"The Regret of My Seven Older Brothers"
Di balik kehidupan mewah dan kebahagiaan yang tampak sempurna, delapan bersaudara hidup dalam kesejahteraan yang diidamkan banyak orang.
Namun, semuanya berubah ketika kecelakaan tragis merenggut nyawa sang ayah, sementara sang ibu menghilang tanpa jejak.
Si bungsu, Lee Yoora, menjadi sasaran kemarahan dan penilaian keliru ketujuh kakaknya, yang menyalahkannya atas kehilangan yang menghancurkan keluarga mereka.
Terjebak dalam perlakuan tidak adil dan kekejaman sehari-hari, Yoora menghadapi penderitaan yang mendalam, di mana harapan dan kesedihan bersaing.
Saat penyesalan akhirnya datang menghampiri ketujuh kakaknya, mereka terpaksa menghadapi kenyataan pahit tentang masa lalu mereka. Namun, apakah penyesalan itu cukup untuk memperbaiki kerusakan yang telah terjadi?.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BYNK, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 14: Seperti Anak Kecil
“Jihwan…” panggil Namjin dari lantai bawah, suaranya terdengar tegas namun lembut, memecah keheningan rumah. Si pemilik nama segera keluar dari kamar, langkahnya terdengar cepat menuruni tangga. Tanpa banyak bicara, dia langsung menghampiri sang kakak yang tengah duduk santai di ruang tamu.
“Nee, Hyung?” jawab Jihwan seraya duduk di sebelah Namjin, sedikit bersandar di sofa. Matanya sesekali melirik jam dinding, waktu yang terus berjalan mengingatkannya pada rencana keberangkatannya nanti malam.
“Kapan kamu berangkat?” tanya Namjin lagi, kali ini pandangannya lurus ke arah adiknya.
“Malam, sekitar jam delapan. Aku menunggu manajer-nim,” jawab Jihwan. Tatapannya terlihat fokus, namun kali ini bukan pada Namjin, melainkan pada Taehwan yang duduk di sisi kanan Namjin dengan laptop terbuka di pangkuannya. Jihwan bisa melihat Taehwan sedang asyik mengetik, tanpa memedulikan obrolan mereka.
“Nanti malam mau Hyung antarkan ke bandara?” Namjin menawarkan, senyum tipis di wajahnya seolah mengisyaratkan bahwa dia siap untuk membantu, meski tahu adiknya bisa pergi sendiri.
“Hyung, aku sudah dewasa,” ujar Jihwan, suaranya setengah cemberut, disertai bibir yang sedikit manyun. Jelas terlihat dia merasa tawaran itu sedikit berlebihan.
“Kan siapa tahu,” sahut Namjin sambil terkekeh pelan, mencoba mencairkan suasana yang sedikit serius.
Di tengah percakapan mereka, Taehwan yang dari tadi diam saja tiba-tiba menyelipkan komentar tanpa menoleh.
“Padahal dia yang selalu cari perhatian,” Ucapannya terdengar datar namun jelas ditujukan kepada Jihwan. Pandangannya masih terpaku pada layar laptop, jari-jarinya terus mengetik cepat.
Jihwan yang mendengar komentar itu langsung merasa darahnya mendidih. Kekesalan yang sebelumnya belum juga reda kini bertambah. Matanya melotot ke arah Taehwan, bibirnya menekan keras menahan emosi. Dia menahan diri untuk tidak membalas dengan kalimat tajam, tetapi wajahnya jelas menunjukkan ketidaksukaan. Taehwan, yang tampak tak peduli, tetap fokus pada laptopnya seolah tidak terjadi apa-apa.
“Apa kau bilang? Kau iri padaku?” Jihwan menyeringai, nada bicaranya penuh ejekan.
“Untuk apa aku iri padamu?,” sahut Taehwan datar, tatapannya masih tertuju pada laptop yang ada di pangkuannya, seolah tak peduli dengan provokasi kakaknya. Jari-jarinya terus mengetik cepat, namun terlihat sedikit kaku, menandakan bahwa emosinya mulai terusik.
“Halah, kenyataannya memang begitu, kan? Aku lebih disayang oleh Seon Hyung, Haesung Hyung, Namjin Hyung, dan Yongki Hyung. Sementara kau? Ditelantarkan!” Jihwan sengaja melontarkan kata-kata tajamnya, wajahnya menunjukkan ekspresi puas seolah dia sudah memenangkan perdebatan itu.
“Aku mandiri, tidak seperti dirimu yang manja.” Taehwan akhirnya merespons, suaranya mulai meninggi, emosinya jelas semakin terpancing. Namun, dia tetap berpura-pura tak terlalu memedulikan Jihwan, pandangannya masih terfokus pada layar laptop, berusaha mempertahankan ketenangannya.
“Kamu tahu? Mommy bilang kamu anak pungut,” kata Jihwan lagi, kali ini dengan nada penuh provokasi, mencoba menusuk lebih dalam.
“Seharusnya anak pungut itu dirimu. Lihatlah, semua saudaramu tampan dan tinggi, sedangkan kau? Taehwan tertawa pelan, tetapi kali ini dia sedikit mengalihkan tatapannya dari laptop, matanya berkedip menahan tawa “Pendek dan…, dia tertawa lagi, kali ini sedikit lebih keras, melanjutkan ejekannya “jelek.” lanjut nya lagi .
“YAkkkkkkkkkk! ” teriak Jihwan, suaranya lantang, penuh amarah. Wajahnya memerah seketika, jelas terlihat bahwa ejekan tentang penampilan fisiknya membuat darahnya mendidih.
“Percaya diri itu penting, Hyung, kata Taehwan sambil menahan tawa, Tapi sadar diri itu jauh lebih penting, kan, Namjin Hyung?” Taehwan berbalik, meminta dukungan dari Namjin, kakak tertua mereka yang duduk diam di antara keduanya.
“Lee Taehwan!” Jihwan berteriak lagi, kali ini suaranya terdengar semakin tinggi dan gemetar. Dia benar-benar tidak terima kalau soal tinggi badan selalu menjadi bahan lelucon.
Namjin yang mendengar kedua adiknya berdebat dari kanan dan kiri hanya bisa memijat pelipisnya, mencoba meredakan rasa pusing yang tiba-tiba menyerangnya.
“Sudahlah, kalian ini. Apa tidak malu? Kalian sudah dewasa, tapi masih saja bertengkar seperti anak kecil,” ucap Namjin, suaranya terdengar lelah. Seringkali, Jihwan dan Taehwan yang biasanya tenang, justru bertingkah lebih manja daripada Jungsoo ketika mereka sedang bertengkar.
“Aku tidak akan melepaskanmu, Taehwan!” Jihwan meledak, bangkit dari sofa dan langsung mengejar adiknya. Taehwan yang melihat Jihwan bangkit spontan langsung melompat dari sofa dan berlari menghindar, seolah lupa bahwa dia punya pekerjaan yang harus diselesaikan.
Suasana di mansion besar itu tiba-tiba berubah kacau. Jihwan terus mengejar Taehwan ke sana kemari, sementara Taehwan dengan gesit menghindari setiap usaha kakaknya untuk menangkapnya.
“Yakk! Berhenti kau, Taehwan!” teriak Jihwan lagi, suaranya menggema di seluruh mansion. Namjin yang melihat kekacauan itu hanya bisa menggelengkan kepala, antara bingung dan geli melihat tingkah kedua adiknya yang berlarian seperti anak kecil.
Cukup lama keduanya saling kejar-kejaran ke sana kemari, namun Jihwan sepertinya belum berhasil menangkap Taehwan. Sementara itu, Namjin yang sejak tadi hanya diam memperhatikan, tiba-tiba didatangi oleh Yongki yang tampaknya baru saja bangun tidur.
"Ada apa lagi dengan mereka?" tanya Yongki yang baru saja turun dari kamar sambil menatap Namjin yang sedang asyik bermain ponselnya, namun sesekali mengawasi kedua adiknya yang masih kejar-kejaran di ruang tamu.
"Biasa, Hyung. Apa lagi kalau bukan hal yang sama seperti sebelumnya," jawab Namjin dengan tenang, tanpa sedikit pun mengalihkan pandangan dari layar ponselnya.
Yongki mendesah, matanya mengikuti pergerakan Jihwan dan Taehwan yang berlarian ke sana kemari.
"Aish... mereka itu..." gumamnya. Semua orang di rumah sudah paham dengan kebiasaan Jihwan dan Taehwan yang sering ribut, meski hal tersebut sebenarnya adalah bukti dari kedekatan mereka. Sebagai saudara, apalagi adik-kakak, ejek-mengejek bukanlah hal yang aneh.
"Biarkan saja, Hyung. Nanti juga mereka capek sendiri," ujar Namjin sembari tersenyum tipis.
"Dari tadi mereka begini?" tanya Yongki lagi, sambil menghela napas panjang.
"Sudah sekitar lima menitan, Jihwan tak akan berhenti sebelum Taehwan tertangkap. Itu sudah biasa, kan?" jawab Namjin santai.
" Ada apa dengan mereka, tidak pernah sadar akan usia nya " Yongki menggelengkan kepala, meskipun dia sedikit tersenyum melihat tingkah kedua adiknya.
"Tumben sekali kau masih di rumah?" tanya Namjin, sedikit heran melihat kakaknya yang biasanya sangat sibuk itu masih bersantai di rumah.
"Pekerjaan sudah selesai. Sekarang waktunya istirahat," jawab Yongki dengan nada santai, melemparkan tubuhnya ke sofa di samping Namjin.
" Hehe.. ternyata Hyung bisa istirahat juga " ujar Namjin menggoda sang kakak.
" Aku juga manusia, bukan robot " ujar Yongki Tanpa menoleh sedikitpun pada Namjin , dia terlihat acuh.
" Motto hidup kamu kan 'lebih baik mati daripada hidup tapi tidak bekerja' , jadi seharusnya Hyung jangan bersantai " ujar Namjin kembali menggoda.
" You want me to die of exhaustion? " Ujar Yongki mendelik tajam kearah adiknya.
" Hehe.. I just remind you of your life motto , apa salah ku " ujar Namjin.
" Kau juga sama , bisa-bisanya maling teriak maling " jawab Yongki yang membuat Namjin kehabisan kata-kata mendengar penuturan sang kakak .
"Hyung, bisakah kau buatkan lagu tentang keluarga kita?" tanya Namjin tiba-tiba, menoleh pada Yongki dengan tatapan serius.
"Untuk apa?" Yongki mengernyitkan dahi.
"Tidak ada alasan khusus. Aku hanya berpikir, akan bagus jika keluarga kita memiliki sebuah lagu yang dapat diingat orang lain." Namjin mencoba menjelaskan sambil memainkan ujung jarinya di atas meja, seakan sedang merangkai ide.
"Ide yang tidak buruk... Lagi pula, kita punya tiga orang yang pandai bernyanyi di sini. Tapi, kenapa tiba-tiba kau berpikir seperti itu?" Ujar Yongki setelah terdiam sejenak, memikirkan ucapan adiknya.
"Entahlah... hanya saja aku rasa itu akan bagus," jawab Namjin sembari mengangkat bahu.
"Aku akan coba kerjakan jika sempat," tutur Yongki akhirnya, meski dia tidak sepenuhnya yakin kapan akan sempat mengerjakannya.
"Harus, Hyung!" Namjin menekankan, kali ini terdengar sedikit lebih serius.
"Kau terdengar memaksa. Bukankah kau harus membayar ku jika aku jadi melakukannya?" Yongki tertawa kecil.
"Aku akan membayar mu, Hyung, dengan makan malam!" Ujar Namjin di sertai candanya, setengah serius. Tiba-tiba, suara Jihwan kembali menggelegar di seluruh ruangan.
"Yakkkkk... Taehwan! Berhenti, atau tidak aku kejar kau sampai ujung dunia!" teriak Jihwan sambil terus berlari mengejar adiknya yang lincah.
Namjin dan Yongki hanya bisa saling bertukar pandang, menghela napas panjang. Kedua adik mereka benar-benar membuat rumah besar itu terasa kecil dengan kegaduhan mereka.
"Apakah mereka tidak lelah berlarian ke sana kemari?" tanya Yongki, masih mengikuti gerakan Jihwan dan Taehwan yang terus berlari dengan penuh semangat.
"Sudah kukatakan, mereka tidak akan berhenti sampai mendapatkan apa yang mereka mau," jawab Namjin, mengerutkan kening sambil mengawasi arah pandang sang kakak.
"Ouh iya, di mana Jungsoo? Aku tidak melihatnya sejak tadi pagi?" tanya Yongki lagi, suaranya mengandung rasa penasaran.
"Jungsoo ikut dengan Seon Hyung dan Hae Hyung. Mereka membeli beberapa keperluan rumah," ujar Namjin.
"Kenapa tidak menyuruh si Yoora biasanya juga begitu? Dan kemana anak itu? Apa dia masih tidur?" tanya Yongki, nada bicaranya tiba-tiba terkesan dingin.
"Hyung..." lirih Namjin, yang langsung mendapat tatapan tajam dari Yongki.
"Apa? Benar dia masih tidur?" tanya Yongki, suaranya mulai meninggi.
"Tidak... Dia ada di kamarnya. Hyung, mereka pergi karena sekalian mengajak Jungsoo jalan-jalan," jawab Namjin dengan cepat, tanpa tahu sebenarnya yoora tidak ada di rumah.
"Eohh... Syukurlah. Aku kira anak itu malas-malasan," ujar Yongki, pandangannya teralihkan pada Jihwan yang datang sembari menyeret langkah Taehwan yang ngos-ngosan.
"Amphhh, Hyung... akhhh sakittt..." rengek Taehwan dengan napas ngos-ngosan, bagaimana tidak, kedua pria itu terus saling mengejar selama itu.
"Aku bilang jangan ganggu aku!" teriak Jihwan, wajahnya menunjukkan tanda kekesalan, meskipun dia juga tersenyum.
"Ya, ya, cukup, kau sudah menangkap ku. Berhenti teriak, Hyung kau tau gendang telinga ku hampir pecah !" balas Taehwan, masih terengah-engah, berusaha untuk menenangkan Jihwan.
"Sudah puas lari-larian seperti itu?" tanya Yongki sambil mengangkat alis, menatap keduanya yang masih ngos-ngosan. Namjin yang peka terhadap keadaan adiknya itu langsung berdiri dan berkata.
"Tunggu di sini, aku ambilkan handuk dan air minum untuk kalian," kata Namjin sebelum berlalu ke dapur dengan langkah cepat.
Tak lama kemudian, Namjin kembali dengan handuk dan gelas berisi air minum, memberikan gelas itu kepada kedua adiknya yang masih tampak ngos-ngosan.
"Bagaimana jika sesak napas mu kambuh lagi, Tae? . Aishh.. Selalu saja membuat khawatir," ucap Namjin sambil membantu menyeka keringat di dahi sang adik.
"Dia yang terus mengejar k... Akhhhhhhhhhhh!" teriak Taehwan saat Jihwan menarik pergelangan tangannya dengan cukup kuat.
"Jangan cari perhatian! Kau yang memulai semuanya!" ujar Jihwan, nafasnya juga masih tersengal, tetapi dia enggan melepaskan tangan Taehwan, takut jika adiknya yang menyebalkan itu akan kembali lari.
"Sakit, tau!" keluh Taehwan, merasakan cengkeraman kuat di pergelangannya.
"Lemah," tutur Jihwan sambil memutar bola matanya, tampak bosan dengan reaksi adiknya.
"Sudah, sudah! Sana mandi. Dan kamu, Tae, bukankah kamu sedang memiliki pekerjaan?" tanya Namjin, melirik Yongki yang hanya diam memperhatikan mereka berdua dengan ekspresi penuh perhatian.
"Akhh iya, aku lupa..." ucap Taehwan, nafasnya masih memburu. Badannya yang putih bersih kini terlihat memerah, sama seperti Jihwan yang dari tadi berusaha mengatur deru nafasnya sendiri.
"Aku tidak akan membiarkanmu pergi," ujar Jihwan, tetap tak mau melepaskan adiknya itu.
"Hyung... Aku harus menyelesaikan pekerjaanku," jawab Taehwan, suaranya terdengar lemah karena kelelahan.
"Salah siapa kau berlarian seperti itu?" tutur Jihwan, suaranya kini mulai tenang.
"Kau mengejar ku, tentunya aku lari. Kau terlihat seperti monster kurcaci jika sedang mengamuk," balas Taehwan, menyeringai, membuat Jihwan memukulnya pelan di lengan.
"Apa kau bilang?" tanya Jihwan dengan nada kesal. Pria itu memang tidak suka jika siapapun meledek tinggi badannya.
"Aku hanya jujur, kenapa kau marah?" jawab Taehwan dengan ekspresi polos, seolah tidak ada yang salah.
"Kau belum jera juga, ya?" ujar Jihwan yang hendak memukul lengan sang adik lagi.
"Jihwan..." cegah Yongki, yang sedari tadi hanya diam memperhatikan kedua adiknya yang terus bergaduh tiada henti, sedikit kesal dengan tingkah mereka.
"Hyung..." tutur Jihwan setengah merengek, merasakan tekanan dari tatapan Yongki.
"Bisa gila aku setiap hari melihat tingkah kalian yang seperti ini. Sudahlah, jika memang kau pendek, terima kenyataan saja. Apa salahnya dengan orang yang pendek? Yang penting kan kita hidup," tutur Yongki, membuat Namjin terkekeh mendengar pernyataan kakaknya.
"Kalian semua sama saja. Padahal Hyung saja sama pendeknya dengan aku," ujar Jihwan, memutar bola matanya malas.
"Walaupun kita sama-sama pendek, tapi aku lebih tinggi beberapa senti darimu," ucap Yongki dengan nada mengolok.
"Menyebalkan!" dengus Jihwan, kesal mendengar penuturan sang kakak, yang sering berkata savage pada siapapun.
"Lepaskan adikmu. Biarkan dia mandi dan melakukan pekerjaannya," ujar Yongki lagi, berusaha menengahi.
"Dasar tidak adil! Sudah jelas-jelas dia yang tidak mau menghormati aku, masih saja Hyung bela!" tutup Jihwan, cemberut mendengar penuturan dari Yongki.
"Tae, lain kali tidak boleh seperti itu. Bersikaplah dewasa dan jangan pernah bercanda tentang fisik seseorang. Tidak pantas seseorang yang berpendidikan menjadikan kekurangan fisik seseorang sebagai bahan bercandaan. Apalagi tentang Jihwan, yang bagaimanapun adalah kakakmu sendiri, nee? " Ujar Namjin dengan lembut, mengusap surai hitam milik Taehwan, menunjukkan betapa sayangnya dia pada adik-adiknya.
( Catatan: Dalam konteks percakapan sehari-hari, "nee" (네) dalam bahasa Korea sering berarti "iya" atau sebagai ungkapan persetujuan. Penggunaan "nee" bisa bervariasi tergantung pada intonasi dan konteksnya jadi kata "nee" (네) bisa berbeda arti dalam beberapa keadaan. Tolong koreksi jika author salah).
"Aku minta maaf, Ji-hyung," tutur Taehwan akhirnya, wajahnya terlihat tulus.
Melihat Taehwan yang sudah meminta maaf secara tulus padanya, akhirnya Jihwan mau membiarkan adiknya itu pergi. Keduanya memang seringkali bertengkar kecil karena hal-hal yang sebenarnya tidak penting. Terkadang Seonho dan Yongki harus turun tangan untuk membuat Jihwan dan Taehwan kembali damai.
" Aku maafkan, awas saja jika kau mengulangi nya lagi " ujar jihwan yang bagaimana pun dia mengerti jika Taehwan harus segera menyelesaikan pekerjaan nya .
"Mungkin kita harus mengatur jadwal pertarungan kalian, biar tidak berlarut-larut seperti ini," Yongki berujar, berusaha mencairkan suasana.
"Jadi, kapan kita mulai? Aku siap!" Taehwan menanggapi dengan wajah ceria, semangatnya kembali membara.
"Jangan bercanda, Tae! Kita bukan gladiator," Jihwan menjawab sambil tertawa, suasana di antara mereka mulai membaik. Tawa Jihwan membuat Taehwan merasa lebih ringan, seolah masalah yang ada seketika lenyap.
Saat suasana mulai tenang, tiba-tiba datanglah tiga saudara mereka yang lain Seonho, Haesung, dan Jungsoo, membawa beberapa barang yang mereka bantu bawa oleh sopir mereka.
"Letakkan saja di sana," tutur Seonho sambil menunjuk meja di ruang makan, menunjukkan sikapnya yang tegas namun santai.
"Baik, Tuan," ujar sang sopir dengan hormat.
"Ada apa dengan kalian?" tanya Seonho, menatap keempat adiknya yang tengah berkumpul. Rasa ingin tahunya terpancar dari matanya yang tajam.
"Biasa, mereka ribut lagi," jawab Yongki sambil menggelengkan kepala, seolah sudah terbiasa dengan kebisingan tersebut.
"Apa yang kau beli, So-ah?" tanya Namjin pada sang adik yang baru datang dan langsung duduk di sampingnya.
"Tidak ada... Hanya membantu Hae Hyung memilih beberapa pakaian," tutur Jungsoo, pandangannya masih terfokus pada game di ponselnya. Suara notifikasi game sesekali membuatnya tersenyum, seolah ia terjebak dalam dunia lain.
"Eoh... Hyung kira kamu membeli sesuatu," kata Namjin lagi, sedikit mengecewakan.
"Namjin Hyung, apa Hyung bisa mengajakku ke acara seni lain kali?" tanya Jungsoo, tiba-tiba saja. Suaranya terdengar antusias, tapi juga ada sedikit keraguan di sana.
"Tiba-tiba?" Namjin membalas, terkejut dengan permintaan adiknya.
"Aku penasaran, mungkin aku bisa mempelajarinya untuk materi skripsiku," tutur Jungsoo, menjelaskan alasannya dengan penuh semangat. Dia ingin menggabungkan hobi dan akademiknya.
"Lain kali..." ujar Namjin sambil mengangguk, menyanggupi permintaan Jungsoo. Rasa bersyukur menghampiri Namjin karena adiknya tertarik pada seni.
"Serius?" tanya Jungsoo, matanya melirik ke arah Namjin, masih ragu dengan jawaban itu. Ia ingin memastikan jika Namjin benar-benar akan menepati janjinya.
Namjin hanya mengangguk, mengiyakan ucapan adiknya. Lalu, ia kembali menatap Jihwan dan Taehwan yang terlihat kelelahan, namun sudah berhasil mengatur napasnya.
"Cepat mandi dan selesaikan pekerjaanmu," tutur Namjin, mengingatkan mereka. Taehwan mengangguk dengan patuh, pria tampan itu langsung bangkit dari tempat duduknya dan berlalu menuju kamarnya.
"Hyung tidak membelikan apapun untukku?" tanya Jihwan pada Haesung, yang terlihat sibuk dengan ponselnya, tampak terfokus pada layar.
"Beli..." jawab Haesung singkat tanpa mengalihkan pandangannya, suara yang keluar dari bibirnya terdengar santai.
"Apa?" tanya Jihwan penasaran, matanya berbinar-binar ingin tahu.
"Lihat sendiri, ada di meja itu," ujar Haesung, tetap fokus pada ponselnya, tampak tak terganggu oleh keributan di sekelilingnya.
"Yang mana?" tanya Jihwan lagi, semakin tidak sabar.
"Paperbag warna hitam," tutur Seonho, menunjuk dengan nada yang lebih jelas.
Jihwan segera mengambil paperbag yang dimaksud oleh Seonho. Ketika dia membuka paperbag tersebut, wajahnya langsung sumringah. Di dalamnya terdapat sebuah hoodie berwarna biru yang sudah sejak lama Jihwan inginkan, namun belum sempat ia beli karena kesibukannya yang terkadang membuatnya melupakan banyak hal.
"Wow, ini bagus sekali!" seru Jihwan, matanya bersinar cerah saat ia mengangkat hoodie itu dengan bangga.
"Hyung beli ini untukku?" tanya Jihwan tak percaya, bibirnya melengkung dalam senyuman lebar. Haesung mengangguk-anggukkan kepalanya, pertanda dia mengiyakan ucapan adiknya itu.
"Hae Hyung yang terbaik!" ujar Jihwan, langsung memeluk sang kakak. Entah mengapa, dia merasa senang dengan perhatian itu. Bukan berarti dia tidak mampu membelinya sendiri, uang yang dia hasilkan dari pekerjaannya sebagai penyanyi seriosa terkenal tidak membuatnya hidup mandiri. Dia lebih suka bermanja-manja pada semua kakaknya, sama halnya dengan Jungsoo dan Taehwan, yang selalu berebut untuk dimanjakan Jihwan.
"Kamu pergi kapan?" tanya Seonho sambil menatap sang adik yang masih memeluk Haesung, yang tetap fokus pada ponselnya. Posisi duduknya kini sudah menyesuaikan diri dengan Jihwan yang memeluknya.
"Malam," jawab Jihwan, asik memperhatikan apa yang sedang Haesung lakukan.
"Berangkat dengan manajer mu?," tanya Seonho lagi, memastikan segalanya sudah diatur.
"Emm..." gumam Jihwan, seolah tak memperdulikan Seonho karena terlalu fokus pada Haesung.
"JIHWAN-SSI!! Kalau Hyung sedang bicara padamu, lihat ke sini. Tidak sopan!" tutup Seonho dengan nada tegas, yang langsung diikuti oleh Jihwan.
"Mi'an, Hyung..." tuturnya pelan sambil menunduk, merasa sedikit bersalah.
( Catatan: Kata "mian" (미안) atau "mianhae" (미안해) dalam bahasa Korea berarti "maaf" atau "saya minta maaf", Mian: Merupakan bentuk singkat dan lebih informal dari "mianhae," biasanya digunakan di antara teman dekat atau dalam situasi yang santai sedangkan, Mianhae: Merupakan bentuk yang lebih lengkap dan sedikit lebih sopan. Ini juga digunakan dalam konteks yang lebih umum, meskipun tetap bersifat informal. Dalam konteks yang lebih formal, orang akan menggunakan "mianhamnida" (미안합니다) untuk menunjukkan rasa hormat yang lebih tinggi. Tolong koreksi jika author salah) .
"Sudah dipersiapkan semuanya?" tanya Seonho lagi, mengabaikan permintaan maaf Jihwan.
"Namjin Hyung yang membantu aku," ujar Jihwan, kini dia berbicara sambil menatap kakak tertuanya itu.
"Nanti malam, Hyung antarkan?" tanya Seonho menawarkan diri, sama seperti Namjin.
"Tak usah, aku pergi dengan manajer-nim," jawab Jihwan tegas.
"Hyung tidak mau mengajak ku," keluh Jungsoo.
"Ke mana?" tanya Jihwan penasaran.
"Konser," jawab Jungsoo dengan semangat.
"Eleh, nanti kau malah menyusahkan di sana," ujar Jihwan sambil memutar bola matanya malas. Dia teringat saat dia pernah mengajak Jungsoo dan Yongki saat konser pertamanya di luar negeri, namun Jungsoo malah mengacau dan merengek minta kembali ke Korea lagi. Untungnya ada Yongki yang bisa menenangkan adiknya itu.
"Itu dulu!" tukas Jungsoo sambil terkekeh, seolah tidak mau kalah.
"Oh iya, Hyung, bagaimana jika kita membuat sebuah lagu?" tanya Yongki yang menyela pembicaraan dengan antusias.
"Lagu... untuk apa?" tanya Seonho, penasaran.
"Namjin bilang untuk kenangan bersama saja. Dia meminta aku untuk menulisnya," jawab Yongki, matanya berbinar penuh semangat.
"Tiba-tiba?" tanya Seonho sambil melirik ke arah Namjin, yang sedang fokus dengan ponsel di tangannya. Meskipun Jungsoo terus bergelayut padanya, Namjin tampak tak terganggu dengan aktivitasnya, yang memang suka membaca.
"Namjin...." tuturnya berusaha mengalihkan perhatian Namjin.
"Aku hanya ingin kita punya kenangan indah bersama untuk dilihat di masa depan. Lagipula kalian kan pandai bernyanyi," tutur Namjin, sembari menatap sang kakak .
"Tidak.. maksudku kenapa tiba-tiba sekali?" tanya Seonho penasaran dengan permintaan Namjin yang mendadak.
"Ya... seperti yang Yongki Hyung bilang, aku ingin punya kenangan indah bersama kalian. Lagipula dunia ini terus berjalan maju tanpa henti, tidak ada salahnya menciptakan sesuatu yang indah di tengah roda kehidupan yang terus berputar," tutur Namjin.
"Menarik.. Hyung setuju, kau buatlah, Yongki," tuturnya yang di angguki oleh Yongki.
"Aku yang akan menyanyikannya, kan, Hyung?" ucap Jungsoo.
"Lakukanlah apapun yang kamu mau," ujar Seonho, yang membuat Jungsoo tersenyum. Keharmonisan keluarga begitu terasa di antara mereka, seolah kehidupan mereka begitu sempurna tanpa adanya cacat yang diceritakan banyak orang.