Prolog
Hujan deras mengguyur malam itu, membasahi jalanan berbatu yang dipenuhi genangan air. Siena terengah-engah, tangannya berlumuran darah saat ia berlari melewati gang-gang sempit, mencoba melarikan diri dari kematian yang telah menunggunya. Betrayal—pengkhianatan yang selama ini ia curigai akhirnya menjadi kenyataan. Ivana, seseorang yang ia anggap teman, telah menjebaknya. Dengan tubuh yang mulai melemah, Siena terjatuh di tengah hujan, napasnya tersengal saat tatapan dinginnya masih memancarkan tekad. Namun, sebelum kesadarannya benar-benar menghilang, satu hal yang ia tahu pasti—ia tidak akan mati begitu saja.
Di tempat lain, Eleanor Roosevelt menatap kosong ke luar jendela. Tubuhnya kurus, wajahnya pucat tanpa kehidupan, seolah dunia telah menghabisinya tanpa ampun. Sebagai istri dari Duke Cedric, ia seharusnya hidup dalam kemewahan, namun yang ia dapatkan hanyalah kesepian dan penderitaan. Kabar bahwa suaminya membawa wanita lain pulang menghantamnya seperti belati di dada
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon d06, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 13 rasa terimakasih
Ruangan itu dipenuhi oleh suara para petinggi desa yang dengan penuh keyakinan memberikan penjelasan kepada Cedric. Eleanor yang baru saja masuk langsung dipersilakan duduk di antara mereka. Dia tidak langsung berbicara, hanya mendengarkan dengan tenang, membiarkan mereka berpikir bahwa dirinya hanyalah seorang pendengar pasif.
“Kami telah melakukan segala yang kami bisa untuk meningkatkan perekonomian desa, Yang Mulia,” salah satu petinggi berbicara dengan penuh percaya diri. “Setiap kebijakan yang kami buat selalu berdasarkan kesejahteraan rakyat.”
Carolet yang duduk di sisi Cedric ikut menimpali, suaranya terdengar lembut namun penuh kepastian. “Benar sekali, Yang Mulia. Mereka bekerja keras untuk desa ini. Aku rasa tidak ada yang mencurigakan. Mungkin hanya ada kesalahan perhitungan kecil.”
Cedric yang awalnya sedikit ragu mulai mengangguk kecil. “Jika memang begitu, maka tidak ada yang perlu dipermasalahkan.”
Mata Eleanor sedikit menyipit, menyadari bahwa Carolet berusaha menggiring opini Cedric agar mempercayai para petinggi tanpa menggali lebih dalam.
Eleanor akhirnya berbicara, suaranya terdengar datar namun tajam, “Jadi, kalian yakin tidak ada yang salah dengan laporan keuangan ini?”
Salah satu petinggi tersenyum tipis. “Tentu saja. Kami telah bekerja keras untuk memastikan semuanya sesuai.”
Eleanor mengangguk pelan, lalu bertanya lagi, “Jika semuanya sesuai, mengapa hasil panen penduduk menunjukkan angka yang jauh lebih besar dari yang tercatat dalam laporan?”
Suasana ruangan mendadak hening.
Para petinggi saling bertukar pandang, jelas tidak menyangka pertanyaan itu. Salah satu dari mereka mencoba menjawab, “Mungkin ada kesalahan dalam pencatatan. Kadang petani tidak melaporkan hasil panennya dengan benar.”
Eleanor tersenyum tipis, lalu bertanya lagi, “Jika memang begitu, kenapa pajak yang dibebankan kepada mereka justru meningkat saat mereka meminta harga jual yang lebih tinggi?”
Seorang petinggi lain berdeham gugup. “Itu… untuk menyesuaikan dengan kebijakan ekonomi kerajaan.”
Eleanor berpura-pura berpikir sejenak sebelum bertanya lagi, “Lalu, bisakah kalian menjelaskan kenapa bukti transaksi mereka menunjukkan harga jual yang jauh lebih rendah dari yang seharusnya? Dan jika harga jual mereka rendah, ke mana perginya keuntungan yang seharusnya mereka dapatkan?”
Wajah para petinggi itu mulai memucat.
Carolet yang merasa situasi mulai tidak menguntungkan mencoba menyela. “Mungkin ini hanya kebetulan. Lagipula, mengatur perekonomian desa bukanlah hal yang mudah.”
Eleanor tersenyum miring. “Kebetulan? Aku tidak berpikir begitu.”
Dia lalu mengeluarkan tumpukan bukti transaksi yang telah dia dapatkan dari penduduk desa dan meletakkannya di atas meja.
Cedric mengambilnya dan mulai membaca, ekspresinya berubah semakin dingin.
Eleanor menatap para petinggi dengan tajam. “Apa kalian masih ingin mengatakan bahwa tidak ada yang mencurigakan di sini?”
Para petinggi yang tadi begitu percaya diri kini terdiam, wajah mereka menunjukkan kecemasan yang jelas.
Cedric mengangkat kepalanya, tatapannya penuh dengan amarah yang terkendali. “Aku ingin penjelasan sekarang.”
Ruangan yang tadi penuh dengan suara, kini hanya dipenuhi dengan keheningan yang menegangkan.
Suasana ruangan semakin menegang setelah Cedric mengungkap bukti penggelapan dana. Para petinggi desa yang sebelumnya begitu percaya diri kini menundukkan kepala, wajah mereka pucat pasi, menunggu keputusan yang akan dijatuhkan kepada mereka.
Cedric menatap mereka tajam sebelum berbicara, suaranya terdengar dingin dan berwibawa. “Jadi, setelah semua ini terbukti, hukuman apa yang pantas untuk mereka?”
Carolet, yang sejak awal berusaha membela para petinggi, segera angkat bicara dengan nada lembut dan penuh kepedulian. “Yang Mulia, mungkin akan lebih bijak jika mereka hanya diistirahatkan sementara. Beri mereka pengarahan agar ke depannya mereka bisa bekerja lebih baik dan tidak mengulangi kesalahan ini.”
Eleanor yang sejak tadi memperhatikan langsung menggeleng pelan, ekspresinya datar tapi tajam. “Itu tidak cukup.”
Carolet menoleh ke arahnya dengan alis terangkat, seolah tidak percaya Eleanor berani membantahnya di hadapan Cedric. “Lalu menurutmu, apa yang harus dilakukan? Menghukum mereka dengan berat tanpa memberi mereka kesempatan untuk berubah?”
Eleanor menatap lurus ke arah Cedric, mengabaikan Carolet sepenuhnya. “Jika seseorang mengambil buah dari kebun orang lain lalu tidak ada satupun yang menegur maupun menghukumnya, apakah orang itu akan berhenti mengambil buah tersebut?”
Cedric terdiam sejenak, memproses kata-kata Eleanor.
Eleanor melanjutkan, suaranya semakin tajam, “Jawabannya tentu tidak. Karena mereka tahu selalu ada celah untuk mereka mengambil yang bukan hak mereka. Jika sekarang kita hanya memberi mereka pengarahan tanpa hukuman yang layak, apa jaminannya mereka tidak akan mengulanginya di masa depan? Apa kita akan membiarkan rakyat terus dirugikan?”
Para petinggi desa semakin menunduk, beberapa dari mereka bahkan mulai gemetar. Mereka tahu Eleanor benar, dan tidak ada lagi alasan yang bisa mereka gunakan untuk membela diri.
Carolet mencoba tersenyum tenang, tapi jelas ada sedikit ketegangan dalam suaranya. “Tapi kita juga harus mempertimbangkan dampak dari hukuman yang terlalu keras. Jika kita bertindak terlalu tegas, bisa saja ini mempengaruhi stabilitas desa.”
Eleanor menoleh ke arah Carolet dengan ekspresi tidak terpengaruh. “Dan jika kita terlalu lunak, itu akan mempengaruhi kepercayaan rakyat. Jika hukum hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas, maka kita tidak lebih baik dari mereka yang menyalahgunakan kekuasaan.”
Cedric mengamati pertukaran pendapat di antara mereka, matanya tajam menilai setiap kata yang diucapkan. Lalu, dia kembali melihat bukti-bukti di hadapannya dan akhirnya bersuara dengan nada tegas, “Aku setuju dengan Eleanor.”
Carolet tersentak, ekspresinya sedikit berubah. “Yang Mulia…?”
Cedric menatap para petinggi dengan dingin. “Orang-orang yang telah merugikan rakyat dan menyalahgunakan kepercayaan yang diberikan kepada mereka tidak bisa hanya diberi pengarahan. Mereka harus dihukum sesuai dengan hukum yang berlaku.”
Eleanor akhirnya tersenyum tipis, puas dengan keputusan Cedric.
Sementara itu, para petinggi yang tertangkap basah hanya bisa menunduk dalam ketakutan, menyadari bahwa kejahatan mereka tidak lagi bisa ditutupi.
...✿✿✿...
Saat Eleanor melangkah keluar dari ruangan, dia terkejut melihat banyak warga desa sudah berkumpul di halaman. Wajah-wajah mereka penuh harap dan kelegaan, beberapa di antara mereka bahkan terlihat menitikkan air mata. Begitu melihat Eleanor, mereka serempak membungkuk dalam-dalam.
“Terima kasih, Nona Eleanor! Anda telah menyelamatkan kami!” seru salah satu warga.
“Kami tidak tahu harus bagaimana jika kecurangan ini terus berlanjut. Kami benar-benar berhutang budi pada Anda,” tambah seorang pria tua dengan suara bergetar.
Eleanor menatap mereka dengan ekspresi datar, lalu menghela napas ringan sebelum berkata, “Kalian salah mengucapkan terima kasih.”
Warga yang mendengarnya langsung saling pandang dengan bingung.
Eleanor melipat tangannya, menatap mereka satu per satu. “Seharusnya kalian berterima kasih kepada Duke Cedric. Dia yang memperjuangkan kalian. Jika bukan karena dia, mungkin kalian akan terus dirugikan tanpa ada yang peduli.”
Beberapa warga masih tampak ragu, tetapi salah satu wanita paruh baya yang membawa keranjang langsung mengangguk setuju. “Benar, tanpa Duke Cedric, kami tidak akan mendapatkan keadilan. Kami harus berterima kasih padanya juga.”
Warga lain mulai mengikuti, dan dalam sekejap, mereka bersorak menyebut nama Cedric dengan penuh semangat.
Eleanor tersenyum tipis melihat reaksi mereka, lalu melangkah pergi tanpa menoleh lagi. Dia sudah melakukan bagiannya, dan sisanya biarlah Cedric yang menyelesaikan. Namun, dalam hati kecilnya, dia tahu bahwa di balik semua ini, Cedric memang seseorang yang pantas dihormati—meskipun dia sendiri enggan mengakuinya.
Saat perjalanan pulang, suasana di dalam kereta terasa sunyi. Carolet duduk dengan ekspresi tak senang, jelas kecewa karena rencananya untuk membela para petinggi desa gagal total. Sementara itu, Eleanor duduk dengan tenang, menatap ke luar jendela dengan tatapan kosong, seolah tidak peduli dengan keheningan yang menyelimuti mereka.
Cedric, yang sejak tadi diam, akhirnya membuka suara. “Apa alasanmu melakukan itu?”
Eleanor tidak langsung menjawab. Dia hanya mengalihkan pandangannya dari jendela dan menatap Cedric dengan ekspresi datar. “Melakukan apa?”
Cedric menyandarkan tubuhnya ke kursi, matanya meneliti wajah Eleanor dengan penuh arti. “Menyuruh warga desa berterima kasih padaku. Padahal kau yang menemukan bukti dan membongkar semuanya. Kenapa tidak menerima pujian yang seharusnya milikmu?”
Eleanor mendengus pelan sebelum menjawab, “Aku hanya berkata jujur. Lagipula, aku bukan siapa-siapa. Jika bukan karena posisimu, buktiku tidak akan ada artinya. Tidak ada yang akan mendengar kata-kataku tanpa dukunganmu.”
Cedric terdiam. Jawaban itu masuk akal, tapi ada sesuatu dalam nada suara Eleanor yang membuatnya merasa tidak nyaman. Seolah wanita itu sudah terbiasa untuk tidak mengambil penghargaan atas usahanya sendiri.
“Kau selalu seperti ini?” tanya Cedric tiba-tiba.
Eleanor mengerutkan kening. “Seperti apa?”
Cedric menatapnya dalam. “Melakukan sesuatu untuk orang lain tanpa mengharapkan apapun sebagai balasannya?”
Eleanor tertawa kecil, namun tawanya terdengar hambar. “Aku tidak sebaik itu, Duke Cedric. Aku hanya melakukan apa yang perlu dilakukan.”
Cedric menatapnya lebih lama sebelum akhirnya mengalihkan pandangannya. Untuk pertama kalinya, dia merasa tidak bisa memahami sepenuhnya sosok Eleanor. Wanita ini tidak meminta pengakuan, tidak mencari perhatian, bahkan tidak peduli jika orang lain tidak menganggap jasanya.
Namun, justru karena itulah Cedric merasa semakin tertarik padanya. Eleanor bukan seperti wanita lain yang pernah dia temui. Ada sesuatu dalam dirinya yang… unik.
Dan entah kenapa, Cedric merasa ingin mengetahui lebih banyak tentangnya.
suka banget sama alurnya, pelan tapi ada aja kejutan di tiap bab...
lanjut up lagi thor