Ini bukan kisah istri yang terus-terusan disakiti, tetapi kisah tentang cinta terlambat seorang suami kepada istrinya.
Ini bukan kisah suami yang kejam dan pelakor penuh intrik di luar nalar kemanusiaan, tetapi kisah dilema tiga anak manusia.
Hangga telah memiliki Nata, kekasih pujaan hati yang sangat dicintainya. Namun, keadaan membuat Hangga harus menerima Harum sebagai istri pilihan ibundanya.
Hati, cinta dan dunia Hangga hanyalah untuk Nata, meskipun telah ada Harum di sisinya. Hingga kemudian, di usia 3 minggu pernikahannya, atas izin Harum, Hangga juga menikahi Nata.
Perlakuan tidak adil Hangga pada Harum membuat Harum berpikir untuk mundur sebagai istri pertama yang tidak dicintai. Saat itulah, Hangga baru menyadari bahwa ada benih-benih cinta yang mulai tumbuh kepada Harum.
Bagaimana jadinya jika Hangga justru mencintai Harum saat ia telah memutuskan untuk mendua?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yeni Eka, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15
“Mas Hangga.” Harum yang masih mengenakan mukena berlari mengejar Hangga yang sudah masuk mobil dan duduk di belakang kemudi.
Baru juga selesai salat Magrib, suaminya itu sudah mau pergi lagi. Padahal pagi tadi, Hangga sudah pergi keluar rumah hingga sore. Sekarang adalah hari Sabtu. Harum tahu Hangga libur di hari tersebut.
Apa tidak bisa jika di hari libur, Hangga berdiam di rumah saja? Memanfaatkan waktu libur untuk membangun hubungan bersama istri yang dinikahi karena perjodohan.
“Ada apa?” Hangga melirik malas pada Harum.
“Ma-mas Hangga mau ke mana?” tanya Harum ragu.
“Apa urusan kamu? Saya mau ke mana itu terserah saya!” Pria yang mengenakan kaus lengan panjang casual warna navy dipadukan dengan celana Chino warna krem itu menjawab dingin.
“Tadi pagi Ibu telepon, katanya Ibu dan Ayah mau datang ke sini.” Harum berujar tenang, meskipun ucapan Hangga terdengar ketus di telinganya.
“Beneran?” Hangga menatap Harum serius. Istrinya itu menjawab dengan sebuah anggukan.
“Kapan?” Hangga yang masih duduk di dalam mobil bertanya lagi.
“Waktu pagi tadi telepon, Ibu bilang akan datang sore, tapi sampai sekarang Ibu dan Ayah belum datang,” jawab Harum.
“Kenapa kamu enggak bilang dari tadi!” Hangga berdecak kesal sembari melepas seatbelt yang sudah terpasang.
‘Bagaimana mau bilang, kalau tadi pagi kamu pergi tanpa pamit dan sore pulang tanpa sapa.’ Ingin sekali Harum berkata seperti itu, mengungkapkan unek-unek hatinya.
“Maaf, Mas." Harum hanya bisa berucap kata maaf.
Hangga turun dari mobil, lalu kembali masuk ke dalam rumah. Harum mengikuti langkah suaminya itu. Duduk di sofa, Hangga melakukan panggilan telepon ke nomor ibunya.
“Halo, assalamualaikum.” Hangga mengucap salam begitu panggilan telepon itu dijawab oleh sang ibunda.
“Waalaikum salam, Nak. Gimana kabarmu dan Harum?”
“Kabar Hangga baik-baik saja, Bu. Harum juga baik. Ibu dan Ayah di sana sehat-sehat ‘kan?”
“Alhamdulillah. Insyaallah ibu dan ayahmu sehat.”
“Kata Harum, Ibu dan Ayah mau ke sini?”
“Iya, Nak. Tadi ibu dan ayah mau berangkat siang, tapi Mang Usman sedang ada halangan, jadi tidak bisa menyopiri kami.”
“Apa Hangga jemput saja, Bu?”
“Tidak usah, Nak. Insyaallah besok ibu dan ayah bisa ke sana dengan diantar Mang Usman.”
“Ya sudah, kalau Ibu tidak mau dijemput. Bilang sama Mang Usman, besok bawa mobilnya hati-hati.”
“Tidak usah mengkhawatirkan kami, Nak. Lebih baik kamu mengkhawatirkan istrimu. Bagaimana, apakah di tiga minggu pernikahan ini kamu sudah membahagiakan istrimu?”
Pertanyaan Bu Mirna menohok hati Hangga.
“Iya, Bu. Hangga selalu berusaha untuk membahagiakan Harum,” sahut Hangga sembari melirik Harum yang turut duduk di sofa.
Sementara yang dilirik hanya bisa melipat bibir, mendengar ucapan semanis madu, sepahit empedu.
Berusaha membahagiakan bagaimana, malah yang ada kini suaminya itu semakin jarang ada di rumah.
Setelah lima belas menit mengobrol banyak hal bersama kedua orangtuanya, juga mendengarkan petuah terutama soal pernikahan, Hangga mengakhiri panggilan teleponnya dengan sang ibunda.
“Rum, cepat ganti baju!” titah Hangga setelah panggilan telepon terputus.
Harum terkesiap mendengar titah Hangga. Beberapa saat kemudian baru menyadari dirinya masih mengenakan mukena. Pantas saja Hangga menyuruhnya untuk ganti baju. Pikir Harum.
“Aku mau ajak kamu keluar.” Hangga seolah mengerti pertanyaan di benak Harum meski tidak diucapkan.
Harum kembali terkesiap. Tidak menyangka Hangga akan mengajaknya keluar. “Iya, Mas,” sahutnya dengan senyum merekah.
Buncah bahagia seketika hadir mengisi hati Harum. Setelah tiga minggu pernikahan akhirnya Hangga mengajak keluar. Keluar itu sama dengan jalan ‘kan?
Apakah artinya Hangga mengajaknya malam mingguan? Mengingat malam ini adalah malam minggu.
“Ayo cepat ganti baju sana. Biar tidak kemalaman,” titah Hangga lagi.
Tanpa membalas ucapan suaminya, Harum gegas pergi ke kamar dengan hati buncah.
Di depan cermin lemari pakaian minimalis dua pintu, ia berdiri sembari memegangi dadanya, merasakan debaran bahagia yang bergejolak di sana.
Sementara di ruang tamu, Hangga tengah mengetikkan pesan untuk Nata. Seharian tadi, ia menemani Nata mencari kontrakan.
Bersyukur akhirnya ada kontrakan yang cocok dan disukai Nata, meskipun tidak bisa langsung ditempati. Harus menunggu satu minggu ke depan sebab kontrakan yang baru selesai dibangun itu belum rampung sempurna, masih dalam tahap pengecatan.
Malam ini, mereka berjanji untuk menghabiskan malam Minggu dengan menonton film di bioskop, tempat favorit kencan mereka. Namun, mau tidak mau Hangga harus membatalkan rencana tersebut dikarenakan kabar akan kedatangan orangtuanya.
Hangga : [Yang, maaf. Nontonnya cancel dulu ya. Orangtuaku mau datang ke rumah]
Hangga : [I’m so sorry ]
Hangga : [Love U]
Nata yang sedang dalam mode online, langsung membalas pesan Hangga.
Nata : [Mau gimana lagi 😢]
Nata : [Salam buat orangtuamu ... jika memungkinkan]
“Mas, aku sudah siap.” Hangga yang tengah mengetik balasan pesan untuk Nata sontak mendongakkan kepala mendengar seruan Harum.
Harum berdiri seraya tersenyum manis di hadapan Hangga. Tema casual menjadi pilihan OOTD Harum malam ini.
Mengenakan kaus sweeter warna navy dipadukan dengan rok plisket warna krem, serta jilbab segitiga warna navy yang salah satu ujungnya dibiarkan menguntai, sementara pada ujung jilbab lainnya tersemat bros cantik pada dada kanannya.
Untuk malam spesial pertamanya dengan Hangga, Harum merias wajahnya dengan make up tipis, namun lebih 'wah' dari biasanya.
“Oh, iya,” sahut Hangga setelah menatap Harum beberapa jenak. Ia membatalkan pesan balasan untuk Nata yang baru diketik dua huruf saja. “Duduk dulu, Rum,” titah Hangga selanjutnya.
Harum menurut dan mengambil posisi duduk berjarak di sebelah Hangga.
Setelah Harum duduk, Hangga meraih dompet yang tergeletak di meja bersama kunci mobil. Kemudian ia mengambil sesuatu dari dompetnya.
“Ini pegang sama kamu,” ujar Hangga menyodorkan sebuah kartu ATM.
Sejak menikah, Hangga belum pernah sekalipun memberikan nafkah baik lahir maupun batin. Ia sengaja tidak memberikan sepeserpun uang kepada Harum dengan tujuan agar Harum kesal lalu menggugat cerai.
Kalau ia tidak bisa menceraikan Harum karena ibunya, maka ia berpikir untuk membuat Harum yang menggugat cerai dirinya. Begitu yang sempat terlintas di pikiran Hangga.
Namun, sekarang Hangga malah khawatir perbuatannya itu akan dilaporkan Harum kepada orangtuanya. Jika itu sampai terjadi, ibunya pasti akan marah. Dan yang lebih ditakutkan Hangga adalah ibunya akan “ngedrop” lagi kesehatannya.
Maka dari itu, kini ia memutuskan untuk memberi salah satu kartu ATM miliknya kepada istri yang telah dinikahinya itu sebagai nafkah lahir darinya.
“Terima kasih, Mas,” ucap Harum kala menerima kartu sakti itu dari tangan Hangga.
Hatinya mengucap syukur karena Hangga kini mau menafkahinya. Meskipun baru nafkah lahir. Mungkin nafkah batin akan menyusul nanti. Begitu pikir Harum.
“Pakai untuk kebutuhan kamu dan kebutuhan sehari-hari" ujar Hangga.
“Iya, Mas.”
“Oya nomor PINnya ....” Hangga menjeda sebentar ucapannya. “300498,” lanjutnya.
“Iya, Mas.”
Otak Harum langsung menebak kalau deretan angka tersebut adalah tanggal, bulan dan tahun lahir seseorang. Tapi, hari kelahiran siapa? Batin Harum bertanya-tanya.
Harum tahu jika deretan angka tersebut bukan hari lahir Hangga, Bu Mirna ataupun Pak Hendra. Karena di setiap momen yaumul milad ketiga orang tersebut, ada acara santunan rutin kepada anak yatim. Dan kadang-kadang Harum yang ditugaskan untuk mengurus hal tersebut. Sehingga Harum hafal betul tanggal dan bulan lahir Hangga dan kedua mertuanya.
“Ayo kita berangkat sekarang biar enggak kemalaman,” ujar Hangga seraya bangun dari duduknya.
Sebelum melangkah, Hangga kembali memindai tampilan Harum, dari atas ke bawah. Ia baru menyadari bahwa mereka terlihat seperti pasangan sesungguhnya sebab warna pakaian yang mereka kenakan sama. Baju atasan warna navy, dan bawahan warna krem.
sungguh nikmat kn mas Hangga poligami itu 😈
yg bener nggak sadar diri
perempuan yang merendahkan diri sendiri demi cinta yg akhirnya di telan waktu