Jadi dayang? Ya.
Mencari cinta? Tidak.
Masuk istana hanyalah cara Yu Zhen menyelamatkan harga diri keluarga—yang terlalu miskin untuk dihormati, dan terlalu jujur untuk didengar.
Tapi istana tidak memberi ruang bagi ketulusan.
Hingga ia bertemu Pangeran Keempat—sosok yang tenang, adil, dan berdiri di sisi yang jarang dibela.
Rasa itu tumbuh samar seperti kabut, mengaburkan tekad yang semula teguh.
Dan ketika Yu Zhen bicara lebih dulu soal hatinya…
Gerbang istana tak lagi sunyi.
Sang pangeran tidak pernah membiarkannya pergi sejak saat itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon souzouzuki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Asap Sup Mengepuli Rasa Cemburu
Matahari siang perlahan bergeser ke barat ketika napas Yu Zhen mulai teratur. Tanpa sadar, ia tertidur di samping Qin’er—kepalanya bersandar di sisi bantal kecil yang tadi ditolaknya untuk menangis.
Qin’er baru saja menyelesaikan lipatan kain kecil saat menyadari gadis di sebelahnya sudah benar-benar lelap. Napasnya tenang, tapi wajahnya tetap pucat. Luka di lengannya mulai mengering, tapi bekas ketegangan dari pagi masih belum benar-benar sirna dari wajahnya.
Di luar, penjaga berbaju biasa—yang sebenarnya adalah mata-mata titipan Lian He—mengintip pelan dari celah jendela.
Ia menghela napas, lalu beranjak pergi dengan langkah cepat setelah melihat begitu lelapnya gadis itu tertidur.
---
Parade Panen resmi berakhir sekitar setengah jam lalu. Para bangsawan telah meninggalkan lapangan utama, dan para pangeran kembali ke kediaman masing-masing untuk berganti pakaian dan menerima laporan.
Di dalam Kediaman Barat, Jing Rui telah berganti jubah kasual—masih rapi, tapi tidak seformal jubah parade. Ia tengah duduk di ruang baca pribadi, di hadapannya terbuka gulungan laporan keuangan dari wilayah barat daya. Tapi matanya tak benar-benar fokus.
Di sisi ruangan, Lian He masuk dengan langkah ringan dan membungkuk.
“Yang Mulia. Dari penjaga yang ditugaskan... sudah dilaporkan.”
Jing Rui menoleh, setengah tersadar dari lamunannya. “Bagaimana?”
“Gadis itu… tertidur.”
Pangeran Keempat mengangkat alis tipis. “Pingsan?”
“Tidak. Tapi... mungkin karena lelah dan kekurangan darah. Dia tertidur cukup dalam.”
Jing Rui menautkan jari-jarinya. Hening sejenak, lalu ia berdiri pelan. “Kirim tonik dari tabib istana. Yang khusus pemulihan darah. Dan makanan.”
Ia menatap Lian He singkat. “Yang hangat dan benar-benar bergizi. Sup tulang ayam, telur herbal, dan buah rebus.”
“Semua prosesnya diawasi langsung oleh dua penjaga. Tak boleh ada tangan ketiga. Kalau ada yang menyisipkan sesuatu…”
“...Tangkap, saya mengerti,” potong Lian He cepat, tapi tidak tanpa nada geli. “Titah yang sangat… langsung.”
Jing Rui hanya menatapnya datar. “Hari ini cukup panjang. Aku tidak ingin masalah tambahan karena kelengahan sekecil ini.”
“Baik,” sahut Lian He sambil menyembunyikan senyum. “Akan segera dilaksanakan.”
Ia membungkuk dan melangkah keluar, meninggalkan Jing Rui yang kini kembali duduk. Tapi kali ini, gulungan laporan keuangan diletakkannya di samping.
Ia justru menatap lurus ke luar jendela.
Ke arah barak barat yang bahkan dari sini tak bisa terlihat.
Namun pikirannya… sedang tertuju pada satu nama:
Yu Zhen.
---
Sisa rombongan dayang mulai kembali ke barak—beberapa melanjutkan tugas, beberapa juga tidak, karena tidak dapat tugas lanjut—namun pemandangan yang tidak biasa menyambut mereka.
Dua pelayan laki-laki dari dapur istana tampak membawa baki besar tertutup kain bersih. Di belakang mereka, seorang tabib wanita ikut serta, membawa kotak obat kecil.
“Kamar pojok barak barat,” kata salah satu penjaga, “atas titah Yang Mulia Pangeran Keempat.”
Si Yan yang sedang duduk mencuci kain langsung menjatuhkan mangkuk airnya.
“Apa?!” bisiknya dengan volume setengah teriak.
Yang lain sudah mulai berdatangan ke lorong, pura-pura lewat tapi jelas ingin menguping.
“Barusan dapurnya siapa tuh yang kirim?”
“Kok makanan itu... kelihatannya lebih bagus dari yang dikasih ke selir kaisar tingkat dua?”
“Dan obatnya... dibawa tabib sendiri?”
“Katanya... istana pernah krisis bubur ayam waktu putri bangsawan sakit demam. Itu... supnya mirip.”
Tatapan mereka mengarah pada pintu pojok yang kini tertutup rapat. Tapi mereka tahu, di dalam sana, Yu Zhen—dayang baru tanpa marga—sedang beristirahat dengan makanan terbaik yang bisa didapat dayang mana pun.
Shuang Mei berdiri tak jauh, wajahnya seperti disiram kabut es. Tangannya mengepal pelan.
“Lucu,” gumamnya lirih. “Tugas kandang kuda, ya? Harusnya kau cuma kelelahan, atau bahkan mati dalam insiden itu. Bukan... diperhatikan begini.”
Sementara itu, di salah satu sudut paviliun samping tempat para pelayan senior berkumpul setelah parade, dua siluet berdiri di balik tirai tipis.
Yang satu mengenakan jubah semi-formal khas keluarga bangsawan, sementara yang satu lagi memakai seragam dayang istana level atas. Wajahnya manis, bibirnya tipis, tapi tatapannya menusuk.
“Aku mendengar dari pengawas dapur barat sendiri,” bisik gadis bangsawan itu pelan, “...katanya Yang Mulia Pangeran Keempat mengutus orang untuk mengantar makanan khusus ke barak dayang. Bahkan dengan penjaga pribadi.”
Dayang di sampingnya, bermarga Lin, ikut menghela napas, suaranya terdengar kecut. “Untuk siapa lagi kalau bukan si Yu Zhen itu…”
Sang gadis bangsawan—Nona Ji Yanyu, putri dari selir keluarga Menteri Ritus—mengatupkan kipasnya perlahan.
“Kalau kabar ini sampai ke ibuku... semua strategi kami akan runtuh.”
Mata Lin menoleh waspada. “Tapi... bukankah keluarga Ji sudah lama menjajaki jalan untuk mendekatkan hubungan dengan Kediaman Barat?”
Ji Yanyu tidak menjawab langsung. Ia hanya memutar kipas di jemarinya perlahan.
“Aku tidak peduli siapa dayang itu,” desisnya. “Tapi kalau dia menggoyahkan posisi siapa pun yang seharusnya berada di sisi Yang Mulia... maka dia harus belajar, bahwa di istana, tidak semua bunga bebas mekar.”
Lin hanya menunduk. Dalam hatinya, ia tahu gadis bangsawan ini tidak akan diam saja. Terutama jika berita itu benar.
Di kejauhan, mereka bisa melihat barisan pelayan yang lalu-lalang menuju barak barat. Dan dari celah pagar, tampak dua penjaga berpakaian kasual membawa nampan makanan hangat dan botol tonik tembaga yang masih mengepul.
Dari arah lain, suara pelan para dayang bergema pelan—tak jauh berbeda dari suara api menjilat ranting kering di musim gugur.
“Dengar-dengar... itu dari dapur utama sendiri!”
“Disiapkan khusus... katanya atas perintah langsung Pangeran Keempat…”
“Dayang Yu Zhen… sungguh luar biasa nasibnya...”
Dan dari arah luar pagar, Nona Ji hanya memandang pintu barak pojok itu… lama. Tatapannya tenang, namun menyimpan badai.
"Lin, cari tahu dia dari keluarga apa. Siapa dia sebenarnya," Gadis itu menyerah, akhirnya ia bertanya.
"Saya tahu banyak Yang Mulia. Dia dayang biasa, baru masuk dua hari yang lalu," jelasnya.
"Hanya dua hari... tapi sudah hebat mainnya," Nona Ji memicingkan mata.
"Selain itu dia hanyalah keponakan Han Ren Hai, kepala meja peralatan ritual di Kementerian Ritus," Lin menambahkan.
Ia terdiam sejenak, lalu tertawa pendek. “Jadi hanya itu?”
Salah satu pelayannya yang lain menimpali, “Ya, bukan pejabat tinggi. Kabarnya dia cuma menyelipkan nama si keponakan ke dalam daftar tambahan dayang, tetapi dia mendaftar jalur reguler, bukan rekomendasi khusus."
Nona Ji mencondongkan badan. “Bagus. Semakin mudah untuk disingkirkan tanpa menarik perhatian.”
Matanya menatap keluar jendela.
"Karena Pangeran Keempat… tidak butuh bunga liar yang muncul dari semak. Ia butuh bunga yang ditanam di taman kekaisaran.”