Mereka bertemu dalam tujuan masing-masing. Seperti kata temannya dalam hubungan itu tidak ada perasaan yang dipertaruhkan hanya ada profesionalitas semata.
Bersama selama tujuh bulan sebagai pasangan suami-istri palsu adalah hal yang mudah pikir mereka. Tapi apakah benar takdir akan membiarkannya begitu saja?
"Maksudku. Kita tidak mudah akur bukan? kita sering bertengkar dan tidak cocok."
"Bernarkah? tapi aku merasa sebaliknya."
***
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Karangkuna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
6. Pesan Mengejutkan
Di teras belakang terlihat Baswara sedang duduk santai sambil membaca sebuah berkas yang di dalamnya tertera kontrak yang sudah ditandatangani oleh seorang kenalan dari sahabatnya yang ia yakini akan menjadi pasangan terbaik bagi ide gila yang anehnya berjalan mulus sejauh ini.
Setelah pengamatan yang dilakukan oleh sekertarisnya dan ada sebagian informasi yang diberikan Axel, dia sudah cukup mengenal wanita itu.
Dia bernama Kani Parmadita, berusia 30 tahun dengan sifat yang ceria juga pekerja keras karakter yang cocok bagi Baswara karena dia tidak suka dengan wanita yang manja dan tidak bisa apa-apa.
Kani hidup bersama neneknya yang sekarang kabarnya dirawat di nursing home karena penyakit demensia yang semakin memburuk.
Wanita itu jelas butuh uang untuk biaya perawatannya dan itu alasan utama dia menerima kontrak ini sementara ayahnya sudah pergi meninggalkan dia sendiri saat usia 5 tahun dan ibu yang meninggal saat melahirkannya.
Kani bekerja di sebuah toko perhiasan mewah, hanya punya satu orang teman dan menghabiskan sebagian waktunya dengan bekerja part-time atau hanya berdiam diri di rumah. Dan satu hal yang dia tau pasti bahwa wanita itu tidak dalam hubungan serius dengan siapapun, aman pikirnya.
Baswara tiba-tiba mengeluarkan sebuah kotak berwarna biru tua dari dalam laci perlahan di bukanya kotak itu dan terdapat sepasang cincin berwarna silver. Dia kembali mengingat kejadian kemarin siang saat ia berniat mencari cincin untuk pernikahan kontraknya, untung Axel sudah memberitahunya nama toko tempat Kani bekerja.
Awalnya dia ragu untuk datang ketempat itu tapi sisi hatinya yang lain penasaran dan dia pun membawa mobilnya menuju tempat itu.
Tampak dari luar keadaan di dalam yang sepi dan samar terlihat hanya dua orang karyawan wanita di sana salah satunya pasti wanita itu pikirnya.
Baswara turun dari mobilnya dan berjalan penuh percaya diri membuka pintu toko perhiasan itu dengan perlahan.
"Selamat datang di Lorraine, ada yang bisa kami bantu," sapa salah seorang wanita muda.
Baswara mengamati dengan seksama dua orang wanita di depannya yang juga tampak tertarik dengan kedatangannya, sampai dia menemukan sebuah papan nama yang terletak di salah satu baju karyawan toko itu 'Kani' sontak Baswara langsung mengalihkan pandangan ke wajah wanita itu, tenang mungkin kata yang tepat menggambarkan penampilannya.
Sesaat Baswara tertegun memandangi Kani dan kemudian dengan cepat mengendalikan dirinya sembari melihat-lihat sekilas perhiasan seperti kalung dan cincin yang terpampang di etalase.
***
Suara derap kaki kuda memenuhi lapangan yang berukuran sedang itu. Tampak beberapa orang sedang berkuda dan lainnya menikmati teh mereka dari teras yang menjorok ke arah lapangan.
Cahaya matahari pagi menerobos celah-celah dinding kayu, menciptakan bayangan yang bergerak lembut seiring angin yang berhembus. Suara derap lembut kuku kuda di lantai tanah, disertai dengusan napas mereka, menambah suasana hidup di tempat itu.
Beberapa kuda terlihat sedang mengunyah jerami dengan tenang. Sementara yang lain berdiri gagah, sesekali menghentakkan kaki atau mengibaskan ekor untuk mengusir lalat. Di sudut, beberapa perawat kuda sibuk menyisir bulu mereka, berbicara pelan dengan nada penuh kasih, menciptakan hubungan akrab antara manusia dan hewan.
Baswara mengunjungi istal kuda milik mertua kakaknya di daerah Tambak Ruban bukan untuk berlatih kuda tapi untuk bertemu dengan sang kakak yang menurut Jona sekertarisnya ada hal penting yang harus ia dengarkan secara langsung.
Dira kakak perempuan yang mirip sekali dengan ibunya tapi tidak mewarisi sikap sabarnya. Kakaknya tipe orang yang penuh aura intimidasi dan mampu mengendalikan orang-orang disekelilingnya kecuali Baswara, hanya sang ibu yang mampu membuatnya tunduk. Dira berada di istal sedang memberi makan beberapa kuda di sana.
"Kita tidak akan bicara di sini kan? Sumpah ini bau kuda," ucap Baswara sembari menghampiri salah satu kuda yang menjadi favoritnya di situ.
"Jelas ini kandang kuda bukan kebun bunga tidak mungkin harum kan." Dira menghampiri Baswara yang sedang mengelus kuda hitam nan gagah di depannya.
Baswara tidak bisa naik kuda tapi sejak pertama kali dia menginjakkan kakinya di istal itu perhatiannya tertuju pada kuda jantan hitam yang bernama Storm, saking sayangnya Baswara pada kuda itu dia berpesan bahwa tidak boleh ada orang yang menaikinya bahkan ketika keponakan kecilnya meminta untuk naik kuda itu pun Baswara menolak dan malah menghadiahkannya seekor kuda poni.
"Kudengar kau sudah menemukan calon adik iparku. Siapa namanya?" tanya Dira basa-basi dibalas dengan lirikan tajam dari Baswara.
"Anak itu memang tidak bisa dipercaya," ucapnya merujuk pada sekertarisnya yang menjadi pusat informasi sang kakak.
"Katanya dia teman kuliahmu ya? Kenapa kau tidak cerita apa-apa denganku tentang ini. Aku bahkan tidak tau kau sudah melupakan orang itu. Dasar anak nakal!" ucap Dira sambil memukul pelan pundak Baswara yang terlihat bingung dengan apa yang baru di dengarnya, terasa ada yang janggal.
"Aku penasaran Jona cerita apa saja padamu." Dira tampak tertarik pada sesuatu hal, biasa firasatnya selalu benar.
"Apa ada sesuatu hal yang tidak kuketahui?". Baswara buru-buru mengalihkan perhatian kakaknya kehadapan Storm yang mulai menyundul bahunya sembari berucap.
"Tidak ada yang bisa kusembunyikan darimu. Lagipula kau harusnya berhenti mengurusiku, tolonglah aku juga punya privasi." dari luar Baswara mendengar tawa yang familiar datang dari keponakan kecilnya yang berumur 4 tahun.
Baswara pun bergegas berjalan meninggalkan istal namun tiba-tiba langkahnya terhenti karena apa yang baru saja kakaknya katakan, "Bas, ibu mengundang kita semua makan malam bersama. Dia bilang bawa calon istrimu."
***
Lampu-lampu jalanan memantul di atas genangan air, menciptakan suasana yang tenang namun penuh dengan kesan melankolis. Dengan tas kerja menggantung di bahu, Kani melangkah masuk ke sebuah restoran kecil di sudut kota.
Restoran itu hangat dan nyaman, bergaya retro, dengan seluruh perabotan terbuat dari kayu dan lampu kuning yang temaram tergantung di atas. Ia memilih meja di dekat jendela, tempat ia bisa melihat suasana di luar sambil menunggu.
Kani memandangi menu di hadapannya itu dengan seksama. Sore itu sepulang kerja ia berjanji akan makan bersama dengan sahabatnya Chika. Semua menu terlihat menggugah selera namun dia tak terlalu lapar, maka dipilihnya cemilan bola-bola kentang yang berisi keju di dalamnya.
Sementara Chika belum datang, Kani memainkan ponselnya. Dia menatap ponselnya dengan alis terangkat tinggi.
Sebuah pesan masuk dari nomor yang baru ia simpan kemarin. Pesan itu singkat, tapi sukses membuat jantungnya berdegup kencang.
"Makan malam dengan keluargaku, lusa. Pukul 19.00. Seseorang akan menjemputmu."
— Kawan Serumah
Kani membaca ulang pesan itu, memastikan ia tidak salah paham. Makan malam bersama keluarganya? Itu tidak pernah disebutkan dalam kontrak mereka. Kani tidak mengerti.