Penasaran dengan cerita nya lansung aja yuk kita baca
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mbak Ainun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 14: Simpul Mati di Pelabuhan
Gudang tua di pelabuhan itu berbau oli dan besi berkarat. Suara ombak yang menghantam dermaga menciptakan irama yang suram, seolah mengiringi akhir dari sebuah sandiwara panjang. Arini melangkah masuk melalui celah pintu yang terbuka, bayangannya memanjang di bawah lampu neon yang berkedip-kedip. Di sudut ruangan, Maya berdiri memunggungi pintu, sedang menyerahkan sebuah flashdisk kepada seorang pria asing berjas abu-abu.
"Desain ini akan membuat perusahaan Anda menguasai pasar Asia musim depan," suara Maya terdengar serak namun penuh ambisi. "Arini tidak akan punya waktu untuk menuntut. Dia terlalu sibuk mengurus suaminya yang mendekam di sel."
"Dan kau yakin ini adalah pola aslinya?" tanya pria itu dengan aksen asing yang kental.
"Aku yang mengatur arsipnya. Tidak ada yang lebih asli dari ini," jawab Maya bangga.
"Asli? Sama aslinya dengan kesetiaan yang kau janjikan padaku dulu, Maya?" suara Arini memecah kegelapan, dingin dan menggelegar di ruang luas itu.
Maya tersentak hebat hingga flashdisk di tangannya terjatuh ke lantai semen. Ia berbalik dan menemukan Arini berdiri dengan tangan bersedekap, didampingi oleh Rendra dan dua petugas keamanan yang tampak mengintimidasi. Wajah Maya mendadak pucat pasi, seperti kain yang kehilangan warnanya setelah direndam pemutih.
"Mbak... Mbak Arini? Bagaimana bisa..." suara Maya bergetar hebat.
"Kau terlalu meremehkan orang yang sudah mengajarimu segalanya, Maya," Arini berjalan mendekat, setiap langkah sepatunya bergema seperti hukuman. "Kau pikir aku tidak tahu kau memiliki kunci cadangan digital? Desain yang kau pegang itu—yang baru saja kau jual—adalah desain jebakan. Pola-pola di dalamnya sudah aku modifikasi sedemikian rupa sehingga jika dijahit, pakaian itu tidak akan pernah bisa dipakai manusia normal. Kau baru saja menjual sampah kepada klien internasional."
Pria asing itu segera memungut flashdisk tersebut dan menatap Maya dengan amarah. "Kau mencoba menipuku?"
"Tidak! Mbak Arini bohong!" teriak Maya frustrasi.
"Aku punya bukti rekaman akses ilegalmu ke server perusahaan, Maya," potong Rendra sembari menunjukkan tabletnya. "Dan di luar sana, polisi sudah menunggu. Kau tidak hanya melakukan pencurian aset intelektual, tapi juga upaya penipuan perdagangan internasional."
Maya jatuh berlutut, air matanya mulai mengalir, namun Arini hanya menatapnya dengan rasa jijik yang mendalam. Tidak ada lagi rasa kasihan bagi wanita yang telah mencoba menghancurkan hidupnya berkali-kali.
"Kenapa, Mbak? Kenapa kau punya segalanya sementara aku selalu di bawah bayang-bayangmu?" ratap Maya di antara isaknya.
Arini membungkuk, menyejajarkan wajahnya dengan Maya. "Karena aku membangun segalanya dengan kerja keras dan kejujuran, sementara kau mencoba mengambil jalan pintas dengan mencuri. Kau bukan di bawah bayang-bayangku karena aku jahat, Maya. Kau di sana karena kau memilih untuk menjadi gelap."
Arini mengambil flashdisk itu dari tangan si pria asing, lalu meremukkannya di bawah tumit sepatunya. "Permainanmu selesai. Benangmu sudah benar-benar habis."
Polisi masuk dan memborgol Maya. Saat asistennya itu diseret keluar, Arini membuang muka. Ia merasa lelah, namun ada kepuasan yang murni di dadanya. Satu lagi pengkhianat telah ia singkirkan.
Saat Arini berjalan keluar menuju mobilnya, ia melihat sosok Damar berdiri bersandar di mobil lain di kejauhan. Damar hanya mengangguk kecil, memberikan penghormatan tanpa kata, lalu masuk ke mobilnya dan pergi.
Arini terdiam sejenak di bawah sinar bulan Desember 2025 yang dingin. Ia menyadari bahwa menjahit luka bukan hanya soal membuang pengkhianat, tapi juga soal menyadari siapa saja yang sebenarnya masih berdiri di sampingnya saat badai menerjang. Ia menatap telapak tangannya yang sedikit bergetar.
"Satu per satu," gumam Arini. "Hidupku akan kembali utuh, meski jahitannya tidak akan pernah sama lagi."