Valeria Sinclair, seorang pengacara berbakat dari London, terjebak dalam pernikahan kontrak dengan Alexander Remington—CEO tampan dan dingin yang hanya melihat pernikahan sebagai transaksi bisnis. Tanpa cinta, tanpa kasih sayang.
Namun, saat ambisi dan permainan kekuasaan mulai memanas, Valeria menyadari bahwa batas antara kepura-puraan dan kenyataan semakin kabur. Alexander yang dingin perlahan menunjukkan celah dalam sikapnya, tetapi bisakah Valeria bertahan saat pria itu terus menekan, mengendalikan, dan menyakiti perasaannya?
Ketika rahasia masa lalu dan intrik keluarga Alexander mulai terkuak, Valeria harus memilih—bertahan dalam permainan atau pergi sebelum hatinya hancur lebih dalam.
🔥 Sebuah kisah penuh ketegangan, gairah, dan perang hati di dunia penuh intrik kekuasaan. 🔥
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Leona Night, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Maafkan Aku
Valeria’s POV
Aku duduk di Sofa kamar pribadiku. Di depanku sebuah cermin besar berdiri memantulkan gambaran diriku yang tampak mengenaskan. Leherku yang seperti kehilangan tenaganya dan masih begitu nyeri jika digerakkan, disana terdapat gambar tangan Alex yang tampak jelas memerah. Bahuku juga terdapat gambar tangan Alex akibat cengkeraman dan benturan di dinding. Hidung ku terasa nyeri dan ada aliran darah yang sudah kering di lubang hidung kanan. Aku seperti orang yang bangkit dari kematian.
Malam Kemarin adalah pertama kalinya Alexander benar-benar kehilangan kendali dan menyakitiku secara fisik. Masih bisa kurasakan tekanan jari-jarinya di kulit, cengkeraman yang lebih dari sekadar marah—tetapi cemburu yang buta.
Namun, lebih dari luka di tubuh ini, aku merasa hancur secara emosional. Aku tahu pernikahan ini hanyalah kontrak, tetapi kenapa sakitnya terasa begitu nyata? Mengapa Alexander bereaksi seolah dia benar-benar takut kehilangan sesuatu yang tak pernah diakui? JIka dia tidak pernah menganggap aku sebagai istrinya, terlebih dia bilang tidak pernah ada cinta, lalu buat apa kecemburuan ini? Buat apa dia marah begitu hebat hanya karena aku menerima pesan singkat dan panggilan ponsel dari teman ku?
Mengingat ponselku yang hancur berantakan, entah mengapa aku menangis. Menangis sejadi jadinya. Bisa dikatakan aku meraung raung menangisi kekerasan yang aku alami, dan aku tidak berdaya mencegahnya.
Teringat kembali dalam ingatanku bagaimana aku mengurus perkara KDRT yang dialami oleh klien klienku yang rata rata perempuan lemah tanpa pekerjaan, tanpa penghasilan dan tidak berdaya. Kenyataan bahwa aku, sang malaikat tanpa sayap, demikian julukan ku di london, pelindung para wanita lemah, sekarang justru terkapar lemah dan tidak berdaya karena mendapat kekerasan dari suaminya sendiri. Setidaknya secara hukum Alex adalah suamiku.
Aku seperti terjebak dalam pusaran yang membingungkan. Pusaran yang mungkin kubuat sendiri. Jika aku tahu bahwa aku akan sampai di titik ini, maka aku tidak akan pernah mau menandatangani perjanjian pernikahan apapun dengan siapapun. Biarlah aku membusuk di Firma Hukum Lancaster dan menjadi perawan tua dari pada menikah tapi dengan status yang tidak jelas.
Saat aku berusaha pelan pelan berdiri, Elizabeth masuk dan bergegas menolongku berdiri. Kepalaku seperti ber putar putar, aku mengalami Vertigo. Dia membantuku berdiri sementara aku memejamkan mataku dan pelan pelan berjalan ke arah tempat tidur.
“Kau ingin tiduran Valeria?” tanya Elizabeth
“Ya,” jawabku singkat.
Tak terasa air mataku kembali meleleh saat aku sampai di tepi tempat tidur dan menyandarkan badanku pada sandaran kayu tempat tidur mewah itu.
“Apa yang kau rasakan sayang?” tanya Elizabeth lagi
“Hancur, aku merasa tubuh dan jiwaku hancur. Kepalaku berdenyut, leherku tidak bertenaga dan tenggorokanku nyeri luar biasa,” jawabku sembari tetap memejamkan mata.
“Dokter mengatakan, untuk mengamankan dirimu dari cedera leher, kamu harus menggunakan bantalan leher. Sehingga lehermu yang sedang luka tidak terlalu berat menyangga kepalamu,” ujar Elizabeth
Tak lama kemudian dia memasangkan bantalan leher dan menatanya hingga aku merasa sedikit lebih nyaman.
“Aku seperti mengalami vertigo,” ujarku dengan suara berbisik, akibat tangisan dan sakit yang timbul karena tekanan saat aku berbicara.
“Sebentar sayang, aku akan meminta obat untuk pusing pada dokter keluarga,” jawab Elizabeth
Tak lama kemudian sambil menyandarkan kepalaku di sandaran kayu tempat tidur, aku mulai merasa lega. Keringat dingin yang keluar akibat pusing hebat, perlahan berhenti. Itu berarti aku sudah lebih baik.
“Ini, minumlah obat vertigo mu sayang, dokter keluarga sudah meresepkan dan bagian rumah tangga membelinya untukmu. Minumlah.”
Perlahan kubuka mataku, dan kuterima tablet untuk vertigo lalu kuminum dengan air putih yang sudah disiapkan oleh Elizabeth. Air mataku masih mengalir, meskipun aku sudah tidak lagi menangis. Entahlah air mata itu seperti spontan meleleh walau aku tidak merasa sedang menangis.
Elizabeth masih saja memandangku, aku melihat ke dalam matanya. Mata seorang ibu yang memandang iba padaku.
“Hal inilah yang paling kutakutkan terjadi padamu. Alexander sangat tidak stabil emosinya bila dia merasa terpojok atau terluka,” kata Elizabeth
“Terluka karena apa? Aku tidak menyakiti dia,” ujarku sambil terisak
“Kau menerima panggilan dari seorang laki laki bukan?” kata Elizabeth dengan hati hati.
“Dia temanku dari panti asuhan. Dan lagi Alexander, dia berkata tidak mencintaiku apa lagi menganggapku istrinya yang sesungguhnya. Ini semua hanya sandiwara bukan?” ujarku sambil terus menangis tak terkendali.
“Aku tidak tahu seperti apa perjanjian kalian, tetapi aku sangat prihatin dengan apa yang kau alami. Alex juga tampak sedih dan merasa bersalah. Dia menangis dengan tangan bergetar kuat dan meninju tinju dinding kamarnya hingga tangannya berdarah,” jelas Elizabeth
Aku memejamkan mata enggan mendengar penjelasan apapun tentang Alexander.
“Aku tahu kau layak marah dan membencinya. Justru itu aku mohon maaf padamu atas sikap Alex. Dia seperti anakku, dia juga sangat tertekan dan stress berat,” kata Elizabeth seraya meneteskan air mata.
“Anda tidak layak minta maaf dan bersedih untuknya nyonya. Aku …tidak mengijinkan itu. Maaf aku ingin istirahat, tinggalkan kau sendiri,” jawabku singkat.
Elizabeth mengangguk, sambil menghapus air matanya. Dia perlahan berdiri dan beranjak pergi meninggalkanku. Aku sangat iba melihatnya, dia seperti seorang ibu yang terluka. Tapi sungguh saat ini aku tidak siap menerima permohonan maaf apa lagi untuk laki laki bengis macam Alex.
*****
Karena pengaruh obat anti nyeri, aku tertidur entah berapa lama. Dalam tidurku aku bermimpi Alex datang beberapa kali, sambil menangis dan mencium tanganku. Entahlah apakah itu nyata atau hanya impian semata. Kamarku begitu tenang, aku mencoba duduk dan membiasakan diri.
Tiba tiba aku mendengar ketukan halus di pintu. Aku berpikir itu pasti pelayan atau Elizabeth. Aku pun berteriak mengizinkan mereka masuk,” Masuk.”
Betapa terkejutnya aku ketika ku tahu yang melangkah masuk adalah Alexander. Tubuhnya yang tinggi dua meter dengan badan gempal seperti olahragawan tampak menakutkan bagiku sehingga aku sempat menggeser dudukku tanpa sadar.
Alexander berjalan mendekat, lalu berhenti beberapa langkah di depanku.
"Aku sudah keterlaluan, Aku kehilangan kendali,” ujarnya sambil menundukkan kepala.
Aku mendongak perlahan, menatapnya dengan mata dingin dan bibir gemetar.
"Kau baru menyadarinya?" ujarku singkat.
Alexander mengeraskan rahangnya, lalu kembali menundukkan kepala.
"Aku... aku tak bisa menjelaskan apa yang terjadi semalam."
Aku tertawa kecil, lalu memandangnya sinis.
"Tentu saja kau bisa. Kau marah, kau cemburu, dan kau memutuskan untuk menghukumku dengan tanganmu."
Alexander tampak menutup matanya, lalu menghembuskan napas berat.
"Aku tidak akan mencari alasan, Valeria. Aku tidak akan meminta maaf dengan kata-kata kosong. Tapi aku ingin kau tahu bahwa aku..."
Dia berhenti, seolah tak sanggup mengucapkannya. Aku memandangnya tajam dengan tatapan menantang.
"Kau apa, Alexander? Menyesal? Atau marah karena kau menunjukkan sisi lemaha dirimu padaku?"
Alexander berlutut di depanku, dia menyentuh kaki ku sambil menunduk sesuatu yang tidak pernah dilakukannya sebelum ini. Setidaknya tidak padaku.
Mata abu-abunya yang biasanya dingin kini dipenuhi ketulusan yang menyakitkan.Dia memandangku dengan tatapan memohon dan suara bergetar.
"Aku tidak pernah menyesali sesuatu seperti aku menyesali apa yang terjadi semalam."
Kutatap matanya dengan tajam, aku mencari kebohongan di sana, tetapi tidak ada. Dia nampak terluka dan meneteskan air mata.
Dadaku terasa sesak, aku mencoba berdiri dan menjauh darinya, tetapi dia meraih tanganku dan mencegahku untuk menjauhinya.
Berbeda dari semalam, kali ini sentuhannya penuh kehati-hatian. Dia menatap luka di leherku dengan ekspresi penuh penyesalan. Lalu Alexander bergumam pelan, suaranya serak.
"Aku tidak pernah ingin menyakitimu."
Aku menatapnya tajam dan dengan dingin kukatakan, "Tapi kau tetap melakukannya."
Alexander menelan ludah, matanya penuh badai yang tak bisa dikendalikan.
"Aku... aku tidak bisa melihatmu dengan pria lain. Aku tidak bisa membiarkan siapapun mengambil mu."
Aku mencengkeram jemarinya erat dan berkata, "Aku bukan milikmu, Alexander."
Alexander tersenyum pahit, matanya menatapku dalam dalam.
"Aku tahu... tapi aku ingin kau jadi milikku."
Aku terkesiap, jantungku berdegup kencang.Apa yang baru saja dikatakannya merubah keadaan diantara kami. Jika begitu kenyataannya, maka perkawinan Ini bukan tentang kontrak lagi. Ini bukan tentang sandiwara bisnis. Alexander baru saja menunjukkan sesuatu yang bahkan dirinya sendiri tak bisa akui—dia takut kehilangan aku.
Namun tetap saja, sudah bagiku menerima sikapnya dan perkataannya yang sering berubah ubah dan membingungkan. Aku menarik tanganku dari genggamannya.
“Berdirilah kau Alex. Tidak layak seorang CEO perusahaan ternama bersujud di depan gadis murahan macam aku,” kataku dengan suara bergetar menahan tangis.
“Aku tidak pernah menganggapmu seperti itu. Aku …Justru merasa kau sangat berharga bagiku,” jawabnya sambil menghapus air mata di pipiku dengan punggung tangannya
“Stop Alex, Stop, jangan siksa batinku dengan sikapmu yang berubah ubah. Jangan permainkan perasaanku. Aku lelah Alex,” ujarku masih menangis.
“Aku ..tidak berbohong, dengan tulus aku memohon maaf. Ampuni aku Valeria, jangan menolakku terus seperti ini. Aku sungguh menyesalinya,” ujarnya dengan suara bergetar.
Dia mencoba mencium pipiku, tapi ku palingkan wajahku darinya.
“Keluar,...keluar kau Alex. Pergi dari sini. Pergi!” ujarku setengah berteriak sambil menangis kencang.
Seperti tidak memperdulikan kata kataku, dia tetap mencium pipiku dan meletakkan tanganku di pipinya. Kurasakan air mata membasahi pipinya yang berjambang lebat. Lalu setelah itu dia pergi meninggalkanku seorang diri.
*****