Hal yang mengejutkan dialami oleh Nurhalina, gadis penjaga toko swalayan. Ia menjadi korban penculikan dan dijadikan tumbal untuk sebuah perjanjian dengan sebelas iblis. Namun ada satu iblis yang melanggar kesepakatan dan justru mencintai Nurhalina.
Hari demi hari berlalu dengan kasih sayang dan perhatian sang iblis, Nurhalina pun menaruh hati padanya dan membuatnya dilema. Karena iblis tidak boleh ada di dunia manusia, maka dia harus memiliki inang untuk dirasukinya.
Akankah cinta mereka bertahan selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Markas Para Psikopat
...Nurhalina...
...────୨ৎ────...
Pintu mobil terbuka, tangan si Kekar masih lengket di rambutku, sedang si Bos membersihkan air liurnya yang berserakan di sekujur wajahku. Malam ini tubuhku habis menjadi santapan dua pria gila. Kebaya yang kukenakan ludes disobeknya begitu pula jarik yang menyembunyikan tubuh bagian bawahku. Hanya selendang ini satu-satunya penutup yang tersisa.
"Tahu gitu tadi kita muter-muter dulu lewat jalan yang lebih jauh. Kamu cantik juga ternyata," ucap si Bos sambil menyeka bibirnya dengan sapu tangan.
Kami pun turun dari mobil, si Bos dengan leluasa melompat dari pintu dengan wajah puas. Senyumnya membuatku jijik, "Besok lagi, ya cantik!"
Aku sudah tak bisa lagi berekspresi, menyadari rasa sakitnya di seluruh badan, leher, pipi hingga pangkal kakiku. Aku yakin, apa yang mereka lakukan kepadaku tadi meninggalkan memar atau luka.
"Bawa dia masuk, eh... Jangan..." ucap si Bos, dia kelihatan bingung. "Tunggu-tunggu, mumpung Papa belum pulang, bagaimana kalau kita selesaiin permainan tadi?"
Si kekar hanya mengangguk sambil menjepit kepalaku di antara ketiaknya. Tentu saja ada bau terasi rebus yang menyerang hidungku.
"Kita selesaikan di sini aja Bos, main cepat!" usul si Kekar. Memposisikanku jongkok seperti peliharaan, sambil menarik rambutku ke belakang.
"Ide bagus," balas si Bos sambil melepas sabuk yang melilit pinggangnya.
...Splaasshh Splaaassshhhh...
Dua pecutan singkat mendarat di atas punggungku. Aku balas dengan berteriak sekuat-kuatnya untuk menahan rasa sakit yang menjalar sampai ke ubun-ubun.
Si bos tak menyerah, ia menurunkan celananya dan memaksaku membuka mulut. Sedangkan si kekar masih sibuk menahan belakang kepalaku dengan lututnya dan kedua tangannya kini ada di kanan kiri pipiku.
"Hisap cantik!" paksanya.
"Arrghhhh." Rasanya percuma aku memekik, walau sampai habis suaraku mana mungkin ada yang mendengar. Jarak antara rumah satu dengan lainnya di sini cukuplah jauh mengingat ada ladang yang memisahkan. Tapi di kejauhan, tampak sorot lampu kendaraan yang menuju ke sini.
"Sial! Cepet hisap bodoh!" bentak si Kekar sambil memajukan kepalaku ke arah batang Bosnya yang telah tegak mengacung. Untungnya benda kenyal itu hanya menyerempet hidungku. Meski baunya cukup membuatku ingin muntah, tapi aku bersyukur benda itu gagal memasuki mulut.
"Ahh lama! Berengsek!" timpal si Bos akhirnya menyerah dan menutup celananya. Tapi sempat mencolek jahil sebentar dadaku sebelum dia berpura-bura berdiri tegap saat mobil berpelat merah datang memasuki halaman rumah.
Seseorang turun dari mobil itu, tampak seragam cokelat muda dengan topi hitam berlogo gapura menghiasi tubuhnya yang teramat buncit. Tak lupa puji syukur serta salam dipanjatkan olehnya, "Alhamdulillah, sampai rumah juga!"
"Mana oleh-olehnya Pa?" sambut si Bos tanpa basa basi.
"Di kursi belakang, Nak." balas seseorang bernama Bahlil itu. Tampak namanya terbordir timbul di atas sakunya. "Kesukaan kamu itu!"
Si Bos buru-buru membuka pintu belakang dan mengeluarkan satu kantong keresek merah besar. Setelah dibuka isinya membuatku mual.
"Pembalut?" kejut si Bos. Sebenarnya aku pun tak kalah terkejut, tapi rasa sakit yang menempel di punggung membuatku tak memberikan ekspresi itu. "Pa, yang benar saja!"
"Bocah ganteng, itu titipan Bundamu, Nak! Punyamu di keresek putih!" jelas sang Ayah.
Tak lama kemudian ia berhasil mendapatkannya. Dia mundur ke luar dari mobil dengan senyum lebar.
Saat keresek itu dibuka ....
Tampak dedaunan kering yang sudah dirajang tipis, hampir sama seperti tembakau rokok, tapi ini sedikit berwarna merah pekat.
"Hahaha, gitu dong Pa!" dengusnya puas sambil menikmati aroma daun itu.
Ia kembali jalan ke arahku dengan kantong daun yang terbuka, "Mau coba cantikku? Nihh!!"
"Aaarrrgggghhh!" pekikku begitu wajahku dipaksa masuk kedalam kresek penuh daun kering itu. Ada yang aneh di kepalaku ketika bernapas di dalamnya. Aromanya seperti serbuk korek, dan kepalaku sedikit pening. Namun rasa sakit di sekujur tubuhku rasanya tak sesakit tadi.
Ada apa denganku?
"Ngefly kan? Suka? Haha." cicit si Bos. "Habis ini kita bersenang-senang cantik."
"Ndaru, Nak! Simpan tumbal kita di belakang, ya! Ingat jangan sampai kebablasan bermainnya." teriak Bahlil melepas topinya. "Kamu bisa puas-puasin entar setelah ritual, atau bisa pakai stok yang ada dulu kalau udah gak tahan."
"Enggak, Pa. Stok Papa udah tua-tua semua. Ndaru suka yang ini, lihat, kan! Kita seumuran!" tangkis si Bos yang di panggil Ndaru itu sambil melempar senyum genit ke arahku. "Udah, cantik, imut, perawan pula!"
"Ya udah atur aja sesukamu! Papa masuk dulu, mau istirahat." pamit sang Ayah.
Begitu pintu depan rumahnya tertutup, Ndaru beserta dua anak buahnya mengendongku. Aku menaiki anak buahnya yang kekar itu dan si bos Ndaru membuntuti kami dari belakang sambil menepuk dan meraba jahil bokongku.
...Plakkkk...
"Ayoo jalan terus, cantik!" Aku segera menoleh ke belakang memasang tatapan menantang. Tapi hanya berbalas tawa genit darinya seakan dia tak takut apa yang akan terjadi padanya nanti. "Apa? kamu lebih cantik kalau merengut gitu! Haha."
...Mmmmppp Mmmmpppuaahhh...
Bibirnya mendarat di bibir manyunku seketika. Aku tak sempat menghindari kecelakaan ini karena begitu tiba-tibanya dia.
Rumahnya besar mewah, ada dua gazebo setelah masuk melewati gerbang, dan sekarang kami memutar dari gazebo kiri menuju belakang rumah.
Aku sempat berpikir, entah apa yang ada di dalam rumah sebesar itu, karena sudah 2 menit kami berjalan belum juga sampai pada tempat tujuan.
Jalannya mulai remang karena pencahayaan di sini masih menggunakan lampu bohlam dan jumlahnya lebih jarang dari pada yang ada di depan rumah.
Akhirnya kami sampai di sebuah rumah kayu tua. Tidak sebesar rumah yang di depan. Pencahayaannya juga sekedarnya saja. Satu Lampu Petromak yang menggantung di sebelah pintu.
Tampaknya, ada tanaman bambu liar di belakang rumah ini, karena sempat tertiup angin daun-daun keringnya saat kami ke sini. Dan sekarang yang kudengar hanyalah suara air yang mengalir.
Engak.
Bukan mengalir, suara ini lebih seperti air terjun, sangat deras dan keras.
Ndaru duduk di teras, di kursi tua, menyeka rambutnya sambil menghembuskan asap rokok. Sedang aku berlutut di hadapannya. Mataku mulai berputar, pening yang tadi hanya sedikit kini mulai terasa banyak.
"Gimana, kamu mau coba cantik?" Dia tarik hisapan rokok mini itu kemudian bicara sambil mengeluarkan asapnya, "Kayaknya kamu harus coba deh!"
...Mmmmmmpphhhh...
Bibirnya kembali bersilahturahmi ke bibirku, bedanya kini bibir kita sama-sama terbuka bertukar udara. Kita bernapas bersama. Dan aku mulai merasakan.
"Bos, boleh coba?" ucap si pria kekar.
"Iya, masak kita gak di kasih giliran, biasanya juga bos ogah-ogahan nyentuh tumbal. Katanya bikin sial. Eh sekarang malah, Gercep!" timpal anak buah yang menyopiri perjalanan kami tadi. "Huu, si Bos ini."
"Kalian boleh lakukan itu sama tumbal yang lain, tapi kalau sampai kalian macam-macam sama yang satu ini... Kalian yang bakal jadi tumbal berikutnya!" tegas Ndaru sambil menunjuk mereka. "Dan kamu, Muis? Siapa yang suruh sentuh dia di mobil? Kurang hajaaaarrrggg!"
...BUUUUGHHH...
Satu tinjuan mendarat di pipi kanan pria kekar yang dipanggil Muis itu.