"Ah...ini di kantor! Bagaimana jika ada yang tau! Kalau istrimu---" Suara laknat seorang karyawati bernama Soraya.
"Stt! Tidak akan ada yang tau. Istriku cuma sampah yang bahkan tidak perlu diingat." Bisik Heru yang telah tidak berpakaian.
Binara Mahendra, atau biasa dipanggil Bima, melihat segalanya. Mengintip dari celah pintu. Jemari tangannya mengepal.
Namun perlahan wajahnya tersenyum. Mengetahui perselingkuhan dari suami mantan kekasihnya.
"Sampah mu, adalah harta bagiku..." Gumam Bima menyeringai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon KOHAPU, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tidak Boleh
"Kita sarapan bersama ya?" Soraya tersenyum, membawa paperbag berisikan dua kotak makanan dari restauran cepat saji.
"Kamu memang paling mengerti, calon istri idaman." Heru mencubit hidung Soraya gemas.
Melangkah memasuki lift setelah absen. Tapi kala pintu lift akan tertutup, seseorang yang tidak diduga ikut masuk. Tidak biasanya seperti ini, Binara Mahendra hampir terlambat? Pria yang biasanya selalu datang lebih awal?
"Janga mengkritik orang, jika kamu sendiri tidak disiplin." Sindir Heru.
Bima mengangkat salah satu alisnya. Merasa dirinya tidak terlambat, dalam kertas absen tepat tercetak 07.58.
"Sayang, jangan seperti itu. Bagaimana pun juga, pak Bima atasanmu." Soraya bergelayut manja, di lengan Heru. Namun, cukup penasaran juga, apa benar Bima impoten? Sial! Padahal bentuk tubuhnya pasti bagus.
"Biarpun jabatannya lebih tinggi. Tapi menginginkan milik orang lain, merupakan hal yang tidak berakhlak." Kembali Heru menyindir, Bima yang berada di depannya. Lebih tepatnya memunggungi dirinya dan Soraya.
Tapi, sindiran Heru saat ini terasa tepat sasaran dalam diri Bima. Bagaikan tertusuk pedang tidak terlihat. Menghela napas, dirinya sudah menjaga jarak dengan baik dari Dira. Hanya membantu, sembari menjaga batasan.
Berusaha tenang, kemudian Bima berucap."Hargai apa yang kamu miliki. Jika itu lepas dari tanganmu. Maka akan ada orang yang memungut dan lebih menghargai nya."
Tepat saat Bima berucap, pintu lift terbuka. Hal yang membuat Heru kesal setengah mati, apa itu ancaman untuk merebut Soraya.
Sementara Soraya menelan ludahnya. Ternyata pak Bima benar-benar menyukainya. Jika saja tangan kanan bos besar itu, tidak impoten, mungkin dirinya lebih memilih Bima.
Astaga...
"Sayang, jangan terbujuk ya? Aku janji akan melakukan apapun untukmu." Heru mengecup bibir Soraya sekilas, mengamati keadaan sekitar, kembali menutup pintu lift melakukan ciuman panas. Sebelum pada akhirnya sampai di lantai tempat mereka bekerja.
***
Mengerjakan pekerjaannya dengan cepat, itulah yang dilakukan olehnya. Tepat pukul 5 sore maka pemuda itu bangkit.
"Mau kemana?" Tanya Oliver (CEO, sekaligus pemilik perusahaan) memincingkan matanya ke arah asistennya.
"Sudah jam 5, aku punya kehidupan. Aku juga harus pulang." Bima tersenyum karier.
"Berkencan?" Oliver mengangkat salah satu alisnya.
"Tidak! Aku baru saja membuka bisnis sampingan konveksi dan butik. Jadi---" Kalimat Bima disela.
"Jadi?" Oliver menyipitkan matanya.
"Iya! Aku membuka konveksi untuknya. Tapi itu karena aku menepati janji untuk membelikannya mesin jahit!" Teriak Bima, bagaikan Oliver dapat membaca pikirannya.
"Nepotisme..." Oliver menipiskan bibir, berusaha tidak tertawa.
"Iya! Aku nepotisme! Memangnya kenapa?" Tanya Bima, menatap sahabat sekaligus bosnya.
"Aku hanya memberi saran. Istri orang lebih menantang..." Oliver berucap penuh keseriusan.
Sedangkan Bima berusaha tersenyum benar-benar berusaha."Coba katakan itu pada pria-pria yang mengejar istrimu."
"Asisten br*ngsek." Oliver ikut tersenyum, menahan rasa kesalnya.
"Majikan laknat..." Bima juga tersenyum.
"Bima, kamu selalu membelaku, tidak pernah mengkhianatiku, cerdas dan kompeten. Karena itu, aku tetap menjadikanmu orang kepercayaanku. Ini hanya nasehat dariku, jangan terlalu---" Kalimat Oliver disela.
Bima kali ini tersenyum tulus padanya."Aku memang masih mencintainya. Tapi aku dapat menjaga batas, mengerti apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan."
"Terserah padamu saja. Tapi setelah pulang dari konveksi, jangan lupa pertemuan dengan Gilbert, juga evaluasi beberapa karyawan bermasalah. Aku tidak terlalu percaya pada HRD. Satu lagi, ada penyimpangan dana di HJ hotel milikku, bisa kamu menyelidikinya." Oliver tersenyum tengil.
"Gaji besar, tanggung jawab juga besar. Dasar bos setan!" Bima melangkah meninggalkan Oliver yang masih setia tersenyum. Bagaikan bosnya sudah terbiasa dengan umpatannya.
Teman ketika SMU, itulah mereka. Setelah bertahun-tahun tidak bertemu. Oliver yang mengulurkan tangan padanya, memberikan pekerjaan, karena mengetahui potensi Bima.
Tidak mudah mencari pekerjaan bagi S1 sekalipun. Dibutuhkan koneksi, dan juga pengalaman. Dapat dikatakan Oliver adalah salah satu orang yang paling berharga bagi Binara Mahendra.
***
Bekerja hingga pukul setengah 6 sore. Tapi jika terlalu banyak pemesanan seperti sekarang, mungkin akan ada lembur.
Menelan ludah, pemuda yang membawa beberapa paperbag dan tiga bungkus nasi padang.
Kala memasuki area butik, beberapa karyawan melirik tersipu, ingin mencari perhatian bos mereka. Tapi tidak, Bima masuk lebih dalam hingga menuju area konfeksi. Suara mesin jahit mulai terdengar. Kala menelusuri lorong, dirinya berpapasan dengan Viola.
"Bagaimana?" Tanya Bima menelan ludahnya.
"Dira... lumayan untuk pemula. Mengerti instruksiku, tegas, tapi secara bersamaan memiliki gagasan." Ucap Viola.
"Jadi?" Tanya Bima.
"Aku setuju menjadikan pacarmu sebagai muridku." Jawab Viola, membuat Bima tersenyum tapi hanya sesaat.
"Dia bukan pacarku. Dia sudah memiliki suami. Kami hanya kenalan lama." Bima menelan ludahnya.
"Oh...sudah punya suami. Bima... tidak baik---" Viola yang mengira Bima sudah membajak dan menanami ladang orang lain disela.
"Aku tau! Aku bahkan masih perjaka. Aku hanya melakukan ini untuk rasa terimakasihku. Dia (Dira) dulu sudah banyak berkorban untukku. Hanya janji mesin jahit. Aku ingin mewujudkannya." Pemuda yang menunduk, mengetahui perasaannya ini salah. Tapi tetap saja, bagaimana bisa Dira yang berharga baginya dibuang oleh Heru...
"Yah...kamu harus ingat, hanya boleh dekat dan menolong hingga mana. Jangan menarik perhatiannya, mengerti?" Ucap Viola pelan.
Kalimat yang mungkin akan ditarik oleh Viola beberapa bab lagi. Tapi... sudahlah...
"Mengerti." Bima kembali melangkah, membawa paperbag dan makanan.
Kala Bima masuk, suara ceria seorang anak terdengar beberapa saat kemudian."Terimakasih paman!"
Viola hanya dapat menghela napas, menatap dari pintu yang terbuka. Bagaimana Bima tengah menggambar menggunakan krayon dengan Pino. Bagaikan ayah dan anak?
Entahlah...tapi memang tidak ada yang salah dengan apa yang dilakukan Bima. Selama pemuda itu menjaga batasan.
***
"Bima! Jangan terlalu memanjakan Pino." Keluh Dira, kala Bima menyuapi sang anak.
"Aku ini impoten. Kapan lagi bisa mengurus anak seperti ini. Kenapa kamu iri? Merasa posisimu digantikan?" Tanya Bima sinis, masih menyuapi Pino yang begitu manis dimatanya.
"Ta...tapi---" Kalimat Dira disela.
"Kamu bisa mencetak anak lagi dengan suamimu kan? Lebih baik berikan Pino padaku. Kalian buat anak lagi. Katanya suamimu besar, kuat, perkasa tahan lama." Bima mengangkat salah satu alisnya.
"Kapan aku bilang begitu?" Tanya Dira tidak dapat berkata-kata.
"Oh! Berarti suamimu tidak tidak besar, kuat, perkasa dan tahan lama. Apa dia impoten?" Bima balik bertanya.
"Suamiku tidak impoten." Dira menahan rasa kesalnya.
"Kalau begitu gampang! Buat anak lagi, anak ini biar denganku saja." Usul Bima yang kini memangku Pino.
"Bima...." Geram Dira murka.
Sedangkan Bima hanya tertawa. Pino perlahan berbisik pada Bima."Paman, kenapa membuat ibu kesal?"
Bima berbisik di telinga Pino."Karena ibumu manis saat marah."
"Tidak! Ibu menyeramkan saat marah." Ucap Pino.
***
Sementara di tempat lain, Heru tengah mengemudikan mobilnya. Jemari tangannya menggenggam jemari tangan Soraya. Sesekali saling tersenyum. Hari ini Heru akan membawa Soraya pulang ke rumahnya.
aahhhh semoga terwujud yaa bayangan heru
👍🌹❤🙏😁🤣