Mereka bertemu dalam tujuan masing-masing. Seperti kata temannya dalam hubungan itu tidak ada perasaan yang dipertaruhkan hanya ada profesionalitas semata.
Bersama selama tujuh bulan sebagai pasangan suami-istri palsu adalah hal yang mudah pikir mereka. Tapi apakah benar takdir akan membiarkannya begitu saja?
"Maksudku. Kita tidak mudah akur bukan? kita sering bertengkar dan tidak cocok."
"Bernarkah? tapi aku merasa sebaliknya."
***
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Karangkuna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
14. Mungkin Benar, Ini Kencan
Setelah menonton musikal Baswara mengajak Kani untuk makan di salah satu tempat favoritnya Mori restoran yang menyediakan makanan khas Jepang. Dua mangkuk udon dengan sup kaldu sapi dipesan untuk mereka.
"Baswara. Sudah lama tidak berjumpa, apa kabar?" tanya seorang pria tua bertampang khas Jepang namun lancar berbahasa Indonesia menghampiri mereka.
"Baik Kenji-san," ucap Baswara ramah.
"Senang melihatmu baik-baik saja," ucap Kenji yang pandangannya jatuh pada wanita di samping pria itu.
"Ini istriku," ucap Baswara yang membuat Kani tertegun. Sesuatu hal yang baru di dengarnya dan rasanya itu lebih menyenangkan ketimbang mendengar namanya tadi disebut.
"Ah! Selamat Baswara. Kalian tampak serasi. Baiklah aku tinggal dulu, selamat menikmati makanannya," ujar pria yang diketahui sebagai pemilik tempat itu pun berlalu kembali ke belakang menuju dapur.
"Apa semua penjual akan tampak ramah terhadap pelanggannya seperti itu? mereka mungkin akan sedikit berbohong untuk menyenangkan kita bukan?" ujar Kani sambil berbisik takut kalau ada yang mendengar mereka.
"Apa maksudmu?".
"Beberapa pujian mungkin tampak berlebihan, seperti 'kalian tampak serasi' bukankah itu konyol?".
"Apa yang konyol tentang itu? Ala kau keberatan dengan hal itu Kani?'
"Maksudku. Kita tidak mudah akur bukan? sering bertengkar dan tidak cocok," ucap Kani sambil memainkan selembar tisu yang baru saja diambilnya.
"Bernarkah? tapi aku merasa sebaliknya," ucap Baswara sambil menatap Kani dengan penuh arti.
***
Setelah menikmati makan siang mereka yang terlambat. Kani memutuskan untuk membawa Baswara nonton film di bioskop kebetulan ada film yang sangat ini dilihatnya.
Mereka pun duduk di kursi yang berada barisan atas, genre film yang mereka tonton adalah science fiction Kani berharap pria itu akan menikmatinya karena pada awalnya Baswara tampak malas diajak masuk ke dalam sana.
Mereka duduk dengan tenang dan fokus pada film yang sedang diputar sesekali Kani berkomentar mengenai adegan yang tidak masuk akal menurutnya dan Baswara mendapati hal itu lucu.
Ada satu momen di mana pria itu menikmati dirinya sedang memperhatikan Kani yang tampak bingung pada satu adegan dan berusaha mencernanya, wajah wanita itu tampak cantik dengan dahi yang mengerenyit dan mata cokelatnya yang fokus sementara jarinya sibuk mengetuk-ngetuk pegangan kursi di sampingnya.
Jujur sudah lama dia tidak menikmati momen santai seperti ini dulu sewaktu masih bersama dengan 'dia' Baswara jarang bisa menikmati kegiatan seperti ini dikarenakan Hany sibuk dengan kegiatan baletnya mereka lebih sering menghabiskan waktu dirumah Hany bersama dengan ibu dan adiknya menonton film di televisi, mereka sudah seperti keluarga kedua baginya baik ibu dan adik laki-lakinya sangat mengandalkan dirinya. Namun di sisi hatinya yang lain ia mulai merasa terbebani dengan itu dan hubungan mereka menjadi kurang berjalan mulus baginya karena waktu mereka untuk berdua hampir tidak ada.
Filmnya berakhir setelah diputar selama kurang lebih dua jam lamanya.
"Sejujurnya aku tidak mengerti jalan cerita film ini. Tapi salah satu teman kerjaku bilang kalau film ini bagus." ucap Kani sembari sibuk mengunyah berondong jagungnya yang tinggal sedikit.
"Genrenya terlalu berat untuk otakmu."
"Apa kau mengataiku bodoh?" tanya Kani sambil menoleh pada pria di sampingnya.
Baswara tertawa melihat emosi wanita itu yang gampang sekali tersulut, "Maksudku tidak semua orang bisa menerima genre seperti ini karena terlalu banyak hal yang perlu dipahami. Lagipula tidak ada salahnya kalau kau tidak paham." Baswara menegakkan tubuhnya dan melakukan beberapa peregangan.
"Kalau begitu coba kau jelaskan padaku," desak Kani.
Baswara terdiam sejenak, "Jujur aku juga tidak mengerti," ucapnya yang membuat kedunya tertawa bersama.
Baswara spontan menjulurkan tangannya untuk membersihkan mulut Kani yang belepotan terkena remah-remah dan kemudian berdiri sambil memegangi jasnya.
"Ayo keluar, tunggu apa lagi," ucap Kani yang masih terdiam akan tindakan pria itu barusan, dia berusaha mengatur hatinya yang berdebar dengan hebatnya.
Di luar Kani memeriksan jam tangannya dan merasa bahwa itu sudah waktunya membawa pria itu bersamanya, "Ayo kutunjukkan tempat rahasiaku, pasti kau suka."
Mereka pun keluar dari bioskop dan berjalan menuju tempat parkir. Kani tiba-tiba berhenti di sebuah toko sepatu di pintunya terpasang tulisan Diskon 50% ia berpikir untuk membelikan pria itu sepatu agar dia merasa lebih nyaman, tanpa pikir panjang dia menarik Baswara masuk ke toko itu.
Diambilnya sepasang sepatu putih dan mendorong Baswara untuk duduk dikursi, "Ini pakailah," Baswara hanya menatap sepatu itu dengan bingung.
"Tidak perlu membeli sepatu ini, sepatuku baik-baik saja."
"Tempat yang akan kita tuju akan membuatmu tidak nyaman dengan sepatu itu. Sudah pakai saja,"
"Kau mau mengajakku naik gunung ya? Merepotkan sekali."
"Diam saja dan pakailah sepatu ini," Baswara lantas memakai sepatu putih itu, namun tali sepatunya tergeletak begitu saja dia bingung karena tidak tau cara mengikatnya. Kani lalu berjongkok dihadapannya dan membantu mengikatkan tali sepatu miliknya, pria itu hanya bisa diam memperhatikannya, tidak ada yang pernah melakukan hal ini untukku selain mama batin Baswara.
"Ini hadiahku untukmu, lain kali kau harus memberikannya juga."
"Dasar perhitungan. Tentu saja, aku tidak suka berhutang pada orang lain."
Akhirnya mereka sampai tepat di sebuah bangunan terbengkalai yang berada di pinggir kota tidak jauh dari rumah nenek Kani.
Bangunan itu berlantai empat dulunya bekas rumah susun untuk warga kurang mampu namun kini diambil alih oleh seseorang yang akan menggantinya dengan bangunan lain untuk kepentingan komersil, untungnya proses pembangunan kembali itu belum dimulai.
Kani menarik tangan Baswara untuk jalan perlahan namun lebih mirip mengendap-endap karena masih ada seorang penjaga yang tampak berpatroli di area depan gedung.
"Kita bisa kena masalah jika ketahuan, ini gedung milik orang lain," ucap Baswara pasrah dituntun wanita itu sesekali dia memandangi keadaan sekitar.
"Tenanglah dan percaya padaku, kita aman." akhirnya mereka sampai kelantai teratas gedung itu.
Di sana banyak barang-barang terbengkalai beberapa ditinggalkan oleh pemiliknya sewaktu mereka pindah, kebanyakan sudah rusak.
Di sudut belakang ada sebuah kanopi besar yang tampak sudah usang, Kani berjalan kesitu dan duduk di sebuah kotak kayu yang agak kotor sambil menatap pemandangan sore hari yang tampak dari atas atap, Baswara pun bergabung bersamanya ia duduk di sebuah kursi kayu yang terlihat masih kokoh sembari menikmati pemandangan kota yang tampak dari tempatnya duduk.
"Dulu sepulang sekolah aku sering kemari, menghindari nenek yang akan menyuruhku ikut les matematika dengan kenalannya yang ada di pasar. Aku tidak suka dengan pria tua itu, dia akan memukul tangan kami kalau ada jawaban yang salah lalu bagian terburuknya dia sangat kotor ketika mengajar kami dia suka sekali menggaruk kakinya yang kotor dan berjamur," ucap Kani mengenang masa remajanya.
"Bagaimana keadaan nenekmu?" tanya Baswara hati-hati.
"Terakhir kali aku menjenguknya, dia sudah tidak ingat apapun tentang aku. Kata perawat yang mengurusnya, ingatan nenek semakin memburuk bahkan terkadang dia lupa dengan apa yang dia lakukan sejam yang lalu."
"Aku merasa seperti kita punya kesamaan, sama-sama menjalani hidup yang kurang bahagia."
"Aku berharap kau menemukan kebahagiaanmu Bas. Yah, meskipun kau menyebalkan. Tapi kau layak mendapatkannya," ucap Kani benar-benar tulus.
"Kau juga."
Kani memandangi Baswara yang duduk bersandar, lengannya terkulai jatuh, rambut pendeknya yang semula rapi kini berantakan akibat terpaan angin, "Kurasa aku sudah menemukannya, meskipun agak samar."
"Benarkah? Kalau begitu selamat kuucapkan."
Mereka tiba di rumah sekitar pukul jam delapan malam, Baswara berjalan menuju kamarnya sembari merenggakan otot-ototnya yang tegang.
"Terima kasih untuk hari ini Bas," ucap Kani yag ada di belakangnya.
"Tidak masalah. Aku senang setidaknya kita bisa melalui hari tanpa bertengkar dengan satu sama lain."
"Benar ternyata kita bisa melalui hari ini dengan damai." tepat seperti itulah pikiran Kani hari ini, mereka jarang bisa terlihat bersahabat.
"Terima kasih sudah menemaniku hari ini." balas Baswara pelan yang dibalas senyuman tulus dari wanita itu, dia pun melangkah melewati Baswara menuju tangga untuk mencapai kamarnya.