Bagi Krittin, pernikahan ini bukanlah tentang cinta—melainkan tentang balas dendam. Bertahun-tahun ia menyimpan kebencian mendalam terhadap keluarga Velora, yang dianggapnya telah menghancurkan keluarganya dan merampas segalanya darinya. Kini, dengan perjodohan yang dipaksakan demi kepentingan bisnis, Krittin melihat ini sebagai kesempatan emas untuk membalas semua rasa sakitnya.
Velora, di sisi lain, tidak pernah memahami mengapa Krittin selalu dingin dan penuh kebencian terhadapnya. Ia menerima pernikahan ini dengan harapan bisa membawa kedamaian bagi keluarganya, tetapi yang ia dapatkan hanyalah suami yang memandangnya sebagai musuh.
Ruang hati sang kekasih adalah kisah tentang pengkhianatan, luka masa lalu, dan perjuangan antara kebencian dan cinta yang tak terelakkan.
bagaimana kisah mereka? yuk kepoin kelanjutan nya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yarasary, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19
Tiga jam berlalu, Krittin merapikan kembali dokumen-dokumen itu dalam tempat nya, menyusun dengan rapi di rak sebelum meletakkan nya di lemari yang berada di samping jendela ruangan. Arsenal terlihat benar-benar mabuk, aneh nya bukan di sebab kan alkohol melainkan membaca dokumen yang di katanya seperti mantra. Terlalu penuh akan tulisan yang tercatat rapi dengan tinta hitam, bahkan ia sempat mengeluh kenapa dokumen tidak menyertakan gambar lebih banyak agar bisa terlihat lebih menarik dan mengesankan. Tapi Krittin mengabaikan nya, sampai tak terasa waktu berjalan begitu lama dan dokumen yang di inginkan berhasil ia dapat.
" Aku butuh oksigen. " Ucap Arsenal, menegak kan tubuh lalu menghirup udara dalam-dalam. Meraih segelas Champagne yang baru saja Krittin tuangkan untuk dirinya.
" Lagi! " Pinta Arsenal, sambil menjulurkan gelas yang tak butuh lama kembali terisi penuh dengan cairan asam bercampur manis yang membuatnya menginginkan lagi dan lagi untuk mengusir rasa penat nya.
" Pelan-pelan, kau terlihat seperti orang kesetanan Arsen. " Krittin meneguk milik nya, kembali memeriksa ulang satu dokumen yang kini berada satu-satunya di atas meja.
" Kau tahu sendiri siapa yang menjadi setan di sini. " Ucap Arsenal dengan kesal.
" Menurut mu kenapa aku harus menyelidiki tentang tanah di sana? " Krittin bertanya tanpa menoleh pada lawan bicara nya.
Sementara Arsenal menggeram frustasi akibat rasa lelah yang belum hilang malah di tambah dengan ketidak bergunaan nya benda yang ia cari setengah mati itu.
Kalau saja membunuh di legalkan, pasti orang pertama yang akan ku tusuk pria batu sialan ini. Gerutu nya dalam hati.
" Kau sungguh-sungguh menanyakan hal itu padaku tuan? "
" Tidak, aku tahu kau bodoh dan tak mengerti tentang semua ini. Aku hanya mau memastikan apa otak mu masih mampu merespon dengan benar? Atau sudah lumpuh?"
" HEII!! "
Krittin melempar senyum terindah, menikmati wajah sahabatnya yang memerah karena kesal.
" Tunggu saja aku pasti akan membunuhmu bajingan. " Tutur Arsenal, meraih dokumen di atas meja dan melempar kan nya ke arah Krittin yang tak menghindar sedikit pun.
" Aku butuh menyibukkan diri untuk tidak setres. "
" KENAPA MENGAJAK KU? Aku tidak setres, tapi setelah mengikuti kemauan mu membuat ku frustasi sampai rasanya mau gila Krittin. "
" Sekarang saja kau sudah terlihat gila dokter, lihatlah rambut mu yang berantakan, dasi miring, kancing terbuka. Seperti nya aku perlu menurunkan sedikit pangkat mu.... "
" TERSERAH!!" Arsenal hendak memukul lengan kekar Krittin tapi kalah cepat karena pria itu memilih bangkit dan berjalan mendekati jendela.
" Aku sangat lelah berdebat dengan mu. Izinkan aku ambil cuti satu minggu, aku butuh mengistirahatkan mental dan pikiran agar tidak gagal fokus di ruang operasi. "
" Lakukan saja, tapi jangan salahkan aku kalau posisi direktur utama rumah sakit beralih pada orang lain. "
" Kau memang si paling cerdas yang breng-sek Tuan besar. "
" Pujian kurang tulus. " Krittin masih betah menatap ke luar rumah, memperhatikan Hanian yang memainkan kelopak bunga mawar dan bercengkrama dengan seekor kucing berbulu hitam milik Krittin.
" Itu bukan pujian Krittin! "
Krittin berdesis, berpaling tapi bukan pada Arsenal melainkan burung muari kecil yang mulai bercitcit karena terkejut akan suara mengerikan Arsenal. " Kau membangunkan nya, "
Rasa kesal Arsenal mereda, " Bukankah itu burung yang ada di taman, seingatku kau tidak terlalu menyukai burung? "
" Aku memang tidak terlalu suka, tapi bukan berarti aku senang melihatnya mati karena kedinginan. Aku hanya memberi tempat yang lebih layak untuk dia hidup."
" Ternyata kau masih punya hati, "
Jari Arsenal terjulur ke dalam, membiarkan burung kecil itu mematuk-matuk sampai beralih ke arah lain karena sadar jika itu bukan makanan nya, "bagaimana dengan pemilik nya? "
Tak ada sahutan, Krittin memperhatikan cara burung itu mengapit biji-bijian dengan mulut nya, sebelum mengangkat kepala agar biji yang sempat di apit masuk untuk kunyah.
" Kau tak mau berusaha mencari nya? "
" Sudah ku lakukan. "
" Hanya dua persen dari seratus, tapi mungkin kau memang tidak mau bertemu dengan dia lagi?"
" Begitu lebih baik. Aku sudah terlalu sering menyakiti nya, ini sudah lama, dan mungkin dia sudah melupakan ku."
" Hanian baru saja membahas nya, aku terpaksa membeberkan kebenaran yang seharusnya kamu yang menjelaskan. Dia bertanya tentang istri mu, dan aku mengatakan jika hubungan kalian berjalan mulus. "
" Sudah ku duga, lalu apa lagi yang Hanian tanyakan? "
" Apakah kehidupan kalian bahagia? Kemana Velora pergi? Aku tidak bisa memberinya jawaban jujur. Jadi aku berbohong, aku memberitahu nya kalau Velora sedang ada pekerjaan dan untung nya dia tidak bertanya lebih jauh. Tapi ku sarankan sebaiknya kamu berpura-pura mencintai velora di depan Hanian, hanya untuk kebaikan anak itu, tidak peduli bagaimana perasaan mu sebenarnya. karena yang hanian tahu adalah sosok mu yang baik dan lembut, apa kau mengerti? "
Aku memang sudah jatuh cinta Arsen, aku sudah jatuh sedalam-dalamnya hingga tersiksa setiap malam karena merindukan dia.
" Hanya berpura-pura saja Tin. " Ulang Arsenal saat tak mendapat jawaban.
" Yah aku tahu, untuk kebaikan Zizi. aku akan melakukan apapun untuk kebaikan adik ku. "
Hari menjelang malam, setelah melakukan makan malam di luar sesuai permintaan Hanian. Mereka kembali berkendara ke penthouse, ocehan Hanian tak berhenti karena rasa takjub akan hidangan yang telah ia santap di restaurant baru milik Krittin, hingga setengah perjalanan energi Hanian terkuras habis dan mulai mengantuk.
dengan hati-hati Krittin meletakkan tubuh Hanian di atas kasur. Menyelimuti tubuh yang sudah terlelap itu, lalu menyingkirkan anak rambut yang menutupi kening Hanian. Perlahan menjauh dan menutup pintu kamar.
Tatapan Krittin beralih pada lantai bawah, kesunyian yang terasa begitu akrab entah mengapa kini menyiksanya. Sekelibat kenangan tentang orang-orang tersayang nya mulai bermunculan, wajah-wajah bahagia mereka, tawa yang muncul di setiap harinya, hingga keadaan buruk dari kondisi tubuh terluka dengan darah yang berceceran di atas tanah.
Tak peduli pada malam yang sudah semakin larut, Krittin terus menginjak pedal gas begitu kuat sampai gesekan nya menimbulkan bekas ban di atas paving. Berkendara di tengah malam yang gelap gulita sebab sang bulan tak muncul malam ini, seakan mengerti keadaan hati Krittin sedang terpuruk.
Suara gemrisik pepohonan menjadi latar belakang keterdiaman Krittin, menarik kepala nya yang sempat ia benamkan di tumpuan tangan setelah berhasil menepi di samping jalan, berharap bisa menjernihkan pikiran nya.
Tak lama Krittin memasukkan lengan kanan nya ke saku celana, menghidupkan handphone dan membuka kontak nomor milik seseorang. Perasaan nya kalut memilih menghubungi atau tetap diam menikmati rasa sesak di dadanya. Tapi keinginan yang muncul lebih besar dari rasa bersalah akan kekejaman nya. hingga tak lama saluran itu mulai memanggil dan panggilan terhubung tanpa menunggu lama.
" Halo. "
Dada Krittin berdenyut nyeri, mata nya mulai kabur hingga butuh menarik nafas agar ia tetap bisa tersadar. Ia sangat merindukan suara lembut itu, ingan bertanya bagaimana kabarnya tetapi tak ada suara yang keluar hingga membuat orang di seberang kembali berbicara.
" Halo tuan, apa anda masih di sana? Tuan, kau mendengar ku?" Sudah pasti kalimat seperti ini yang akan Krittin dengar.
Sejak di tahun pertama pernikahan, mereka berdua tidak pernah saling menghubungi, saling bertukar pesan atau melakukan panggilan telepon. Jadi jelas saja jika Velora tidak mengenal siapa pemilik nomor yang sekarang menghubungi nya.
"Aku rasa anda menghubungi nomor yang salah, maaf aku akan mematikan telfon nya, selamat malam tuan. "
Air mata Krittin luruh seiring suara wanita itu menghilang dari pendengaran nya, menjatuhkan kepala di roda kemudi dengan hati yang semakin tersiksa karena merindukan istri nya.
Vel, jika suatu hari kita ditakdirkan bertemu lagi, apa kau masih mau tinggal di samping ku? Aku tidak yakin bisa mendapatkan maaf dari mu, tapi seandainya kamu tahu, aku tidak bisa memaafkan diri ku sendiri karena telah berani melepaskan mu. Ini menyedihkan, juga sangat menyakitkan.
kalau saja kau bisa melihat keterpurukan ku, aku ingin tahu bagaimana reaksi mu. setidaknya aku bisa melihat raut wajah lain dari mu selain menangis dan memohon.
.
.
******