FOLLOW IG AUTHOR 👉@author Three ono
Yang gak kuat skip aja!! Bukan novel tentang poligami ya, tenang saja.
Pernikahan sejatinya terjadi antara dua insan yang saling mencinta. Lalu bagaimana jika pernikahan karena dijodohkan, apa mereka juga saling mencintai. Bertemu saja belum pernah apalagi saling mencintai.
Bagaimana nasib pernikahan karena sebuah perjodohan berakhir?
Mahira yang biasa disapa Rara, terpaksa menerima perjodohan yang direncanakan almarhum kakeknya bersama temannya semasa muda.
Menerima takdir yang sang pencipta berikan untuknya adalah pilihan yang ia ambil. Meski menikah dengan lelaki yang tidak ia kenal bahkan belum pernah bertemu sebelumnya.
Namun, Rara ikhlas dengan garis hidup yang sudah ditentukan untuknya. Berharap pernikahan itu membawanya dalam kebahagiaan tidak kalah seperti pernikahan yang didasari saling mencintai.
Bagaimana dengan Revano, apa dia juga menerima perjodohan itu dan menjadi suami yang baik untuk Rara atau justru sebaliknya.
Tidak sa
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Three Ono, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
15. Satu Mobil Dengan Kekasihnya
Febby meremas ujung dress yang ia pakai, mendengar Revan memarahinya didepan istrinya benar-benar membuat amarah Febby membuncah memenuhi hatinya. Baru kali ini Revan membentaknya.
"Berhenti disini saja, biar aku pulang sendiri." Febby berkata dengan yakin karena ia pikir Revan akan membujuknya.
"Aku akan mengantarkan mu," ujar Revan datar.
"Tidak, aku turun disini saja. Sepertinya kamu sedang tidak ingin diganggu olehku."
Cittt...
Revan menepikan mobilnya membuat Febby ketar-ketir karena ia tidak sungguh-sungguh dengan ucapannya, ia hanya menggertak saja.
"Baiklah, kau berhati-hatilah. Maaf, aku tidak bermaksud memarahimu."
What... apa maksudmu Van, apa kau benar-benar menurunkan ku di tengah jalan.
Febby melotot tajam.
"Apa mau aku panggilkan taksi?" tawar Revan.
"Tidak perlu, terimakasih."
Febby keluar dari mobil dengan berapi-api lalu membanting pintu mobil dengan keras.
"Revan siaaalllaann!!!" Umpat Febby saat mobil Revan sudah pergi meninggalkannya.
Kemudian Febby mengambil ponselnya dan menelpon seseorang yang sudah beberapa hari ini tidak ia temui.
"Hallo, jemput aku di jalan X."
Setelah selesai menelepon, Febby kembali melayangkan sumpah serapahnya pada Revan, sampai tidak sadar jika sejak tadi dia menjadi tontonan warga sekitar.
"Cantik-cantik gilaaa."
Begitulah pikiran orang yang melihat Febby marah-marah sendiri di pinggir jalan.
,,,
Di mobil, Rara masih duduk di kursi belakang seperti tadi saat masih ada Febby.
"Apa tidak apa-apa meninggalkannya di jalan seperti itu, Kak."
Rara juga wanita, jika diturunkan di tengah jalan seperti itu juga pasti akan sangat marah. Dia juga tidak mau wanita yang berstatus kekasih suaminya itu semakin membencinya dan menganggapnya musuh, ia tidak ingin menggunakan cara yang kasar untuk mengahadapinya.
"Haa..." Revan sadar dari lamunannya.
Entah apa yang ia lamunkan, dia bukan sedang merasa bersalah karena menurunkan Febby tapi ia merasa bersalah pada Rara.
"Dia bisa marah pada kakak setelah ini," kata Rara dengan acuh.
"Sebaiknya kak Revan putar kembali mobilnya." Kali ini Rara memalingkan wajahnya ke luar jendela.
Revan benar-benar menghentikan mobilnya, Rara pikir mungkin dia berubah pikiran dan ingin menjemput kekasihnya lagi.
"Pindah ke depan," titah Revan.
Rara berbalik menatap suaminya dengan alis yang sedikit terangkat.
"Tidak, aku disini saja," tolak Rara.
"Mahira Nareswari pindah ke depan aku bilang," ujar Revan menekankan kalimatnya.
"Kenapa kak, biarkan aku disini saja. Sebentar lagi juga sampai di rumah." Rara sedikit menurunkan nada bicaranya, karena suaminya sedang marah sebaiknya ia mengalah jangan sampai keduanya sama-sama meninggikan emosi.
Revan menghembuskan nafasnya, lalu meraih handle pintu dan membukanya. Berjalan memutari mobil dan membuka pintu mobil di sisi Rara.
"Pindah ke depan, aku bukan supir. Atau mau aku gendong lagi?"
Bola mata Rara membulat seketika menatap Revan yang sudah membuka pintu lebar-lebar, tapi ia tidak mau berdebat dengan suaminya. Ia pun memilih mengalah dan pindah ke tempat duduk yang ada di depan.
Di samping kanannya, Revan tersenyum senang. Dia bahkan tidak memikirkan sama sekali tentang Febby tadi.
"Maaf," ujar Revan, untuk yang kesekian kalinya dia merasa bersalah.
"Untuk apa kak?"
"Tadi pagi karena marah-marah padamu lalu kau tersesat dan membuatmu menunggu lama tadi siang. Maaf belum bisa menjadi suami yang baik untukmu."
"Tidak apa-apa kak, kalau tidak ada kejadian itu mungkin aku tidak akan dipertemukan dengan teman baruku."
Rara bersyukurlah bisa bertemu dengan Lia tepat waktu tadi pagi. Meski kecewa dengan suaminya tapi mungkin itu cara Allah mempertemukan dia dengan Lia.
"Dan maaf jika sikap Febby sedikit kurang sopan di depanmu tadi," ujar Revan lagi.
"Kakak bukan walinya jadi tidak perlu meminta maaf untuknya."
Ucapan Rara jelas menghantam pikiran Revan.
"Maaf, semua salahku yang awalnya menolak perjodohan ini sampai masih mempertahankan hubunganku dengan Febby," ujarnya lagi.
"Apa sekarang kak Revan mau belajar menerima perjodohan kita ini."
Febby tidak yakin dengan pertanyaannya sendiri.
"Aku akan mencoba menerimanya dan menjadi suami yang baik, tapi aku belum bisa memutuskan Febby, aku akan memberinya pengertian dengan perlahan-lahan."
Rara hanya tersenyum menanggapinya, walaupun hatinya terluka. Tidak mengerti dengan jalan pikiran suaminya, jika memang mau mencoba menerima perjodohan mereka lantas kenapa masih berhubungan dengan kekasihnya.
Setelah pembicaraan itu keduanya larut dalam pikirannya masing-masing. Hingga sampai di depan rumah Rara keluar mendahului Revan dan segera masuk ke dalam rumah lalu masuk kedalam kamar.
"Kamu mau kemana?" tanya Revan yang berpapasan dengan istrinya di tangga, baru sebentar Rara sudah buru-buru turun lagi.
"Ke dapur Kak." Kembali melanjutkan langkahnya setelah menjawab singkat pertanyaan suaminya.
"Tunggu," cegah Revan lagi.
"Iya Kak, apa kak Revan butuh sesuatu?" Rara kembali berbalik.
"Tidak. Untuk apa kau buru-buru ke dapur, beristirahat saja kau pasti lelah baru saja pulang."
"Tidak apa-apa kak, aku hanya mau menyiapkan makan siang sebentar."
Rara berbalik lagi, tapi karena ia tidak berdiri dengan benar hampir saja dia terjungkal ke bawah.
"Aaa ...."
Untunglah dengan cepat Revan meraih pinggang Rara dan menyelamatkannya.
"Sudah aku bilang kan, beristirahat. Bagaimana kalau kau terjatuh tadi."
Revan mengomel pada istrinya yang menurutnya keras kepala.
"Maaf kak, aku tidak hati-hati tadi."
Mereka berdua masih berdempetan, dengan tangan Revan yang masih melingkar di pinggang sang istri sedangkan satu tangannya lagi berpegangan pada pinggiran tangga, untuk menahan agar tidak terjatuh ke bawah.
Tatapan mata mereka bertemu dengan jarak yang begitu dekat, Rara bisa merasakan hangatnya hembusan nafas Revan di wajahnya. Debaran jantungnya yang kaget karena hampir terjatuh kini semakin tidak bisa ia kontrol.
Revan juga sama terpaku, bola mata sayu dan bersinar seakan memikatnya. Mereka pernah di posisi yang dekat tapi tidak sedekat saat ini. Sama-sama mengagumi keindahan ciptaan Allah didepannya tanpa berkedip.
"Pak tua apa Revan dan Rara sudah pulang." Kakek baru saja tiba di rumah sepulang dari pabrik.
"Tuan..." Pak tua menghentikan langkahnya.
"Ada apa?"
"Itu tuan," tunjuk pak tua ke arah tangga, dimana disana masih ada pemandangan sepasang suami istri yang masih dengan posisi seperti tadi.
Kakek pun melihat ke arah tangga. Cucunya dan istrinya sedang bermesraan rupanya, pikir kakek.
"Apa kita keluar saja," bisik kakek yang tidak ingin merusak momen.
"Aku pikir lebih baik begitu tuan." Pak tua mengangguk setuju.
Mereka saling pandang kemudian berbalik, hendak kembali keluar rumah tidak ingin yang sedang bermesraan di tangga melihat kedatangannya.
"Pelan-pelan," kakek mengingatkan pak tua agar berjalan dengan sangat pelan.
Para laki-laki tua itu mengendap-endap seperti pencuri yang tidak ingin ketahuan oleh pemilik rumah.
Pranggg.
Sayang sekali, kaki kakek tidak sengaja menyenggol pot bunga hingga terjatuh.
Revan dan Rara pun segera melepaskan diri setelah mendengar suara itu, keduanya salah tingkah.
"Sejak kapan ada pot bunga disini, sepertinya dari kemarin tidak ada."
Kakek terpaksa berakting seperti tidak melihat adegan yang ada di tangga tadi.
"Pak tua suruh orang pindahkan ini, jangan menaruhnya disini. Bahaya jika ada yang tersandung nanti."
Pak tua hanya mengangguk saja mengikuti sandiwara tuannya.
"Kakek..." panggil Revan.
"Ehh, kau sudah pulang." Kakek bersikap seperti biasa.
"Ada apa kakek marah-marah?" Revan sudah tau jika kakeknya itu sedang berpura-pura.
"Ini nak, ada yang menaruh pot bunga disini. Bahayakan jika ada yang tersandung."
"Pot bunga itu sudah sejak lama disitu kek, tidak ada yang akan tersandung jika berjalan dengan benar," sindir Revan.
Kakek terkekeh, rupanya cucunya itu sudah tau jika ia mengintip.
"Maafkan kakek karena kalian jadi terganggu tadi. Ayo pak tua antarkan saya keatas."
Kakek pergi tanpa rasa bersalah karena ucapannya barusan membuat pipi Rara memerah karena malu.
"Kakek... kakek..." Revan tak habis pikir dengan kelakuan kakeknya.
"Aku kebawah dulu kak." Rara berlari melesat pergi dari hadapan Revan. Ia malu sekali karena ketahuan oleh kakek Tio tadi.
Sementara Revan.
"Dia lucu sekali jika sedang malu," gumamnya menatap punggung istrinya yang semakin menjauh.
to be continue...
°°°
Salam goyang jempol guys.
Yuk jempolnya digoyang, like, komen, hadiah.
Author nya ngarep.
Komen apa aja yang kalian ingin sampaikan.
Sehat selalu pembacaku tersayang.