasti ngerti. Lagian, gue nggak perlu buru-buru pulang.”
“Serius lo? Ini kan malam pertama,” temannya menimpali dengan nada heran.
Dimas hanya mengangkat bahu. Baginya, pernikahan ini bukan tentang cinta, melainkan tanggung jawab dan status. Ia menikahi Nanda lebih karena desakan keluarga dan tuntutan sosial, bukan karena ia benar-benar mencintainya.
Di kamar yang sepi, Nanda akhirnya berdiri dari tempat tidur. Ia berjalan menuju jendela, menatap malam yang gelap dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Hatinya bergejolak antara kecewa dan pasrah. Malam pertama yang seharusnya menjadi awal dari kebahagiaan justru menjadi malam penuh kesepian.
Sebuah pesan masuk ke ponselnya, dari ibunya, Saraswati. “Bagaimana malam pertamamu, Nak? Dimas baik, kan?”
Nanda menatap layar ponselnya beberapa saat sebelum akhirnya mengetik balasan singkat. “Baik, Bu. Semua berjalan lancar.”
Kata-kata itu terasa pahit di ujung jarinya, tapi ia tahu, ibunya tidak perlu tahu kenyataan yang sebenarnya.
Nanda kembali duduk di tepi ranjang, menarik napas panjang. Mungkin ini hanya awal, pikirnya. Mungkin Dimas akan berubah, dan pernikahan ini akan menemukan jalannya sendiri. Namun, di dalam hatinya, Nanda bertanya-tanya: berapa lama lagi ia harus menunggu kebahagiaan yang selama ini hanya menjadi bayangan?