Pernikahannya dengan Serka Dilmar Prasetya baru saja seminggu yang lalu digelar. Namun, sikap suaminya justru terasa dingin.
Vanya menduga, semua hanya karena Satgas. Kali ini suaminya harus menjalankan Satgas ke wilayah perbatasan Papua dan Timor Leste, setelah beberapa bulan yang lalu ia baru saja kembali dari Kongo.
"Van, apakah kamu tidak tahu kalau suami kamu rela menerima Satgas kembali hanya demi seorang mantan kekasih?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasna_Ramarta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24 Dilmar Tidak Mau Bicara Sepatah Katapun
Hari sudah malam, keadaan Dilmar masih saja meringis-ringis menahan sakit, ditambah lagi tubuhnya demam. Vanya bingung harus apa, dia sangat khawatir dengan keadaan Dilmar.
Niatnya ingin menghubungi orang kesehatan di kesatuan Dilmar, sayangnya Vanya tidak tahu nomer orang kesehatan itu, lagipula dirinya belum kenal dengan teman-teman Dilmar yang lain.
Vanya bangkit dari sisi Dilmar yang sejak tadi mengaduh dan meraung. Vanya menuju kotak P3K untuk mengambil obat penurun panas sekaligus pereda nyeri.
"Sebaiknya aku berikan obat penurun panas ini," putusnya seraya meraih obat penurun panas untuk Dilmar. Tidak lupa Vanya sekalian menyiapkan nasi tim dan telur rebus untuk dimakan Dilmar sebelum minum obat.
Vanya kembali menghampiri Dilmar, lalu meraih kepalanya untuk disandarkan di dinding.
"Abang harus makan dulu, setelah itu minum obat," ujar Vanya. "Kita makan dulu, ya," bujuknya layaknya pada anak kecil, seraya mengarahkan sendok ke mulut Dilmar. Tapi Dilmar menolak dengan menggelengkan kepalanya.
Vanya bingung, sejak Dilmar pulang dari rumah mertuanya dalam kondisi babak belur, Dilmar tidak sepatah kata pun bicara padanya. Hanya mengaduh dan meringis saja yang sejak tadi keluar dari mulutnya. Sepertinya Dilmar memang menaruh kecewa terhadap Vanya. Tapi, Vanya bisa apa, tahu kondisi Dilmar akan dibogem begini, mungkin ia larang Dilmar tetap di rumah.
"Abang, dengarkan Vanya, Abang harus makan dulu supaya sakit Abang cepat sembuh. Setelah itu minum obat supaya demamnya reda. Makan dulu, ya, nasi timnya," bujuk Vanya lagi seraya tidak putus asa mengarahkan sendok itu ke mulut Dilmar. Sayang, Dilmar tetap menolak.
Beberapa saat kemudian, Vanya mendengar deru mobil di depan rumahnya. Disusul suara pintu gerbang dibuka. Vanya berdiri menuju pintu depan dan mengintip dari jendela ruang tamu.
"Kak Deby dan Mas Surya," serunya kaget. Bukan hanya Deby dan Surya saja yang datang, ada satu orang lagi berada di belakang Deby dan Surya. Seorang lelaki menuruni motor, lalu mengikuti Deby dan Surya melangkah menuju rumah Dilmar.
Vanya bersiap menyambut kakak iparnya, lalu membukakan pintu rumah lebar-lebar.
"Kak Deby, Mas Surya, ayo masuk," persilahkan Vanya sembari tersenyum ramah pada sosok lelaki yang ditaksir berumur 25 tahun, menuju ke dalam.
"Gimana Dilmar, Van? Dia dibaringkan di mana?" tanya Deby khawatir.
"Bang Dilmar ada di ruang tengah. Tadi Vanya sudah berusaha mengobatinya sebisa Vanya. Vanya sudah kompres dan bersihkan mukanya lukanya saat Bang Dilmar barup datang. Lalu Vanya kasih salep pereda nyeri di wajahnya. Tapi Bang Dilmar masih sering merintih karena sakit. Dan lagi saat ini tubuhnya demam, Vanya sudah bujuk untuk makan supaya Bang Dilmar minum obat penurun panas, tapi Bang Dilmar menolak untuk makan," cerita Vanya sembari berjalan menuju ruang tengah diikuti Surya dan lelaki tadi.
"Oh, ya, perkenalkan ini Raka, dia seorang Perawat yang sengaja kakak ajak ke sini untuk mengobati Dilmar dan mengetahui kondisi Dilmar selanjutnya," beritahu Deby memperkenalkan laki-laki yang diajaknya itu.
Vanya membalas dengan senyuman pada Raka yang diakui sebagai Perawat itu.
"Biar, Dilmar diobati dulu sama Raka. Setelahnya, kamu bisa mengikuti arahan Raka untuk besoknya dan beberapa hari ke depan, untuk merawat Dilmar. Semoga saja sebelum masuk kantor, luka lebam di wajah Dilmar sudah hilang," harap Deby.
Kini mereka sudah berada di ruang tengah. Dimar terlihat meringis seperti tadi, merasakan sakit dan demam tubuhnya.
Raka mendekati Dilmar, walaupun ia hanya seorang Perawat, tapi Raka mampu mengenali keluhan pasien dengan ilmu yang selama ini ia dapat. Tidak lupa, Raka pun membawa alat-alat medis lainnya yang dibawa di tas ranselnya.
Raka memeriksa sekujur tubuh Dilmar termasuk perut.
"Alhamdulillah sekitar perut tidak ada luka dalam atau memar. Ini hanya ada luka gores benda tumpul di perut, tapi ini bisa diobati lukanya dengan plester," jelas Raka. Dengan cekatan Raka melakukan tugasnya dengan sebaik mungkin.
Untungnya kondisi wajah Dilmar ada yang parah. Wajah Dilmar hanya lebam dan bengkak saja akibat tamparan. Hanya saja ada luka di dalam mulutnya akibat gesekan gigi ke gusi sehingga menimbulkan luka di gusi kiri. Mungkin itu yang membuat Bang Dilmar tidak mau makan, karena gusinya ada yang luka." Raka menjelaskan.
Setelah Raka memeriksa keseluruhan kondisi Dilmar, Raka memberikan penjelasan kepada Vanya mengenai apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan selama merawat Dilmar. Vanya cukup paham dengan penjelasan Raka.
Deby sejenak membiarkan Raka berbincang bersama suaminya di dekat Dilmar, Deby mengajak Vanya menuju ruang tamu dan berbicara di sana.
"Bagaimana tadi saat Dilmar pulang ke rumah dalam kondisi babak belur?" Deby penasaran.
"Bang Dilmar meringis dan mengaduh saja dari tadi Kak. Sayangnya, ia sama sekali tidak mau bicara apapun terhadap Vanya. Sepertinya Bang Dilmar marah sama Vanya," tutur Vanya dengan wajah menunduk.
"Kamu yang sabar, ya. Anggap saja ini suatu bentuk kesabaran dan bakti kamu dalam merawat Dilmar. Kakak tahu dalam kondisi hati kamu tersakiti oleh perlakuan Dilmar, kamu saat ini dipaksa keadaan untuk merawat Dilmar. Kakak mohon, kamu bersabar. Kakak yakin, di balik musibah ini pasti ada hikmah baik untuk kalian," tutur Deby begitu perhatian dan bijaksana.
"Oh iya, mengenai perempuan yang ada di dalam foto itu, sepertinya kamu tidak perlu khawatir, karena kakak sudah memberinya peringatan keras agar dia menjauh dari Dilmar," tutur Deby meyakinkan Vanya. Vanya cukup memberi anggukan terhadap Deby.
"Baiklah Van, karena kakak takut pulang kemalaman, kakak sebaiknya pamit, ya. Kakak titip Dilmar, rawat dia dengan penuh kesabaran."
Vanya mengangguk mendengar pesan dari Deby barusan. Selanjutnya Deby dan Surya serta Raka berpamitan dari rumah Dilmar.
Setelah Deby dan suaminya berpamitan, tugas Vanya kini membujuk dan merawatnya dengan baik sampai luka lebam Dilmar sembuh.
"Ayo, sekarang Abang harus makan dulu, ya," bujuk Vanya untuk kesekian kali, tapi Dilmar tetap tidak mau bicara sepatah katapun dengan Vanya. Vanya menjadi bingung, apa maunya Dilmar?
nyesel atau marah sama Vanya....
lha gmn tidak ..ms Vanya masih kepikiran takut kalau gigi Dilmar ompong ...😁
𝗅𝖺𝗇𝗃𝗎𝗍 𝗒𝖺 𝗄𝖺