Di sebuah negeri yang dilupakan waktu, seorang jenderal perang legendaris bernama Kaelan dikutuk untuk tidur abadi di bawah reruntuhan kerajaannya. Kutukan itu adalah hukuman atas dosa-dosa yang dilakukannya selama perang berdarah yang menghancurkan negeri tersebut. Hanya seorang gadis dengan hati yang murni dan jiwa yang tak ternoda yang dapat membangkitkannya, tetapi kebangkitannya membawa konsekuensi yang belum pernah terbayangkan.
Rhea, seorang gadis desa yang sederhana, hidup tenang di pinggiran hutan hingga ia menemukan sebuah gua misterius saat mencari obat-obatan herbal. Tanpa sengaja, ia membangunkan roh Kaelan dengan darahnya yang murni.
Di antara mereka terjalin hubungan kompleks—antara rasa takut, rasa bersalah, dan ketertarikan yang tak bisa dijelaskan. Rhea harus memutuskan apakah ia akan membantu atau tidak.
"Dalam perjuangan antara dosa dan penebusan, mungkinkah cinta menjadi penyelamat atau justru penghancur segalanya?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wati Atmaja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Denyut Nadi Rivendale
Pagi itu, matahari musim semi bersinar lembut, memancarkan sinarnya ke hamparan sawah gandum di Rivendale. Ladang itu terbentang luas, seperti lautan hijau muda yang bergerak perlahan diterpa angin. Batang-batang gandum yang masih muda tampak segar, daun-daunnya berkilauan oleh embun pagi yang belum sepenuhnya menguap.
Di sepanjang sawah, sebuah sungai kecil berliku-liku mengalir dengan tenang, membawa air jernih dari hulu sungai utama. Irigasi ini dibangun dengan hati-hati, salurannya dirancang sedemikian rupa sehingga air mengalir merata ke seluruh petak sawah. Petani setempat menggunakan sekop kayu sederhana untuk mengatur aliran air, memastikan setiap petak mendapatkan cukup pasokan tanpa berlebihan.
Di beberapa sudut, burung-burung kecil hinggap di atas batang gandum, mencari biji atau serangga kecil. Suara gemericik air dari saluran irigasi bercampur dengan kicauan burung, menciptakan harmoni alam yang menenangkan. Para petani, dengan topi jerami melindungi mereka dari sinar matahari, sibuk memeriksa tanaman dan membersihkan saluran air dari dedaunan yang terbawa arus.
“Aliran air tahun ini sangat baik,” ujar Paman Elric, salah satu petani senior, sambil memperbaiki sebuah pintu air kecil. “Jika musim hujan datang tepat waktu, panen kita akan melimpah.”
Tidak jauh dari sana, anak-anak kecil bermain di tepi sungai kecil, melompat-lompat di atas batu besar yang berada di tengah aliran. Tawa riang mereka menggema, menambah kehidupan di antara hamparan sawah yang damai.
Dengan irigasi ini, Rivendale tidak hanya memastikan keberlangsungan pertanian, tetapi juga menyatukan warga dalam semangat kerja sama. Sawah gandum bukan sekadar ladang bagi mereka, melainkan juga simbol harapan dan masa depan kota yang perlahan-lahan bangkit.
Di musim panen kali ini, ladang gandum Rivendale tampak seperti lautan emas yang tak berujung. Kepala-kepala gandum bergoyang lembut diterpa angin musim panas, sementara para petani sibuk memotong, mengikat, dan mengangkut hasil panen ke lumbung-lumbung yang sudah penuh sesak. Dengan irigasi yang sempurna dan kerja keras para warga, hasil panen tahun ini jauh melebihi ekspektasi.
Di bawah naungan aula besar Rivendale, suasana penuh semangat menyelimuti para pemimpin dan bangsawan yang berkumpul untuk membahas langkah penting dalam hubungan antar kota. Surplus hasil pertanian dan peternakan yang melimpah di Rivendale menjadi peluang besar untuk memperluas jaringan perdagangan dengan kota tetangga yang memiliki keahlian dalam bidang peternakan dan pengolahan hasil ternak, yaitu kota Silverhorn.
Lord Adric berdiri di tengah ruangan, memandang peta besar di meja yang menunjukkan jalur perdagangan potensial. “Silverhorn dikenal dengan peternakan sapi dan domba terbaik mereka. Mereka menghasilkan daging, susu, dan wol yang berkualitas tinggi. Sebaliknya, Rivendale memiliki kelebihan gandum dan herbal. Saya percaya ini adalah kesempatan untuk saling melengkapi kebutuhan.”
Lady Eleanor mengangguk. “Kita bisa mengusulkan pertukaran sumber daya. Gandum dan herbal kita akan membantu mereka memenuhi kebutuhan pangan, sementara produk ternak mereka dapat meningkatkan kesejahteraan kita.”
Rea, yang duduk di dekat peta, menyarankan, “Kita juga bisa menambahkan pelatihan tentang pengelolaan ternak. Penduduk Rivendale bisa belajar teknik peternakan dari mereka. Ini akan memperkuat kemampuan lokal kita.”
Sir Roderick, seorang bangsawan yang bertugas sebagai penasihat perdagangan, menambahkan, “Namun, sebelum memulai, kita harus menetapkan perjanjian resmi. Kedua belah pihak harus diuntungkan dan tidak merasa dirugikan.”
Di sebuah ruangan besar yang diterangi oleh sinar matahari pagi, Lord Adric dan Lady Eleanor duduk di ujung meja panjang, ditemani oleh beberapa penasihat terpercaya. Di seberang mereka, Lord Hamish dan delegasi dari Silverhorn tampak duduk dengan santai, tetapi sorot mata mereka menunjukkan keseriusan. Di tengah meja, sebuah dokumen yang berisi draf perjanjian dagang terbuka, tinta hitamnya masih basah.
“Rivendale memiliki surplus gandum dan herbal tahun ini,” ujar Lord Adric, memulai diskusi. “Kami ingin menawarkan pengiriman rutin ke Silverhorn, dengan imbalan produk peternakan kalian. Gandum kami bisa memenuhi kebutuhan pangan kota kalian, terutama menjelang musim dingin.”
Lord Hamish mengangguk perlahan. “Penawaran yang menarik. Silverhorn memang membutuhkan pasokan gandum yang stabil. Namun, produk kami seperti daging, susu, dan wol memerlukan perhatian dalam distribusi. Apakah Rivendale memiliki infrastruktur yang cukup untuk menangani barang-barang ini?”
Lady Eleanor tersenyum, menunjukkan peta dermaga Rivendale yang baru diperbaiki. “Dermaga kami telah diperluas untuk menangani pengiriman besar. Selain itu, kami juga memiliki gudang penyimpanan yang memadai untuk menjaga kualitas produk kalian sebelum didistribusikan.”
Penasihat Lord Hamish, seorang pria tua bernama Sir Alden, menyela dengan sopan, “Bagaimana dengan keamanan jalur perdagangan? Apakah ada perlindungan dari perampok atau ancaman lainnya?”
Kelan, yang berada di dekat pintu, maju dan berbicara dengan tegas. “Kami telah menugaskan patroli reguler di sepanjang jalur sungai dan darat. Pasukan kami cukup terlatih untuk memastikan keamanan barang dagangan.”
Lord Hamish mengangguk, tampak puas dengan jawaban itu. “Bagus. Namun, kami juga ingin memastikan bahwa harga yang ditawarkan adil bagi kedua belah pihak. Silverhorn akan menyediakan daging dan susu segar, serta wol berkualitas tinggi. Sebagai gantinya, kami mengharapkan gandum yang cukup untuk menopang kebutuhan seluruh kota kami selama enam bulan.”
Lady Eleanor memandang Lord Hamish dengan lembut tetapi tegas. “Kami setuju dengan proporsi itu, tetapi kami juga mengusulkan kerja sama jangka panjang. Rivendale membutuhkan pelatihan dalam pengelolaan peternakan, dan kami berharap Silverhorn bersedia mengirim beberapa ahli untuk membantu kami.”
Diskusi berlangsung selama beberapa jam. Mereka membahas setiap detail, dari jadwal pengiriman, kualitas barang yang akan ditukar, hingga kesepakatan jika terjadi kekurangan pasokan. Rea, yang diam sejak awal, akhirnya berbicara.
“Lord Hamish,” katanya pelan tetapi jelas, “Herbal kami memiliki potensi untuk digunakan sebagai suplemen ternak. Ini bisa meningkatkan kesehatan dan produktivitas sapi dan domba kalian. Jika kalian mau, kami juga bisa menyertakan pelatihan tentang cara mengolah herbal ini.”
Lord Hamish memandang Rea dengan penuh minat. “Itu ide yang sangat menarik. Herbal kalian memang terkenal di kota kami. Jika kalian bisa menjamin kualitas dan melatih beberapa peternak kami, itu akan menjadi keuntungan tambahan bagi Silverhorn.”
Setelah beberapa perdebatan kecil, akhirnya Lord Adric dan Lord Hamish menjabat tangan, tanda kesepakatan telah tercapai.
“Kita telah mencapai sesuatu yang luar biasa hari ini,” ujar Lord Hamish dengan senyum lebar. “Kerja sama ini akan membawa kemakmuran bagi kedua kota kita.”
Lord Adric mengangguk. “Rivendale dan Silverhorn tidak hanya akan menjadi mitra dagang, tetapi juga sekutu yang saling mendukung.”
Dokumen perjanjian itu kemudian ditandatangani di hadapan para saksi, disertai dengan tepuk tangan yang memenuhi ruangan. Hubungan baru yang terbentuk hari itu menjadi awal dari era baru kemakmuran bagi Rivendale dan Silverhorn.
Utusan dari Silverhorn, Lord Hamish, seorang pria paruh baya dengan senyum ramah, menyatakan kesetujuannya. “Kami di Silverhorn menyambut baik kerja sama ini. Gandum dan herbal dari Rivendale sangat kami butuhkan, terutama untuk musim dingin yang akan datang. Sebagai gantinya, kami akan menyediakan daging, susu, wol, dan bahkan benih ternak untuk Rivendale.”
Lord Adric tersenyum dan menjabat tangan Lord Hamish. “Kerja sama ini tidak hanya memperkuat ekonomi kita, tetapi juga menciptakan ikatan persahabatan yang lebih dalam antara kedua kota.”
Kerja sama ini membawa dampak yang luar biasa bagi Rivendale. Dermaga di tepi sungai menjadi pusat aktivitas baru, dengan kapal-kapal dari Silverhorn yang membawa produk peternakan berkualitas tinggi. Sebaliknya, gandum dan herbal Rivendale mulai dikenal di pasar Silverhorn.
Peternak dari Silverhorn juga datang untuk memberikan pelatihan kepada warga Rivendale. Mereka mengajarkan cara merawat ternak, memanfaatkan limbah ternak untuk pupuk organik, dan bahkan mengembangkan teknologi sederhana untuk produksi keju dan mentega.
Di ladang Rivendale, warga mulai mempraktikkan ilmu baru tersebut. Sapi-sapi mulai memenuhi padang rumput yang luas, sementara kandang domba didirikan di beberapa desa. Produk susu segar, keju, dan wol mulai dihasilkan secara lokal, memberikan tambahan penghasilan bagi warga.
Di aula benteng, Lady Eleanor menyampaikan laporan perkembangan kepada para bangsawan. “Pendapatan dari perdagangan dengan Silverhorn meningkat pesat. Dengan kerja sama ini, Rivendale telah menjadi kota yang tidak hanya mandiri, tetapi juga mampu bersaing di pasar regional.”
Rea, yang juga membantu warga memanfaatkan herbal untuk produk kesehatan, menambahkan, “Produk herbal kita sekarang tidak hanya digunakan untuk pengobatan, tetapi juga untuk meningkatkan kualitas hasil ternak. Ini memberikan keuntungan ganda bagi kita.”
Lord Adric tersenyum bangga. “Rivendale telah membuktikan bahwa kerja keras dan kerja sama adalah kunci keberhasilan. Kita tidak hanya membangun kota, tetapi juga membangun masa depan.”
Kisah kerja sama antara Rivendale dan Silverhorn menjadi inspirasi bagi kota-kota lain, menunjukkan bagaimana sinergi dan saling melengkapi dapat membawa manfaat besar bagi semua pihak.
semangat terus yaa berkarya
oh iya jangan lupa dukung karya aku di novel istri kecil tuan mafia yaa makasih