"Tlembuk" kisah tentang Lily, seorang perempuan muda yang bekerja di pasar malam Kedung Mulyo. Di tengah kesepian dan kesulitan hidup setelah kehilangan ayah dan merawat ibunya yang sakit, Lily menjalani hari-harinya dengan penuh harapan dan keputusasaan. Dalam pertemuannya dengan Rojali, seorang pelanggan setia, ia berbagi cerita tentang kehidupannya yang sulit, berjuang mencari cahaya di balik lorong gelap kehidupannya. Dengan latar belakang pasar malam yang ramai, "Tlembuk" mengeksplorasi tema perjuangan, harapan, dan pencarian jati diri di tengah tekanan hidup yang menghimpit.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Esa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2: 600 Ribu Sekali Crot
Malam mulai larut, udara di luar semakin dingin, tapi di dalam kamarnya yang sempit dan hangat, Lily sibuk memeriksa ponselnya yang bergetar. Beberapa notifikasi pesan masuk dari nomor-nomor tak dikenal, dan salah satunya berasal dari pria yang menggunakan nama samaran "Om Joko" di aplikasi pesan singkat. Mereka sebelumnya sudah saling bertukar pesan singkat, dan malam ini pria itu kembali menghubunginya.
Lily menatap layar ponselnya sejenak, ragu. Namun, bayangan biaya rumah sakit dan kebutuhan sehari-hari yang semakin mendesak membuat hatinya goyah. Ia membuka pesan itu, membaca isinya dengan seksama.
"Malam ini bisa, nggak? Lokasi di hotel biasa. 600 ribu untuk sekali ketemu. Langsung cash."
Kata-kata itu terasa dingin dan berat, seolah menusuk nuraninya. Tapi, angka 600 ribu itu berputar-putar di benaknya, seolah menari di atas kepalanya. Jumlah yang besar untuknya, cukup untuk membeli obat-obatan dan membayar beberapa tagihan yang menumpuk. Ia menarik napas dalam-dalam, menutup matanya sejenak, berharap ada jawaban yang lebih baik dari hatinya. Namun, tak ada. Hanya diam dan sunyi yang terasa menyesakkan.
Setelah beberapa menit menimbang, akhirnya ia mengetik balasan, dengan tangan sedikit gemetar.
"Oke, Om. Jam 9 nanti ya."
Balasan cepat datang dari Om Joko, mengonfirmasi lokasi pertemuan mereka di sebuah hotel kecil di pinggir kota. Hati Lily berdegup lebih cepat saat melihat pesan itu. Rasanya seperti menjual sedikit demi sedikit harga dirinya, tapi ia tak punya pilihan lain. Setelah memastikan ibunya sudah tidur lelap, Lily berkemas, mengambil jaket hitamnya, dan keluar dari rumah dengan hati yang berat.
Di luar, malam sudah semakin gelap, hanya diterangi lampu jalan yang temaram. Ia berjalan ke tempat biasa ia memanggil ojek online. Udara dingin menusuk kulitnya, tapi tak ada yang lebih dingin daripada perasaan yang menguasai hatinya saat ini.
Setelah beberapa menit menunggu, sebuah motor berhenti di depannya. Seorang pengendara dengan helm full-face menyapanya.
"Malam, Mbak Lily, ya?" tanya si pengendara, suaranya terdengar ramah meski tak bisa menyembunyikan rasa penasaran saat melihat penampilan Lily yang lebih rapi dari biasanya.
"Iya, Mas. Ke hotel itu ya," jawab Lily dengan suara pelan sambil naik ke boncengan.
Perjalanan terasa panjang meski sebenarnya hanya sekitar dua puluh menit. Sepanjang perjalanan, Lily terus memikirkan bagaimana hidupnya bisa berakhir seperti ini. Dulu, ia punya mimpi besar, tapi kini ia hanya mengejar angka di layar ponselnya, demi menyambung hidup dan membayar perawatan ibunya. Di balik helmnya, air mata sempat mengalir di pipi, meski ia berusaha menyembunyikannya dari si pengendara.
Sesampainya di depan hotel, Lily turun dan memberikan uang ongkos pada pengendara ojek. Ia berdiri sejenak di depan bangunan itu, mengumpulkan keberanian sebelum melangkah masuk. Pintu kaca hotel terbuka, dan hawa hangat menyambutnya, seolah menutup rasa dingin dari luar. Di dalam, ia bertemu dengan resepsionis yang sudah mengenalinya, memberikan kunci kamar dengan senyum canggung.
"Kamar 203, seperti biasa, Mbak," ucap resepsionis dengan sopan, meski nada bicaranya menyiratkan rasa prihatin.
Lily hanya mengangguk kecil tanpa banyak bicara, melangkah menuju tangga, melewati lorong sempit yang sepi. Kamar 203 berada di sudut, jauh dari kebisingan. Ketika Lily membuka pintunya, ia mendapati Om Joko sudah duduk di sofa dengan senyum lebar. Pria itu mengenakan kemeja mahal dan perhiasan emas yang berkilauan. Bau parfum mahal tercium di ruangan itu, bercampur dengan aroma minuman keras yang sudah dituangkannya di atas meja.
"Eh, akhirnya datang juga. Udah lama nunggu, lho," sapa Om Joko sambil menatap Lily dari ujung kepala hingga ujung kaki, seolah menilai barang dagangan.
Lily hanya tersenyum tipis, mencoba menahan rasa tidak nyaman yang menyeruak di dadanya. Ia duduk di seberang Om Joko, menatap pria itu dengan mata yang kosong. Tangannya gemetar saat menerima amplop coklat yang langsung diberikan padanya.
"Ini, seperti yang kita sepakatkan. Langsung cash, ya. Sekali selesai, nggak ada drama, nggak ada komplain. Deal?" Om Joko menyeringai, suaranya terdengar seperti seorang pedagang yang tengah menutup transaksi.
Lily menatap amplop itu sejenak, lalu memasukkannya ke dalam tas kecilnya. "Iya, Om. Seperti biasa, cepat aja, ya."
Om Joko tertawa kecil, seakan menikmati kepasrahan di wajah Lily. Mereka berdua tahu apa yang akan terjadi setelah ini, dan Lily hanya berharap semuanya cepat berlalu.
Malam semakin larut ketika Lily akhirnya tiba di hotel kecil di pinggir kota, tempat pertemuannya dengan Om Joko. Suasana di dalam hotel tampak sepi, hanya ada suara TV dari ruang resepsionis yang sesekali terdengar. Setelah mengambil kunci kamar dari petugas, ia berjalan menuju kamar 203 dengan langkah berat.
Di dalam kamar, Om Joko sudah menunggu, duduk di tepi tempat tidur dengan sikap santai. Pria berusia sekitar 50-an itu mengenakan kemeja mahal yang terbuka di beberapa kancing atasnya, menampilkan rantai emas yang berkilauan di lehernya. Saat Lily masuk, Om Joko menatapnya dari atas ke bawah dengan senyum puas, jelas menikmati pemandangan di depannya.
"Eh, ini dia, Lily," katanya dengan nada yang dibuat akrab. Matanya tampak mengamati setiap gerak-gerik Lily, penuh rasa penasaran dan ketertarikan. "Kamu cantik juga ya, lebih cantik dari yang aku bayangkan."
Lily hanya tersenyum kecil, mencoba mengabaikan pandangan tajam dari pria di depannya. Ia tahu apa yang diinginkan Om Joko, dan semakin cepat mereka menyelesaikannya, semakin cepat ia bisa pulang. Tapi, di balik senyum tipisnya, ada rasa cemas yang tak bisa sepenuhnya ia sembunyikan.
Om Joko bangkit dari tempatnya dan mendekat ke arah Lily, memegang bahunya dengan tangan yang terasa dingin dan kasar. "Kamu kelihatan tegang, santai aja, kita di sini buat senang-senang, bukan buat mikir berat," ucapnya sambil tertawa kecil.
Lily mencoba tetap tenang, meski setiap sentuhan dari Om Joko membuatnya semakin tidak nyaman. "Iya, Om. Saya ngerti," jawabnya, menahan diri agar suaranya tidak terdengar gemetar.
Tanpa banyak basa-basi, Om Joko mengajak Lily duduk di tepi tempat tidur. Tangannya mulai menjelajah, menikmati tubuh Lily dengan cara yang membuat Lily merasa seperti barang yang hanya dinilai dari luarnya saja. Namun, Om Joko tampak tidak peduli pada perasaan Lily, ia hanya fokus pada keinginannya sendiri, menikmati setiap momen tanpa berpikir tentang apa yang ada di balik senyum tipis wanita di hadapannya.
"Udah berapa lama kamu kerja kayak gini, Lily?" tanyanya tiba-tiba, sambil terus menggerakkan tangannya.
Lily terdiam sejenak, berpikir cepat bagaimana menjawabnya. Tapi kemudian, ia sadar bahwa Om Joko mungkin tidak benar-benar peduli dengan jawabannya. Ia hanya ingin mengisi waktu sambil mendapatkan apa yang diinginkannya. "Baru, Om. Cuma buat tambahan aja," jawabnya singkat, berusaha tidak terlalu banyak berbagi tentang kehidupannya.
Om Joko hanya mengangguk sambil tersenyum puas, seolah itu sudah cukup baginya. Bagi pria itu, Lily hanyalah hiburan semalam, sebuah pelarian dari rutinitas yang membosankan.
Malam itu, Om Joko melanjutkan untuk menikmati tubuh Lily tanpa banyak bicara lagi. Lily berusaha mengendalikan dirinya, memikirkan tujuannya dan harapan untuk bisa segera keluar dari situasi ini. Ia mengalihkan pikirannya pada ibunya, pada biaya rumah sakit yang menumpuk, dan pada rasa tanggung jawabnya sebagai anak.
Saat semuanya berakhir, Lily hanya bisa menarik napas lega dalam hati. Om Joko menyerahkan amplop berisi uang seperti yang dijanjikan, lalu bersiap-siap untuk pergi dengan sikap santai, seolah tak ada yang berarti dalam pertemuan mereka malam itu. Baginya, ini hanyalah urusan bisnis yang sudah selesai.
"Kalau butuh lagi, tinggal hubungi, ya. Aku pasti bisa bantu," ucap Om Joko sambil berjalan menuju pintu, meninggalkan Lily yang masih duduk di tepi tempat tidur, memegang amplop berisi uang itu dengan tangan gemetar.
"Iya, Om. Terima kasih," jawab Lily, mencoba menutup perasaan hampa yang menyelimuti hatinya. Ia menunggu sampai suara langkah Om Joko benar-benar hilang di ujung lorong sebelum bergegas mengemasi barang-barangnya dan keluar dari kamar itu.
Ketika ia akhirnya berada di luar hotel, Lily menatap amplop yang ada di tangannya. Jumlah yang ada di dalamnya cukup untuk menutupi sebagian biaya pengobatan ibunya. Tapi, di dalam hatinya, ada perasaan bersalah yang begitu besar. Ia bertanya-tanya berapa lama lagi ia harus menjalani hidup seperti ini.
Lily kembali pulang dengan ojek online, sama seperti saat datang tadi. Udara malam yang dingin terasa menusuk kulit, tapi ia mencoba tidak memedulikan itu. Baginya, yang terpenting sekarang adalah membawa uang itu ke rumah sakit dan memastikan ibunya mendapatkan perawatan yang layak.
Setibanya di rumah, Lily bergegas masuk ke kamar kecilnya, menyembunyikan amplop uang itu di dalam laci meja rias. Ia menghapus riasan di wajahnya dengan cepat, mencuci muka di wastafel kamar mandi yang kecil dan kusam. Di depan cermin, ia menatap pantulan wajahnya sendiri yang tampak lelah dan letih.
Air mata yang sempat ia tahan sepanjang malam itu akhirnya mengalir deras, membasahi pipinya. Di dalam hatinya, ia tahu bahwa ini bukan hidup yang diinginkannya. Namun, untuk saat ini, ia tak melihat pilihan lain. Demi ibunya, demi rasa cinta yang tak terukur, Lily rela menanggung beban ini meski jiwanya perlahan terasa remuk.
Malam itu, di bawah selimut tipis di kamar sempitnya, Lily mencoba tidur dengan pikiran yang terus dipenuhi rasa bersalah dan harapan yang samar-samar. Ia berdoa dalam hati, berharap suatu hari nanti ia bisa keluar dari kegelapan ini dan menemukan kembali arti kebahagiaan yang telah lama hilang.