Wanita introvert itu akhirnya berani jatuh cinta, namun takut terlalu jauh dan memilih untuk berdiam, berdamai bahwa pada akhirnya semuanya bukan berakhir harus memiliki. cukup sekedar menganggumi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NRmala, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Keputusan akhir dari Luka yang hadir
"Boleh. Apa itu bro?" Tanya Arya balik.
"Lu beneran gak suka sama Laura?" Tanya Emil lagi.
"Iya, Mil! Kenapa lu tanya begitu?" Arya menaikkan alis melihat ekspresi Emil yang serius.
"Semalam, gue lihat lu dan Laura berduaan di Halte dekat Masjid Agung. Kalian kayak dekat banget. Dan dia kelihatan nyaman sama lu." Kata Emil menjelaskan semua pertanyaan yang ada dibenaknya.
"Oh itu. Gue juga gak sengaja liat dia duduk sendirian sambil nangis. Makanya gue samperin deh. Takutnya, ada orang yang niat berbuat jahat sama dia." Jawab Arya.
"Beneran, lu gak ada rasa sama sekali?" Tanya Emil memastikan lagi.
"Gak ada! Serius! Gue tuh kalau ngeliat dia hanya kayak pengen lindungi, gak lebih! Gue sejujurnya malah......" Arya menghentikan ucapannya, membuat Emil penasaran.
"Apa?" Tanya Emil.
"Lu janji gak akan bilang siapa-siapa ya!" Kata Arya.
"Janjilah bro!" Jawab Emil tegas.
"Yang gue suka itu, Dinda. Sejujurnya, gue suka dia yang tampil apa adanya. Dia cantik dengan versi dia. Dia juga gak kalah alim dengan Laura. Ya walaupun, dia lebih sedikit cerewet sih. Dari awal, gue tuh tertarik banget sama dia. Tapi, gue juga malu makanya gue alihin perhatian gue ke Laura biar Dinda gak tau kalau dia yang gue suka. Takut ditolak sama dia!" Arya menjelaskan dengan suara yang awalnya menggebu-gebu hingga pelan.
Emil kaget melihat ekspresi Arya yang begitu serius menceritakan Dinda. Temannya itu ternyata menyukai sahabat Laura. Ia juga tertipu oleh perhatian dan pandangan Arya selama ini yang terpusat kepada Laura.
Ternyata, dunia ini penuh dengan enigma. Fatamorgana yang dibuat oleh mata dan pikiran kita sendiri. Padahal realita yang terjadi jauh di luar nalar.
"Lu tau kan, gue ini cuma anak panti! Gak pantes banget dapetin Dinda." Lanjut Arya menatap temannya sambil tersenyum tipis.
"Kok lu jadi insecure sih, bro! Menurut gue, lu cocok kok. Siapa tau dia juga suka sama lu kan?" Kata Emil meyakinkan.
"Gue ingat dia bilang, gak mungkin suka sama kita. Tapi ya, kan gak ada yang tau juga kan kalau jodoh." Kata Arya menyemangati dirinya sendiri dan tertawa.
Emil memukul kecil pundak Arya sembari ikut tertawa.
"Yaudahlah. Berarti peluang gue juga besar ternyata setelah tau lu gak suka sama Laura." Kata Emil.
"Udah ah. Ayo pulang." Kata Arya kemudian berdiri dan merangkul Emil untuk ikut bersamanya.
**********
Chandra hadir di antara rinai yang turun membasahi bentala. Membenarkan atma yang lara. Adakah asa yang akan memberi harsa yang amerta.
Harapan yang hirap, namun tatapan penuh renjana yang tidak dapat diungkapkan. Begitulah Laura menatap Mama dan Ayahnya yang kini duduk di depannya.
Wajah yang mulai berkerut serta lelah dari keduanya. Menggelitik seluruh tubuh Laura yang memandanginya.
"Apa tidak ada cara lain selain perpisahan?" Kata Laura mulai pembicaraan. Matanya masih sembab sendu. Namun, suaranya sudah mulai terkontrol dari fibrasi tubuhnya.
"Mama dan Ayah sebenarnya sudah lama memutuskan ini. Tapi, kami mencoba memberi jeda apakah masih bisa dilanjutkan atau tidak. Ternyata, inilah pilihan akhirnya, nak!" Kata Mamanya yang sedari tadi sudah meneteskan air matanya.
"Ayah tau, ini berat untuk kamu! Tapi, Ayah dan mama kamu gak bisa melanjutkannya lagi." Tambah Ayahnya.
"Aku gak tau apa yang menjadi alasan kalian memutuskan ini. Aku juga tidak mempunya hak apa-apa, karena kalian telah memutuskan ini tanpa bertanya kepadaku juga sebelumnya. Apapun yang sudah kalian putuskan aku akan terima." Suara Laura terdengar lirih.
"Laura mau ikut sama Mama ke Surabaya? Kamu masih boleh kok ketemu Ayah. Kamu boleh sesekali berkunjung ke kota Ayah nanti." Tanya Mamanya lembut.
"Gak, Ma! Aku mau di sini dulu. Aku udah kelas 12 kalau harus pindah rasanya sayang banget. Aku akan pindah ke tempat Mama setelah aku lulus nanti. Lagian juga di sini ada mba Ayem dan mba Ika yang temenin aku." Jawab Laura.
"Apapun yang menjadi masalah Mama dan Ayah, kamu tetap anak kami. Kamu tetap mutiara kami yang paling berharga." Ujar Ayahnya yang kemudian memeluk Laura yang sedari tadi duduk di hadapannya.
"Mama dan Ayahmu akan balik besok pagi, nak! Kami tidak bisa lama-lama karena menjelang akhir tahun. Kalau kamu ada apa-apa tolong info ke Mama dan Ayahmu." Mamanya pun ikut memeluk Laura.
Laura hanya tersenyum mengangguk namun hatinya berbisik, "Ku kira, setelah ini mereka akan lebih memperhatikan aku. Ternyata sama saja. Maafkan aku yang kini, lebih banyak mengeluh ,Ya Allah."
"Assalamualaikum... Lauraaa...La." Teriak Dinda terkejut saat membuka pintu rumah Laura.
Tadinya, ia sengaja berteriak agar sahabatnya itu sedikit terhibur dan menghilangkan raut murung yang dua hari ini menetap di wajah Laura.
Namun, yang ia dapati pemandangan tangis sebuah keluarga di sana. Dinda sadar, bahwa ia akan mengganggu suasana itu.
"Eh maaf. Aku gak tau ada Om dan Tante. Sebaiknya, aku pulang saja." Ujar Dinda dan mulai memutar badannya untuk kembali pulang. Namun tertahan.
"Eh, Dinda. Gak apa-apa. Kamu mau main sama Laura? Tante sama Om udah selesai ngomong sama Dinda kok." Kata Mamanya Laura sambil mengusap air matanya.
Ayah Laura hanya tersenyum ke arah Dinda dan mulai berjalan ke arah kamar tidurnya. Di ikuti dengan Mamanya Laura.
"Ayo, Din ke kamar aku!" Seru Laura.
Dinda mengikuti Laura. Mata Laura yang kering, tidak seperti Mamanya. Namun, sembab menutup mata mungil itu.
Setelah sampai di kamar Laura, Dinda pun bertanya. "Kamu udah gak apa-apa, Dinda?"
"Aku udah lumayan baik, Dinda. Makasih sudah mengkhawatirkan aku. Hmmm, aku boleh ngomong sama kamu?" Tanya Laura pelan.
Dinda yang mendengar itu kemudian duduk mendekat di samping Laura.
"Tentu boleh, Ra. Apapun yang bisa buat kamu nyaman. Walaupun, mungkin aku tidak bisa membantu sama sekali. Tapi setidaknya, kamu merasa lebih baik setelah cerita." Kata Dinda menggenggam tangan Laura.
Laura menatap Dinda tajam, namun sendu. Air matanya kembali menetes setelah berkata, "Mama dan Ayahku akan cerai."
Dinda hanya terdiam mengelus tangan Laura. Mentransfer segala kekuatan dan kebahagiaan yang ia punya untuk sahabatnya itu. Memberi ruang untuk tangis Laura. Ia tau, segala apa yang nanti akan dia ucapkan tidak membantu apapun selain memberikan semangat untuk sahabatnya.
Laura masih terus menangis. Tapi kali ini, tangisannya seperti mengeluarkan segala kepahitan di hatinya hingga begitu keras terdengar. Kehadiran Dinda sangat membantu dirinya untuk bisa menangis sepuasnya. Menghabiskan segala tenaganya yang tersisa. Agar bisa kembali bangkit besok
Bersambung...
Baguus yaa diksinya banyaak bangeet 😍