Kinanti Amelia, remaja pintar yang terpaksa harus pindah sekolah karena mengikuti ayahnya.
Ia masuk ke sekolah terbaik dengan tingkat kenakalan remaja yang cukup tinggi.
Di sekolah barunya ia berusaha menghindari segala macam urusan dengan anak-anak nakal agar bisa lulus dan mendapatkan beasiswa. Namun takdir mempertemukan Kinanti dengan Bad Boy sekolah bernama Kalantara Aksa Yudhstira.
Berbekal rahasia Kinanti, Kalantara memaksa Kinanti untuk membantunya belajar agar tidak dipindahkan keluar negeri oleh orang tuanya.
Akankah Kala berhasil memaksa Kinan untuk membantunya?
Rahasia apa yang digunakan Kala agar Kinan mengikuti keinginanya?
ig: Naya_handa , fb: naya handa
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Naya_handa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kesedihan ayah
Seorang gadis terduduk di teras rumah dengan gelisah. Berkali-kali ia berdiri untuk sekedar mengecek ke jalanan, mencari tahu apa Lukman sudah mendekat atau masih jauh?
Entah dimana ayahnya sekarang, karena sedari tadi tidak bisa dihubungi. Perasaan Kinanti tidak karuan karena Lukman sudah berjanji kalau ia tidak akan pulang terlambat. Tapi sudah jam delapan pria itu belum juga tiba.
“Ayah dimana sih? Kok hpnya mati segala?”
Kinanti bergumam lirih. Ia kembali berdiri, berjalan mondar mandir dan melihat kembali ke jalanan gang yang mulai sepi. Semakin lama, Kinanti semakin khawatir pada ayahnya.
“Tet tet!” suara klakson sebuah mobil membuat senyum Kinanti terbit.
“Ayah!” Kinanti segera membuka pintu pagar agar Lukman bisa masuk.
Lukman menurunkan kaca jendelanya saat melihat putrinya menunggu di depan rumah.
“Lagi apa anak ayah?” tanya Lukman seraya turun dari mobil.
“Nungguin ayah lah! Ayah kok lama sih?” Kinanti segera berhambur memeluk ayahnya dengan erat.
“Iya ayah ada urusan dulu tadi di jalan. Ngomong-ngomong, Kinan kenapa pake masker? Anak ayah demam?” Lukman mengusap kepala Kinanti, khawatir putrinya demam.
“Iya ayah, aku agak flu. Jadi pake masker, takut nular ke ayah.”
Kali ini Kinanti berbohong. Ia segera melepas pelukannya dan sedikit berjarak dengan Lukman. Sejujurnya, ia terpaksa melakukan ini karena ia harus menutupi luka cakaran dan lebam di pipinya karena pukulan Frea siang tadi.
“Ayah juga kok hidungnya merah banget? Flu juga ya?” Kinanti balik bertanya pada Lukman.
“Oh enggak, cuma tadi bersin-bersin aja. Biasa, banyak debu. Yuk kita masuk.” Ajak Lukman.
“Iya ayah.” Mereka masuk ke dalam rumah bersama-sama.
Kinanti memberikan segelas teh hangat untuk Lukman, minuman yang biasa ia buatkan untuk sang ayah agar badannya hangat.
“Makasih sayang.” Dengan senang hati Lukman menerima gelas itu dari Kinanti, lantas meneguk minumannya dengan perlahan.
“Hah, enaknyaaa... hidung ayah plong.” Ucap Lukman yang bisa bernafas lega.
“Syukurlah. Ayah mandinya air hangat aja ya, biar Kinan masakin dulu.”
“Eh, gak usah. Kayaknya ayah gak akan mandi. Takut masuk angin.” Dengan cepat Lukman melarangnya.
“Okey, tapi di seka dikit yaa, biar gak bau acem.” Kinanti menutup hidungnya meledek Lukman.
“Hahahah... iya, nak.” Lukman mengangguk patuh.
Kinanti pergi ke dapur dan menyiapkan air panas untuk Lukman. Sambil menyiapkan semuanya ia terus berceloteh.
“Kinan masak tempe di tepungin, favorit ayah. Ada sambal tomat juga sama ikan goreng. Nanti ayah makan yaa, sebelum tidur. Takutnya cacing di perut ayah berontak minta di kasih makan.” Cicitnya dari dapur.
Lukman tidak menimpali, ia hanya tersenyum sambil memandangi Kinanti yang berjalan kesana kemari menyiapkan semuanya dengan cekatan.
“Kinan juga beli tahu, udah Kinan simpan di kulkas. Besok pagi kita sarapan sama tahu goreng pake kecap. Heemmmhh, kayaknya bakalan enak. Eh iya, telor ceploknya jangan lupa.” Celotehnya lagi yang membuat Lukman tersenyum kelu.
Ia membiarkan Kinanti berceloteh agar malamnya tidak terasa sepi. Terdengar suara ponselnya yang berdering pelan dan Lukman segera mengeceknya. Ada pesan masuk rupanya.
“Selamat malam bapak Lukman. Kami dari Rumah sakit sehat mulya, mau mengkonfirmasi, untuk hasil biopsi bisa bapak bapak ambil dua hari ke depan jam sepuluh pagi di unit laboratorium. Terima kasih.” Begitu isi pesan yang membuat hati Lukman mencelos.
Ia menatap nanar pesan itu, ada ketakutan tersendiri kalau hasil pemeriksaannya ternyata buruk.
Lukman masih mengingat persis kejadian hari ini. Saat ia datang ke klinik dan dokter yang memeriksanya berkata,
“Ada benjolan di saluran pernafasan bapak. Saya sarankan bapak segera memeriksanya ke rumah sakit.”
Saat itu, tubuh Lukman terasa lemah seperti tidak ada tenaga. Pikiran buruk sudah memenuhi pikirannya dan semakin menjadi saat dokter di rumah sakit mengatakan kalau kemungkinan ada tumor atau semacamnya yang membuat Lukman seolah sering terkena flu dan mimisan juga batuk berdarah. Kepalanya sering terasa sakit dan kondisi terburuk ia hadapi adalah dugaan dokter yang mengatakan kalau benjolan itu mungkin ganas dan bernama kanker nasofaring.
Kaki Lukman seperti akan tumbang. Mendengar Kinanti berceloteh dan sesekali tertawa, malah membuatnya merasa sedih. Ia sangat takut karena ia tidak pernah tahu, berapa lama lagi waktu yang bisa ia nikmati bersama putri tersayangnya.
Apa yang akan terjadi pada putrinya jika ia pergi lebih dulu? Apa Kinar akan tetap tersenyum secerah itu?
“Ayah, ayah denger Kinan gak sih?”
Kinanti mengibas-ibaskan tangannya di depan wajah Lukman. Pria ini menatapnya, memperhatikannya namun tidak benar-benar menyimak apa yang dikatakan Kinanti. Perhatiannya hanya satu, pada rasa takut yang ada dipikirannya.
“Ayaaahhhh ....” lagi Kinanti memanggil Lukman dan membuat laki-laki itu terhenyak.
“I-iya nak?” ia benar-benar kaget dan segera memasukkan ponselnya ke dalam saku. Ia takut Kinanti membaca pesannya.
“Ayah kenapa sih? Kok ngelamun aja?” Kinanti duduk di hadapan Lukman dan menatap wajah pucat itu penuh atensi.
Di sampingnya ia sudah menyiapkan air di dalam tempat untuk menyeka tubuh Lukman.
“Nggak apa-apa, cuma ayah kepikiran sesuatu aja di tempat kerja.”
Lukman terpaksa berbohong. Ia belum siap mengatakan apapun pada putrinya. Termasuk mengatakan kalau seharian ini sebenarnya ia tidak bekerja, melainkan menjalani serangkaian pemeriksaan di rumah sakit dan baru selesai petang tadi.
“Ayah capek banget ya? Kinan bantu lap muka ayah ya?” Kinanti menatap Lukman dengan penuh perhatian.
“Iya nak.” Susah payah Lukman menahan tangisnya. Terlebih saat tangan Kinanti yang sudah tidak mungil lagi itu, mengusap wajahnya dengan lembut.
Lukman tertunduk, tidak berani menatap sepasang mata yang berbinar penuh kasih dan perhatian padanya. Ia takut jika kemudian Kinanti bertanya, “Gimana kabar ayah hari ini?”
Sungguh, ia belum menyiapkan jawaban apapun selain kebohongan lain untuk menutupi kebohongan sebelumnya.
“Keringat ayah banyak banget. Maafin Kinan ya ayah, Kinan malah bikin ayah bekerja terlalu keras untuk Kinan.” Ucap Kinanti sambil memijat-mijat pundak dan lengan Lukman.
“Ngomong apa, Kinan ini? Ayah seneng kok masih bisa bekerja untuk kita berdua. Ayah juga bangga karena bisa menyekolahkan Kinan di sekolah yang bagus.” Lukman berusaha menghibur Kinanti dan dirinya sendiri.
“Ayah pesan, Kinan belajar sungguh-sungguh ya nak. Ayah bukan orang kaya. Ayah gak bisa mewariskan harta yang berlimpah buat Kinan selain melakukan usaha terbaik ayah agar Kinan bisa bersekolah di sekolah yang bagus dan mendapatkan ilmu yang berguna untuk masa depan Kinan nantinya.” Ucap Lukman dengan sungguh.
Kinanti tersenyum kecil. Ia meraih tangan Lukman, mengusapnya dengan lembut lalu mengecupnya dengan penuh sayang.
“Kinan pasti bersungguh-sungguh ayah, karena Kinan ingin membanggakan ayah. Ayah sehat selalu yaa, temani Kinan sampai dewasa dan bisa membahagiakan ayah. Kinan juga mau melihat ayah bahagia di masa tua ayah. Gak kerja keras lagi kayak sekarang. Okey ayah?” Kinanti mengacungkan ibu jarinya pada Lukman.
Lukman tidak menimpali, lidahnya terlalu kelu untuk bicara. Ia hanya tersenyum sekali lalu mengusap kepala putrinya dengan sayang. Senyum Kinanti adalah obat paling mujarab untuknya saat ini. Ia berharap ia bisa melihat senyum ini lebih lama dari diagnosis dokter kelak.
*****