NovelToon NovelToon
Pria Pilihan Sang Perawat

Pria Pilihan Sang Perawat

Status: tamat
Genre:Romantis / Komedi / Tamat / Nikahkontrak / Cintamanis
Popularitas:476.1k
Nilai: 4.9
Nama Author: SHIRLI

Cantik, cerdas dan mandiri. Itulah gambaran seorang Amara, gadis yang telah menjadi yatim piatu sejak kecil. Amara yang seorang perawat harus dihadapkan pada seorang pria tempramental dan gangguan kejiwaan akibat kecelakaan yang menimpanya.

Sanggupkah Amara menghadapi pria itu? Bagaimanakah cara Amara merawatnya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SHIRLI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Sebuah tawaran

Tok tok tok!

Amara mengetuk pintu ruang kerja Dokter Khanza untuk memenuhi panggilan Dokter spesialis bedah syaraf itu. Meski ia sendiri belum tahu gerangan apa yang membuat dokter senior itu secara khusus memanggilnya ke ruang kerja.

"Masuk!"

Amara membuka pintu saat terdengar suara dari dalam. "Assalamualaikum Dokter, anda memanggil saya?" tanya Amara saat dirinya sudah berdiri di ambang pintu.

"Waalaikumsalam, Amara. Masuklah. Saya ingin bicara dengan kamu." Dokter Khanza mempersilahkan sambil melirik kursi kosong di depannya.

Deg.

Perasaan Amara bercampur aduk tak karuan. Meskipun ia merasa tak punya salah namun dipanggil mendadak seperti ini membuatnya was-was juga. "Baik, Dok," ucapnya sambil mengangguk, lantas menutup pintu itu rapat sebelum melangkah menuju meja kerja Dokter Khanza.

"Duduk lah,"

Amara mengangguk pelan lalu duduk pada kursi di seberang Dokter Khanza dengan hati-hati.

"Kamu tahu kenapa saya panggil kesini?"

Amara menggeleng pelan, lantas menjawab pertanyaan Dokter Khanza dengan tanya, sementara Wajahnya penuh kecemasan. "Apa saya bersalah, Dokter?"

"Tidak," sangkal Khanza cepat dan itu membuat Amara bernafas lega. Wajah yang semula sempat memucat itu kini terlihat kembali merona.

"Lalu untuk apa saya dipanggil Dokter?" tanya Amara kemudian dengan wajah penasaran.

"Begini, Mara." Dokter Khanza menjalin jemarinya di atas meja dan menatap Amara lekat-lekat. "Saya hanya ingin menawarkan sesuatu sama kamu," jawab Dokter Khanza tanpa basa-basi. "Saya lihat kamu ini orangnya telaten dan totalitas kamu dalam bekerja sudah tak perlu diragukan lagi. Dari pertimbangan itu, saya merekomendasikan kamu untuk menjadi perawat khusus seorang pasien di rumahnya. Jadi, apa kamu bersedia?" tanya dokter Khanza dengan penuh kesungguhan.

"Maksud dokter, saya tidak bekerja di rumah sakit ini melainkan di rumah pasien itu?"

"Tepat, sekali. Kamu mau kan?"

Amara mengernyitkan dahi. Ia diam sejenak untuk berpikir, sebelum kemudian membuka mulut untuk bertanya. "Kalau boleh tau, ia sakit apa, Dokter?"

"Dia ada gangguan kejiwaan karena pengaruh kecelakaan yang baru saja menimpanya. Ini termasuk tantangan untuk kamu sebagai perawat junior dalam loyalitas kamu dalam berdedikasi."

Dokter Khanza diam sejenak sembari memperhatikan Amara yang masih tampak berpikir.

"Saya tau kamu sedang mengalami kesulitan uang, kan? Bayarannya lumayan besar, lho."

Deg.

Kenapa Dokter Khanza bisa tahu si? Kenapa kabar seperti ini cepat sekali berkembang di lingkungan rumah sakit sebesar ini! Kenapa juga harus uang yang jadi kelemahanku! Benar-benar memalukan. Gumam Amara dalam hati.

"Maksud Dokter, saya harus merawat orang gila, begitu? Kalau memang mengalami gangguan kejiwaan, kenapa tidak dirawat di rumah sakit jiwa saja? Kenapa harus saya yang merawatnya?"

"Bukan gila dalam artian yang sebenarnya, Amara. Sebetulnya dia dalam kondusi baik, tapi dalam kondisi tertentu, dia bisa mengalami guncangan dan mengamuk tak karuan. Tugasmu hanya memantau dan memberinya obat penenang di saat dia mulai tak terkendali. Kau juga harus memberinya dukungan dan motivasi agar ia kembali memiliki gairah untuk tetap hidup kembali." Dokter Khanza kembali mengawasi ekspresi wajah Amara yang masih tampak bimbang.

"Amara," panggil Dokter Khanza halus saat akan membujuk. "Kamu tahu, hanya orang terbaik lah yang saya rekomendasikan. Dan kamu orang terbaik itu. Kamu bisa memberikan keputusannya besok kok, tidak harus menjawabnya sekarang."

Amara membalas tatapan Dokter Khanza yang tersenyum padanya dengan senyuman pula. Gadis itu sedikit merasa lega, setidaknya dia memiliki waktu satu hari untuk memikirkan tawaran itu.

"Baik Dokter, akan saya pergunakan waktu satu hari ini untuk memikirkannya dengan sebaik-baiknya."

"Semoga keputusan yang kau ambil nanti tepat, ya." Ucap Dokter Khanza dengan penuh pengharapan.

"Semoga ya, Dok. Saya juga berharap demikian."

Dokter Khanza tersenyum. "Kamu bisa kembali melanjutkan pekerjaan, Amara. Terima kasih telah meluangkan waktu untuk datang," ucap Khanza mengakhiri pembicaraan.

"Sama-sama, Dokter. Kalau begitu saya permisi. Ada beberapa pekerjaan yang memang belum saya selesaikan," ucap Amara mohon diri. Ia mengangguk sopan, lalu bangkit dan melangkah menuju pintu.

Sementara Dokter Khanza mengekori langkah Amara dengan pandangannya hingga gadis itu menghilang di balik pintu.

***

Amara melangkahkan kaki keluar dari rumah dinas nya dengan penuh semangat. Setelah semalam berfikir, dibantu pula dengan doa dan tahajjud, dan fix! Amara memilih tetap bertahan disini.

Ia yakin bisa membayar hutang kepada Diana secepatnya. Dia hanya perlu menghemat pengeluarannya yang tidak penting untuk menabung.

Amara benar-benar sudah mantap dengan keputusannya kali ini. Membayangkan saja sudah ngeri, apalagi kalau dia benar-benar mengurus orang gila itu. Biar digaji berapapun ia tak akan mau.

"Kok senyum-senyum sendiri si, Mar?" Diana yang berjalan beriringan dengan Amara pun bertanya. Ia merasa heran dengan sikap Amara yang hanya senyum-senyum sendiri sejak mereka keluar rumah tadi.

"Aku cuma lagi bersyukur saja mbak, urusan motor sudah kelar. Sekarang lagi mikirin gimana caranya supaya aku cepet lunasi hutang aku sama mbak Diana," jawab Amara sambil tersenyum masam.

"Sudah, lah, jangan terlalu dipikirkan. Itu uang tabungan aku, aku juga nggak buru-buru mau memakainya kok." Diana menjawab dengan santai.

"Bener mbak? Kalau gitu aku nabung dulu ya. Tapi sebelum cukup jangan ditagih dulu ...," tutur gadis bermata bening itu dengan nada merengek.

"Nggak ditagih! Cuma mau sita barang-barang kamu yang ada di mes kalau kelamaan nggak bayar," goda Diana menakuti Amara dengan memasang wajah sok judes.

"Ya sama ngerinya tahu mbak ...!"

"Lagian kamu si! Mbak sudah bilang untuk nggak terlalu mikirin ini, kan ,,,."

Amara mencebik, lalu tersenyum. "Iya mbak, terimakasih banyak ya," ucap Amara dengan suara lemah, sementara matanya menatap Diana dengan penuh haru.

"Udah, nggak usah ngakak gitu, ah! Biasa aja kali."

"Huhu ,,, ngakak gimana sih, Mbak. Ini mau nangis ...!" balas Amara geregetan sambil masang wajah geram. Dan itu memancing rasa geli Diana hingga wanita itu tergelak seketika.

"Mar," panggil Diana setelah beberapa saat keduanya terdiam. Amara langsung mengarahkan pandangannya menanggapi panggilan wanita itu. "Boleh nggak aku minta sesuatu sama kamu?"

"Jangan minta uang! Aku lagi missquiin," sahut Amara cepat dengan bibir menyebik.

"Ihh, paan sih! Siapa juga yang mau minta uang! Ini aku mau ngomong serius, tau!" tegasnya kemudian dengan memasang mimik serius. Diana pun menatap Amara lekat-lekat. Ia bahkan menghentikan langkahnya sehingga Amara pun ikut berhenti.

"Ngomong ya ngomong aja, Mbak. Jangan nakut-nakutin gitu deh. Mbak mau ngomong apa?" tanya Amara dengan memasang wajah polos.

"Nakutin apaan, aku cuma pengen bilang kamu jangan lagi mau ditindas, ya."

"Ya enggak lah mbak, siapa juga yang mau menindasku," balas Amara sembari tersenyum untuk meyakinkan. "Kemarin aku cuma malas ribut aja, makanya aku ngalah. Udah, ah. Jalan yuk," ajaknya sembari menggandeng tangan Diana dan menariknya pelan. Ia malas membicarakan masalah itu lagi dan lebih memilih mengalihkannya.

Keduanya sudah sampai di rumah sakit, dan lantas melakukan pekerjaan seperti biasanya.

***

Winda sudah sampai di area parkir sebuah rumah sakit, tapi ia masih enggan untuk turun dari mobil yang membawanya sampai kesana. Sang sopir juga masih belum mematikan mesin mobil itu.

Kedua tangan pria mendekati paruh baya itu masih memegangi stir mobil sambil sesekali menatap sang nyonya dari pantulan kaca spion. Setelah lama terdiam dengan tanda tanya besar di kepala, pada akhirnya ia memberanikan diri untuk bertanya. "Bagaimana Nyonya?"

Winda yang masih mengamati pintu masuk rumah sakit itu terkejut mendengar suara sang sopir hingga tubuhnya sedikit berjingkat. Ia gelagapan dan langsung menoleh menatapnya. "Iya, bagaimana?" tanyanya kemudian dengan wajah kebingungan.

"Apa Nyonya jadi masuk ke dalam?" sopir itu bertanya sopan untuk memastikan.

"Ya, tentu. Aku akan turun. Kau tunggu disini sampai aku memanggilmu, ya."

"Baik Nyonya."

Winda lantas memakai kain kerudung yang semula melingkar di leher, lalu menggunakan itu untuk menutup wajah. Sudah akan memegang tuas pintu, iapun mengurungkan dan bertanya pada sang sopir untuk meminta pendapat.

"Bagaimana? Apa aku masih terlihat?" tanyanya sambil menunjukkan wajah yang tertutup setengahnya.

Sang sopir mengernyit bingung. "Tentu saja masih terlihat, Nyonya. Anda kan hanya mengenakan kerudung, bukan memakai jubah penghilang diri," ceplosnya jujur.

Perkataan sang sopir sontak membuat Winda kesal. "Ihhh, bukan begitu!" geramnya sambil memberengut dan mengepalkan tangan geregetan. "Maksudku, apa kau masih mengenaliku?"

"Tentu saja, Nyonya. Saya sudah lama menjadi sopir anda, jadi mana mungkin saya tidak mengenal anda," jawab sang sopir sopan sambil menatap sang majikan. Namun sedetik kemudian sopir itu buru-buru menundukkan kepala dengan wajah kebingungan.

Entah apa yang salah dari perkataannya, sampai-sampai sang nyonya menatapnya dengan mata melotot dan tangan terkepal. Bahkan giginya yang putih menggigit ujung kerudung dengan geram, seolah tengah menahan diri untuk tidak memakannya.

Meski ragu, akhirnya Winda memantapkan diri untuk turun dari mobil. Masa depan sang puteralah yang mendorongnya hingga sampai kesini.

Dipakainya juga kerudung panjang yang sempat membuatnya naik darah untuk menutupi kepalanya. Dan diapun menarik ujung kerudung itu untuk menutupi wajah dengan tangannya.

Bersambung

1
Sumarni Tina
akhirnya Dimas ketahuan
Sumarni Tina
Luar biasa
Enjelika h
Lumayan
Sulistiawati Kimnyo
semangat lg kakak....
Via
kebanyakan dram jd bosen bacanya
Via
huhhh TOLOL si Amara goblok anjing gitu aj mau ngalah setan😤😤😤😏😏😏
Firda Fami
dah tinggalin aja tuh si Dimas biar mati sekalian 👿
beybi T.Halim
gak asek .., karakter wanitanya seharusnya keren.,barbar dan gak gampang ditindas.,biasanya anak yatim-piatu itu punya sifat yg keren😊
Fa Rel
amara bodoh mending minta cerai biarin dimas nyesel seumur idup
Fa Rel
rasain lu dimas emang enak di.bhongin biar amara ma juan aja lah dripada.ma.dimas g tau trima kasih
Zahra Cantik
masa udah tamat thor 😔😔
kasih bonus dong 😘😘😘
Nina Latief
Lanjut thooorrr...nanggung nih
Bagus X
tamat ?
😨😨
Bagus X
wah wah wah,,tanda tanda wereng coklat ini😌
Bagus X
💖💞👄
Bagus X
eeelahdalah,,,
Bagus X
wadaw,,dalem bngeeeet
Bagus X
😁😁😁😁😁😁😁😁 sa ae mu Thor idenyaaa
Bagus X
ooohhhh,,,so swiiiitttt 😜
Bagus X
ya'ampun othooor,,,benar benar tega dehhh🤦
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!