Gendhis... Gadis manis yang tinggal di perkampungan puncak Sumbing itu terjerat cinta karena tradisi perjodohan dini. Perjodohan itu disepakati oleh keluarga mereka saat usianya delapan bulan dalam kandungan ibunya.
Gadis yang terlahir dari keluarga sederhana itu, dijodohkan dengan Lintang, anak dari keluarga kaya yang tersohor karena kedermawanannya
Saat usia mereka menginjak dewasa, muncullah benih cinta di antara keduanya. Namun sayang, ketika benih itu sudah mulai mekar ternyata Lintang yang sejak kecil bermimpi dan berhasil menjadi seorang TNI itu menghianati cintanya. Gendhis harus merelakan Lintang menikahi wanita lain yang ternyata sudah mengandung buah cintanya dengan Lintang
Seperti apakah perjuangan cinta Gendhis dalam menemukan cinta sejatinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon N. Mudhayati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Trio Centil Kembali Berulah
Di kantin sekolah, Gendhis dan teman-teman sedang menikmati waktu istirahat seusai pelajaran olah raga. Mereka duduk di kursi yang tak jauh dari tempat mengambil makanan. Segelas es teh, dengan semangkuk soto ditambah tempe mendoan sudah cukup menghapus dahaga juga lesu mereka. Itulah menu favorit anak-anak. Meski bukan makanan ala-ala Korea seperti makanan anak jaman sekarang, tapi kalau soal rasa, menu di sini nggak kalah sama restoran Korea. Menu sederhana ini cukup digemari karena rasanya yang khas.
"Mbak Gendhis kok tumben nggak sama Mbak Tina?" Tanya Bu Kantin sambil melayani pelanggan.
"Iya, Bu. Tina nggak masuk hari ini." Jawab Gendhis sambil menikmati soto bening masakan Bu Kantin.
"Kenapa Mbak Tina? Sakit?" Tanya Bu Kantin.
"Nggak tau, Bu... nggak ada izin." Jawab Gendhis.
"Eh, Dis... kayaknya tadi aku lihat Tina deh." Kata Indah salah seorang teman Gendhis.
"Liat Tina? Di mana?" Gendhis bertanya.
"Kurang jelas juga sih tadi di parkiran rame banget soalnya." Jawab Indah.
"Kamu salah lihat kali..." Kata Gendhis.
"Tapi kayaknya beneran Tina deh, Dis. Soalnya tadi di jalan waktu aku mau berangkat, aku liat Tina udah pake sragam sekolah." Tambah Ida, yang kebetulan jarak rumahnya dengan Tina tidak terlalu jauh.
Gendhis mulai penasaran. Apa iya, sahabat deketnya itu bolos sekolah? Lalu ngapain? Kenapa dia nggak bilang? Selama ini Tina nggak pernah merahasiakan apapun dari Gendhis. Tapi Gendhis merasa, memang sudah beberapa hari ini sikap Tina sedikit aneh.
"Jadi... maksud kalian, Tina bolos sekolah?" Tanya Gendhis pada kedua sahabatnya.
Mereka pun hanya mengerutkan pundak wajah mereka seolah tak tahu kejadian yang sebenarnya.
Beberapa saat kemudian, bell istrahat berbunyi. Semua siswa berhamburan keluar kelas. Tiba-tiba terdengar suara yang cukup lantang memanggil nama Bu Kantin.
"Bu... Bu Kantin. Sotonya dong, Bu. Seperti biasa yaaa... tiga. Nggak pake daun bawang dan kuahnya yang banyak." Kata Leny sambil memanggil Bu Kantin yang sedang mencuci piring di belakang.
Trio Centil itu ternyata sudah berada di depan kantin. Mereka bertiga melihat Gendhis dan teman-temannya ada di dalam kantin. Shelly langsung mendekat ke meja Gendhis lalu berkata.
"Heh... kalian ngapain di sini?" Tanya Shelly sinis.
"Kakak nggak lihat ya? Kami sedang makan." Jawab Gendhis sambil menikmati makanannya.
"Eh... kalau ditanya sama kakak kelas itu jawabnya yang sopan dong...! Nyolot aja sih..." Shelly kesal mendengar jawaban Gendhis.
"Tadi kakak tanya kami lagi apa, saya jawab lagi makan, di mana nggak sopannya, Kak?" Kata Gendhis pura-pura tak tahu apa maksud perkataan Shelly.
Indah dan Ida hanya duduk tertunduk. Mereka seketika menjadi kenyang lihat Trio Centil seketika berada di hadapan mereka.
Shevin akhirnya mendekat seraya berkata,
"Shelly... mungkin... sebagai kakak, kita perlu ajarin dia bagaimana cara bersopan santun!" Kata Shevin sewot.
"Eh, kalian anak kecil... kalau cuma sekedar makan... noh... di sana noh... ada banyak kantin. Ngapain kalian jajan di sini? Kalian nggak tahu? Ini kantin wilayah kami...! Selama kami lagi makan di sini, nggak boleh ada yang ikut nimbrung." Kata Lany melotot seolah matanya mau copot.
Shevin hanya diam saja melihat perlakuan teman-temannya, karena memang seperti itu kebiasaan mereka.
"Emang kenapa Kak, kalau kami makan di sini? Ini kantin milik Bu Kantin. Bukankah siapa saja berhak jajan di sini? Aku kira Bu kantin juga nggak akan keberatan. Dengan tindakan kalian seperti itu, tentu akan merugikan Bu Kantin. Dan sku rasa..., ucapaku ini nggak salah. Iya kan, Bu Kantin?" Gendhis menoleh ke arah Bu Kantin yang hanya tertunduk tak berani menjawab meski ucapannya benar.
Selain memiliki ayah seorang pemilik toko besi terbesar di Kaliangkrik, Ibunya Shevin adalah Ketua Komite di sekolah mereka. Terlahir dari keluarga yang serba mampu, membuat Shevin terbiasa mendapatkan semua yang ia mau. Bu Kantin khawatir, izinnya untuk berjualan di kantin Smandong akan di hapus. Berjualan di sekolah itu adalah satu-satunya tumpuan ekonomi keluarga mereka.
"Dasar yaaa... anak ini, mau sok jadi pahlawan." Ucap Shelly sambil berjalan mendekati Gendhis. Ingin rasanya dia menarik hijab Gendhis dan menyumpal mulutnya dengan tempe mendoan, biar nggak asal bicara. Tapi segera Shevin mencegahnya.
"Shelly, Lany... Mulai detik ini juga, kita pindah. Aku sudah nggak selera lagi makan di sini." Kata Shevin sambil keluar meninggalkan kantin diikuti oleh seluruh personil Trio Centil. Padahal Bu Kantin sudah membuatkan pesanan mereka.
Bu Kantin hanya mengelus dada, lantas Gendhis berjalan mendekatinya.
"Bu... maafin Gendhis ya, gara-gara Gendhis mereka nggak jadi makan di sini. Dan, mungkin juga untuk besok-besok." Gendhis meminta maaf.
Bu Kantin tersenyum sambil berkata,
"Mbak Gendhis..., nggak usah minta maaf. Ibu malah bersyukur mereka nggak jajan ke sini lagi. Karena kalau mereka sedang di sini, pembeli lain pada kabur karena nggak mau cari masalah. Selama ini cuma Mbak Gendhis yang berani melawan ucapan mereka." Kata Bu Kantin.
"Bu, saya nggak bermaksud untuk mengusir pelanggan Bu Kantin. Saya cuma nggak suka aja dengan tingkah mereka yang suka memandang rendah orang lain, terutama jika orang tersebut dari keluarga kurang mampu." Ucap Gendhis.
"Iya, Mbak Gendhis betul. Saya memang merasa lega sekarang. Tapi mungkin tidak untuk Bu Kantin yang lain, Mbak. Mereka pasti sedang merasa cemas saat kantin mereka dipilih untuk tempat nongkrong mereka." Kata Bu Kantin.
"Apa nggak ada yang lapor sama guru-guru?" Gendhis bertanya.
"Mana ada yang berani, Mbak..." Bu Kantin seolah pasrah.
Gendhis hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.
Setelah selesai makan, Gendhis dan kedua temannya segera masuk kelas karena pelajaran berikutnya akan segera dimulai.
"Eh, Dis... tau nggak? Kamu tadi berani banget ngomong gitu sama geng arogan itu. Emang kamu nggak takut kena masalah?" Tanya Indah saat mereka berjalan masuk kelas.
"Kenapa aku harus takut, Ndah? Yang penting kan nggak cari masalah sama bapak ibu guru..." Jawab Gendhis santai.
"Bukankah dari awal mereka juga sudah menganggap aku ini adalah masalah mereka? Biarin aja... selagi kita bener nggak perlu takut." Tambah Gendhis.
Dan mereka pun segera masuk menuju ruang kelas.
*****
Bell pulang sekolah berbunyi. Segera semua siswa keluar dan bergegas menuju tempat parkir. Banyaknya jumlah murid di sekolah itu membuat tempat parkir selalu penuh. Mereka harus rela menunggu jika tak ingin berdesakan dengan yang lainnya.
Setelah kondisi di tempat parkir mulai lengang, Gendhis berjalan menuju motor yang terparkir tak jauh dari gebang sekolah. Dia terkejut, ketika mendapati motornya sudah jadi tempat persinggahan untuk para siput yang berlendir.
"Astaghfirullah...." Gendhis terkejut.
"Ada apa, Dis?" Tanya salah seorang siswa laki-laki padanya.
"Nggak papa, Kak. Ini cuma ada siput di motor saya." Jawab Gendhis.
"Hah... siput?" Dia terheran.
Siswa laki-laki itu berjalan mendekatk motor Gendhis dan ternyata benar, ada delapan siput nongkrong di motor Gendhis. Ada yang di jog motor, spion, stang momotor dan bagian lainnya, membuat motor Gendhis dipenuhi dengan lendir.
"Heran... kenapa bisa ada siput di sini, padahal di motor lain nggak ada." Kata siswa laki-laki itu sambil membantu Gendhis mengambil siput-siput itu lalu membuangnya di kebun samping sekolah.
"Makasih, ya Kak." Jawab Gendhis.
"Iya Dis, sama-sama." Jawab siswa laki-laki.
Ternyata tak cukup sampai di situ. Ketika Gendhis hendak menghidupkan mesin motornya, ternyata... oh... ternyata. Ban motornya bocor depan juga belakang. Bahkan tutup pentilnya pun sudah kabur entah kemana.
"Masya Allah..." Gendhis mengelus dada.
Ia berfikir ini kebetulan atau cuma kebetulan sih? Kenapa bisa dalam satu hari dia punya dua masalah sekaligus pada motornya. Dan itu dalam waktu yang bersamaan. Dia nggak mau suudzon, tapi saat dia memutuskan untuk mencari masalah dengan Trio Centil, harusnya dia berfikir hal seperti ini pasti terjadi.
Suasana di sekolah sudah sangat sepi. Bahkan siswa laki-laki yang tadi menolongnya pun sudah beranjak pergi. Mau gimana lagi? Suka nggak suka, Gendhis harus berjalan kaki dengan menuntun motor maticnya mencari tempat tambal ban.
"Sabar... Dis... sabar... harus kuat!" Ucap Gendhis dalam hati.
Di bawah terik matahari menyengat dan udara panas, Gendhis masih menuntun motornya mencari tambal ban yang jaraknya cukup jauh dari Smandong. Orang berlalu lalang tanpa ada satupun yang menawarkan bantuan, namun dia tetap berjalan.
"Seandainya Mas Lintang ada di sini... aku pasti nggak akan terkena masalah seperti ini..." Ucapnya dalam hati membuat Gendhis ingin menitikkan air mata.
"Ah... sudahlah... jangan berharap, Dis... Mas Lintang mu itu sekarang lagi marah, karena ulah mu sendiri. Jadi berhenti berfikir bahwa dia akan menolong mu. Lebih baik kamu percepat langkah agar cepet sampai." Ucapnya dalam hati.
Saat Gendhis hendak melewati sebuah pertigaan di gang kecil jalan masuk Smandong, tiba-tiba dari arah berlawanan melaju kendaraan dengan sangat cepat, hingga nyaris menabrak Gendhis.
"Ssssttttt...."
Sepeda motor dengan dua orang penumpang laki-laki itu berhenti persis di depan Gendhis.
"Kalau jalan jangan ngelamun! Bahaya tau! Itu bisa membahayakan dirimu sendiri...!" Ucap laki-laki yang mengendarai motor di depa.
Betapa terkejutnya Gendhis...
"Mas Lintang...!" Ia terkejut sekaligus heran bercampur bahagia, melihat orang yang sedang ia fikirkan ternyata sudah berdiri di hadapannya. Apalagi di saat ia sedang amat membutuhkannya. Ingin rasanya Gendhis mengadu tentang apa yang telah ia alami seharian ini tanpa Lintang di sampingnya.
*****
Gandis juga baru lulus SMA kok bisa langsung jadi guru?