Karena sebuah wasiat, Raya harus belajar untuk menerima sosok baru dalam hidupnya. Dia sempat diabaikan, ditolak, hingga akhirnya dicintai. Sayangnya, cinta itu hadir bersama dengan sebuah pengkhianatan.
Siapakah orang yang berkhianat itu? dan apakah Raya akan tetap bertahan?
Simak kisah lengkapnya di novel ini ya, selamat membaca :)
Note: SEDANG DALAM TAHAP REVISI ya guys. Jadi mohon maaf nih kalau typo masih bertebaran. Tetap semangat membaca novel ini sampai selesai. Jangan lupa tinggalkan dukungan dan komentar positif kamu biar aku semakin semangat menulis, terima kasih :)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sandyakala, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menikah Lagi
"Bagaimana saksi, sah?".
"Sah", terdengar gema orang-orang mengucap syukur atas akad nikah yang baru saja dilakukan Ezra.
Ya, terhitung hari ini, dia resmi menjadi suami Sindy.
Wanita itu bahkan kini tengah tersenyum sumringah di samping Ezra.
"Mulai hari ini kalian sudah resmi menjadi suami istri. Daddy senang melihatnya", ucap Daddy Ardi sesaat setelah akad selesai.
Ezra terpaksa tersenyum karena saat itu di kediaman Om Ardi ada beberapa anggota keluarga dekat yang hadir.
Satu per satu keluarga yang hadir di sana memberikan ucapan selamat. Acara tidak berlangsung lama karena sengaja dibuat dengan sangat sederhana.
Setelah semua tamu pergi, Sindy terlihat sibuk berbicara dengan asisten rumah tangganya, Bi Asih. Ia tampak memberikan beberapa instruksi untuk mengurus kamar pengantin miliknya dan Ezra.
"Makasih ya Mas, sudah bersedia menjadi suamiku", ucap Sindy senang. Kedua matanya tampak berbinar karena bahagia.
Ezra melirik sebentar ke arah istri barunya itu dan hanya menganggukkan kepala diiringi senyum tipis yang penuh dengan keterpaksaan.
"Ezra, Sindy, Papa dan Mama pamit, ya. Semoga Tuhan memberkati pernikahan kalian", Mama Laura datang untuk berpamitan pada putra dan menantu barunya.
"Aamiin, makasih banyak Mama", Sindy spontan memeluk Mama Laura, bahkan ia tidak merasa canggung sedikit pun pada ibu mertuanya itu.
Mama Laura mencoba tersenyum dan membalas pelukan Sindy. Tapi sorot mata Sang Mama sangat hafal dengan perasaan Ezra saat ini.
"Zra, Mama pulang dulu ya. Jadilah suami yang baik", ucap Mama Laura, ia memeluk dan mengelus punggung Ezra, seolah berusaha menguatkannya.
"Iya, Ma. Hati-hati", hanya itu hal yang bisa Ezra ucapkan.
Papa Hadinata juga menghampiri Ezra dan Sindy sebelum pergi dari kediaman keluarga Wiratama.
"Papa tunggu kunjungan kalian ke rumah kami", pesan Papa sebelum dirinya menghilang ke dalam mobil.
Sindy, Ezra, dan Om Ardi mengantarkan kepergian mereka hingga mobil hitam mewah itu tak terlihat lagi oleh pandangan mata.
Selain asisten rumah tangga dan supir pribadi keluarga Wiratama, di dalam rumah tampak beberapa orang tengah sibuk merapikan berbagai barang pesta yang tadi digunakan.
"Sayang, ajak suamimu istirahat".
"Iya, Dad. Ayo, Mas, kita istirahat", Sindy mengajak Ezra yang sedari tadi masih duduk di sofa ruang utama.
"Kamu duluan saja, aku masih ingin duduk di sini. Nanti aku menyusul, ya", jawab Ezra datar. Ia berbicara selembut mungkin pada Sindy.
"Ok. Aku tunggu Mas Ezra di atas, ya. Aku duluan", Sindy berlalu dari hadapan suami dan Daddynya.
"Ezra, sekali lagi Om berterima kasih atas kesediaan kamu menerima Sindy. Setelah sekian lama, baru hari ini Om kembali bisa melihat wajah Sindy yang sumringah dan penuh harapan", Daddy Ardi menatap anak tangga yang tadi Sindy lalui.
"Om tahu kamu tidak akan bersedia menunaikan kewajiban sepenuhnya sebagai seorang suami. Tapi jika boleh Om merepotkan kamu lagi, tolong jaga hati Sindy agar dia tetap bahagia seperti sekarang", lanjut Daddy Ardi.
Ezra terdiam mendengar ucapan mertuanya itu. Pikirannya saat ini begitu kalut. Pengkhianatan dirinya pada Raya kini benar-benar terjadi. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana respon Raya andai saat ini dia ada dan melihat suaminya berdampingan dengan wanita lain.
"Ezra?", tanya Daddy Ardi membuyarkan lamunan menantunya.
"Oh, iya, Om, maaf. Aku akan berusaha semaksimal yang aku bisa untuk menyenangkan hati Sindy. Tapi aku tidak ingin Om Ardi berharap terlalu banyak padaku", jawab Ezra lugas.
Daddy Ardi menarik nafas dalam dan menganggukkan kepalanya.
"Dalam hal ini, Om juga ikut bersalah pada istri pertamamu. Sebetulnya Om sudah mencoba membujuk Sindy untuk menerima pinangan laki-laki lain. Tapi entahlah, Om tidak tahu kenapa Sindy bersikukuh menginginkanmu", Daddy Ardi masih terus bercerita.
"Ya, sudah, kamu pasti lelah. Sebaiknya kamu susul Sindy ke kamar atas untuk beristirahat".
"Iya, Om. Aku permisi", Ezra berdiri dari tempat duduknya dan berlalu dari hadapan Sang mertua.
Di kamar yang luas dan bernuansa biru itu, Sindy sudah membersihkan diri, bahkan saat ini ia sibuk mematut diri di depan cermin.
Aura bahagia tampak kuat terpancar dari wajahnya.
"Aku harus tampil sempurna di depan suamiku", gumamnya.
Tak lama, terdengar suara ketukan di pintu.
"Mas Ezra ya? masuk aja, Mas. Pintunya gak aku kunci, kok", teriak Sindy sebagai jawaban.
Tak lama, pintu pun terbuka dan memang benar Ezra yang datang. Ia masuk dengan langkah gontai, sangat berbeda dengan Sindy.
"Mas, aku sudah siapkan pakaian ganti punya kamu", ucap Sindy. Dia menunjukkan kaos biru polos dan celana pendek selutut yang kini ada di tangannya.
"Terima kasih. Aku mau membersihkan diri dulu", jawab Ezra.
Sindy menganggukkan kepala, "Ok, Mas. Air mandi di bathub juga sudah aku siapkan", tambahnya lagi.
Ezra hanya menganggukkan kepala sebagai jawaban.
Setelah dia mengambil pakaian ganti yang disiapkan Sindy, Ezra masuk ke kamar mandi. Ia mengguyur kepalanya di bawah siraman shower.
Bayangan wajah Raya berkelebat dalam pikirannya saat ini. Ezra benar-benar merasa bersalah pada istrinya itu.
"Raya, maafkan aku. Tolong, maafkan aku", bisiknya lirih.
.
.
"Hai".
"Lho, Mas Dion. Apa kabar, Mas?", tanya Raya yang terkejut dengan sapaan dan kedatangan Dion ke toko pastry miliknya.
Dion tersenyum manis, "Kabarku baik. Aku baru pulang kerja dan karena belum pernah ke sini, jadi aku sengaja mampir, sekalian mau beli kue buat Mama", jawab Dion jujur.
Raya membalas senyuman Dion dan dengan sigap ia melayani customernya itu.
"Mas Dion mau kue apa?", tanya Raya.
Mata Dion beredar menatap etalase dan rak yang juga dipenuhi kue-kue dengan berbagai tampilan menarik, aroma yang lezat, serta warna yang beraneka ragam.
"Duh, aku gak tahu nih kue yang enak apa. Aku cuma tahu makannya aja", Dion nyengir sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Hmm ... kalau gitu, aku coba bantu ya. Nah, ini ada beberapa tester. Mas Dion bisa coba dulu sebelum menentukan pilihan", Raya membawa tester pastrynya ke hadapan Dion.
"Wow, ini pasti enak", tanpa ragu Dion mengambil salah satu tester kue berwarna coklat yang menarik perhatiannya.
"Gimana, Mas?", Raya menunggu respon Dion.
"Ini bukan cuma enak, tapi lezat", jawab Dion dengan wajah bahagia.
Raya tersenyum senang mendengar pujian dari customernya.
"Bolehkah aku mencoba kue lainnya?", tanya Dion to the point.
"Tentu, Mas. Tapi sebaiknya kita duduk di sana biar makannya lebih enak dan santai", Raya menunjuk meja yang memang disediakan untuk pengunjung yang dine in.
Raya juga meminta bantuan seorang pramuniaga untuk membawakan tester dari semua kue yang ada di toko itu.
"Waduh, kalau begini aku jadi betah di sini dan gak mau pulang", seloroh Dion. Sedari tadi mulutnya tidak berhenti mengunyah.
Raya tertawa kecil melihat tingkah Dion. Ternyata sahabat suaminya itu sangat menyenangkan. Padahal baru beberapa hari yang lalu mereka bertemu, tapi Raya merasa sudah mengenal Dion sejak lama, begitupun dengan Dion, rasa malunya yang setipis sutra membuat dirinya hampir tak beretika di depan Raya.
"Habiskan saja, Mas. Kalau masih kurang, nanti aku ambilkan lagi", tawar Raya.
"Aduh, mana bisa gitu sih, aku kan datang ke sini mau beli. Bisa-bisa toko kamu bangkrut kalau aku nambah lagi", ucap Dion diselingi tawa.
"Tak apa, Mas. Kalau cuma ada satu customer seperti Mas Dion, mana bisa buat tokoku bangkrut, kecuali kalau ada seribu orang sih bisa jadi", respon Raya.
Mereka berdua tertawa bersama. Dion juga tak sungkan bertanya bagaimana awal mula Raya membangun bisnis pastrynya ini.
"Ezra beruntung ya punya istri sehebat kamu. Jago masak, jago ngurus rumah, jago ngurus suami, jago bisnis lagi", puji Dion berlebihan.
Raya tersenyum tipis, "Terima kasih atas pujiannya, Mas. Tapi sayangnya, aku tidak sehebat itu, itu terlalu berlebihan", ucap Raya merendah.
"I think that's true", respon Dion sesaat sebelum ia menyeruput coklat panas yang juga tersaji di atas meja.
semoga tidak ada lagi yang menghalangi kebahagiaan kalian
setelah aku ikuti...
tapi cerita nya bagus biar diawal emosian 🤣🤣🤣
semoga aja raya bisa Nerima anak kamu dan Sindi ya...
semangat buat jelaskan ke raya
aku penasaran kek mana reaksi Sindi dan papanya tau ya kebusukan anak nya
semoga tidak terpengaruh ya....
taunya Sindi sakit tapi kalau kejahatan ya harus di pertanggung jawaban