Valerie memutuskan pulang ke Indonesia setelah dikhianati sang kekasih—Kelvin Harrison. Demi melampiaskan luka hatinya, Vale menikah dengan tuan muda lumpuh yang kaya raya—Sirius Brox.
Namun, siapa sangka, ternyata Riu adalah paman terkecilnya Kelvin. Vale pun kembali dihadapkan dengan sosok mantan, juga dihadapkan dengan rumitnya rahasia keluarga Brox.
Perlahan, Vale tahu siapa sebenarnya Riu. Namun, tak lantas membuat dia menyesal menikah dengan lelaki itu, malah dengan sepenuh hati memasrahkan cinta yang menggebu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gresya Salsabila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kabar Sudah Tersiar
Usai meluapkan emosinya, Theo meninggalkan sang istri seorang diri. Tanpa makan dan bicara apa pun lagi, dia bergegas membersihkan diri dan berangkat ke kantor. Padahal, belum masuk jam kerja.
Annisa tahu sikap suaminya itu karena marah mendengar kabar pernikahan Riu. Namun, siapa yang tidak marah. Dirinya pun merasa muak. Camelia pula pasti juga merasakan hal yang sama.
"Kelvin! Kelvin!" teriak Annisa sambil menuju meja makan. Sebelum menelepon adiknya, Annisa akan lebih dulu bicara dengan putra tunggalnya.
"Ada apa, Ma?" Kelvin menghampiri ibunya. "Papa mana?" sambungnya.
Annisa mende-sah kasar, lalu menghempaskan tubuhnya dengan malas di atas kursi. Kelvin menatap heran, sembari mengambil tempat di depan ibunya.
"Ada kabar buruk dari Indonesia. Pamanmu ... sudah menikah, dan aset di sana akan dialihkan ke dia." Annisa bicara dengan mata yang memicing, menunjukkan betapa bencinya dia dengan kabar tersebut.
"Paman Riu, menikah? Hah, tidak mungkin itu, Ma. Dia lumpuh permanen, mana ada wanita yang mau sama dia."
"Mama juga tidak percaya. Tapi, ini sumbernya dari Pak Suryo. Dan selama ini, kabar yang dia bawa selalu akurat."
Mendengar jawaban ibunya, Kelvin hanya bisa geleng-geleng sambil mengacak rambutnya dengan kesal. Belum kelar rasa penasaran dia terhadap pernikahan Vale, kini malah dihadapkan dengan pernikahan pamannya. Menyebalkan. Seakan keadaan begitu kompak membuatnya kacau tak karuan.
"Makanya, kamu itu cepat menikah dengan Angela, agar posisi keluarga kita makin kuat. Tidak usah mengingat-ingat Vale lagi. Status sosial dia berada jauh di bawah kita. Dia tidak pantas untuk kamu," omel Annisa. Untuk kesekian kalinya dia mendesak Kelvin agar secepatnya menikahi Angela.
"Pernikahan Paman ini tidak ada hubungannya dengan aku atau Vale, Ma. Jangan digabung-gabungkan lah. Aku belum siap menikah, apalagi dengan Angela."
"Apa maksudmu bicara seperti itu? Kamu berencana kembali dengan Vale?"
"Ma___"
"Sampai kapanpun Mama tidak akan setuju kamu menikah sama dia. Camkan itu, Kelvin!" pungkas Annisa. Begitu gencar memarahi Kelvin, seakan mendapat tempat untuk melampiaskan emosinya pagi itu.
Kelvin menarik napas berat, "Ma, aku sudah pisah dengan Vale, sesuai keinginan Mama. Aku tidak akan kembali dengan dia, apalagi sampai menikah. Tapi, tolong ya, Ma, jangan suruh aku untuk cepat-cepat menikahi Angela. Aku belum siap membawa hubungan kami sejauh itu. Walaupun menguntungkan secara finansial, tapi aku juga tidak mau mengabaikan perasaan."
Annisa tersenyum miring, meremehkan jawaban Kelvin yang menurutnya sangat tidak masuk akal.
"Kamu masih bicara perasaan, padahal sudah berulang kali menidurinya. Apa yang ada di pikiranmu, Vin?"
"Cinta dan naf-su sangat jauh berbeda." Sebuah jawaban yang hanya tertahan dalam batin Kelvin.
Entah nyalinya yang terlalu ciut atau memang dirinya yang pengecut, sama sekali tak berani melontarkan jawaban itu dengan lantang.
"Mama sudah melakukan banyak hal untuk masa depanmu. Jangan sampai kamu mengacaukan semuanya demi menuruti perasaanmu yang tak masuk akal. Ingat itu!" ujar Annisa masih dengan nada tinggi. Lantas, ia bangkit dan pergi meninggalkan Kelvin seorang diri, yang kala itu masih termangu dengan perasaannya.
______
"Coba kutanyakan sama Papa. Aku tidak percaya jika si lumpuh itu bisa menikah secepat ini," ucap Camelia ketika Annisa menelepon dan menjelaskan semuanya.
Camelia juga marah. Meski dia sudah mendapat aset yang ada di Perancis, tapi masih tak rela jika Riu juga mendapatkan jatah. Menurutnya, semua warisan cukup dibagi berdua dengan Annisa. Riu tidak perlu karena dia bukanlah anak dari ibu mereka.
Dengan hati yang belum sepenuhnya tenang, Camelia menelepon Jason. Tanpa basa-basi, dia menanyakan perihal pernikahan Riu. Benar atau tidak.
"Iya, adikmu memang sudah menikah, sah secara agama dan pemerintah. Itu sebabnya, aset di sini akan Papa alihkan atas nama dia."
Camelia menganga seketika. Tak percaya jika kabar barusan memang benar adanya.
"Siapa wanita yang menikah dengan Riu, Pa?" tanya Camelia, pura-pura tenang.
"Soal itu, kamu tanyakan saja padanya."
"Kenapa begitu, Pa? Kata Papa mereka sudah menikah sah, jadi apa salahnya aku tahu namanya?"
"Itu menyangkut privasi dia, jadi alangkah lebih baik kamu tanyakan sendiri padanya," sahut Jason, masih saja menyembunyikan identitas Vale.
Akhirnya, Camelia menyudahi panggilan tersebut. Dengan hati yang dongkol, dia beralih menelepon Riu. Pertanyaan yang sama ia layangkan, yakni seputar pernikahan yang dadakan itu.
"Iya aku sudah menikah, Kak. Tapi, maaf, aku tidak bisa memberitahu Kakak siapa nama istriku. Kalau kamu ingin tahu, pulanglah! Sekalian kenalan dengannya. Dia pasti senang bertemu kakak ipar sebaik kamu," jawab Riu dari seberang sana. Nadanya begitu tenang, seakan sengaja menantang.
"Riu, aku ini kakakmu. Apa menurutmu sopan bersikap seperti itu? Aku hanya ingin tahu siapa nama istrimu, apa sulitnya? Oh, atau jangan-jangan ... kamu hanya menikah kontrak dengannya? Agar bisa mendapatkan aset dari Papa?" tuding Camelia.
"Kak, aku bukan pengecut, yang rela menghalalkan segala cara demi warisan. Aku begini hanya karena merindukanmu. Sudah cukup lama, kan, kamu dan Kak Annisa tidak pulang? Apa tidak ingin menjenguk adikmu yang lumpuh ini?"
Jawaban Riu yang makin tenang membuat Camelia waswas. Di satu sisi menganggap Riu terlalu bodoh lugu. Namun, di sisi lain ia malah merasa bahwa Riu tah segalanya.
"Kukabari lagi nanti." Tanpa menunggu respon dari Riu, Camelia langsung menutup sambungan secara sepihak.
Lantas, ia langsung mendiskusikan hal tersebut dengan suaminya—Vir Hanz. Tak jauh beda dengan Theo, Vir juga pria serakah yang ingin menguasai warisan dari mertuanya. Beribu cara ia mau melakukan, asal nama Riu dihapus dari jatah tersebut.
"Kita datang saja ke sana, lihat seperti apa wanita yang dia nikahi. Kita pasti punya celah untuk memperdaya wanita itu gar mau berpihak pada kita."
Denting sendok terdengar nyaring, tepat setelah Vir selesai bicara. Suara itu berasal dari putranya—Sander Hanz. Lelaki seumuran Kelvin itu bangkit dari duduknya, meninggalkan potongan croissant yang baru ia gigit sedikit.
"Paman Riu itu juga anak Kakek. Dia berhak mendapatkan warisan yang sama. Kenapa kalian sangat serakah?"
"Tutup mulutmu, Sander! Mama dan Papa melakukan ini untuk kamu!" sahut Camelia dengan mata yang melotot tajam.
Sander tertawa sumbang, "Untuk aku atau untuk kepuasan kalian sendiri? Dari aku kecil, sampai besar dan kalian ajak pindah ke sini, aku tidak pernah menuntut yang macam-macam. Asal Mama tahu ya, aku lebih suka hidup miskin, dari pada hidup mewah tapi asal usulnya salah. Aku___"
"Lancang kamu!" potong Vir sambil melayangkan tamparan keras.
Sander tidak menjawab lagi, sekadar napasnya yang tampak naik turun menahan sakit di pipi dan juga hati. Kemudian, tanpa basa-basi dia langsung pergi meninggalkan orang tuanya.
Entah ke mana. Camelia dan Vir mengabaikannya sejenak. Mereka lebih dulu menyusun rencana untuk menghalangi Riu mendapatkan aset tersebut.
"Kita pulang secepatnya, dan buat wanita itu berpihak pada kita, dengan cara halus ataupun kasar," ujar Vir, yang kemudian disetujui oleh Camelia.
Setelah mencapai kesepakatan itu, Camelia memberitahukannya pada Annisa. Wanita tersebut langsung setuju. Menurutnya, rencana itu cukup brilliant.
"Kita hanya perlu mengorbankan sedikit uang. Dengan begitu istrinya Riu akan berpihak pada kita. Zaman sekarang, wanita mana yang bisa menolak uang. Apalagi ... bandingannya hanya lelaki cacat seperti Riu, tidak akan menang," ucap Annisa penuh percaya diri.
Dia tidak tahu jika di negara yang jauh sana, Riu memang mengharapkan kehadirannya. Riu sudah menyiapkan kejutan besar untuk menyambut kepulangan sang kakak.
Bersambung...