Kesempatan kembali ke masa lalu membuat Reina ingin mengubah masa depannya yang menyedihkan.
Banyak hal baru yang berubah, hingga membuatnya merasakan hal tak terduga.
Mampukah Reina lari dari kematiannya lagi atau takdir menyedihkan itu tetap akan terjadi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Redwhite, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Terbongkar
Meike dan Nessa sama-sama tersenyum tipis, sepertinya kedua wanita paruh baya itu memiliki senjata baru lagi untuk menghancurkan Reina.
Elke masuk bersama dengan Maira. Gadis itu menatap Reina dengan sendu.
Reina yang melihatnya menganggap jika tatapan Maira adalah tatapan prihatin.
"Sillakan duduk," pinta Hendro sopan setelah mereka saling bersalaman.
Elke duduk duduk sofa single dan Maira memilih berdiri di belakang bosnya itu.
Elke lantas meletakkan tas milik Reina di meja.
"Saya Elke, atasan Reina. Maaf jika kedatangan saya membuat bapak sekeluarga bingung. Saya datang ke rumah untuk mengantar tas Reina dan meminta pertanggung jawaban—"
"Dia yang memilih bekerja sendiri kenapa kamu meminta pertanggung jawabannya ke kami?" sela meike kesal.
Meike tak akan membiarkan sang suami membayar ganti rugi atas kesalahan Reina, meski anak itu anak kandung suaminya.
"Harusnya saya yang minta ganti rugi ke kamu, anak saya terluka!"
Elke terlihat tenang, lalu wanita itu menatap Elyana.
Pantas tubuh Reina sangat kurus, sepertinya dia sangat tertekan. Pikir Elke.
"Bukankah itu ulahnya sendiri?" ucap Elke tenang.
Meike bangkit berdiri karena murka. "Apa maksud kamu hah!"
"Saya datang ke sini untuk meminta tanggung jawab atas ulah nona Elyana Maladewi, seorang mahasiswi dari fakultas Mahakarya atas kecerobohannya yang sangat merugikan saya," jelas Elke.
"Tunggu, maksud Anda apa? Anda datang kemari bukan meminta tanggung jawab Reina yang juga merupakan karyawan Anda tapi pada Elyana yang merupakan korban?" sela Edwin heran.
"Siapa korban? Jelas dia ceroboh karena sikapnya dan justru merugikan karyawan serta usaha saya, makanya saya datang ke sini, setelah dari kampusnya!"
Semua orang menatap Elyana. Wajah gadis itu pucat pasi. Namun dalam hati dia berusaha tenang.
"A-apa maksud kamu? Jelas-jelas saya yang terluka, kenapa kamu malah nuduh aku? Kamu ngga ada bukti! Saya bisa laporkan kamu atas pencemaran nama baik!"
"Baik, lakukan saja. Saya bukan orang bodoh yang akan datang ke sini tanpa bukti, jadi kalau kamu mau melaporkan saya silakan, tapi saya akan tuntut balik kalian dengan pasal yang berlapis-lapis," ancam Elke.
"Tunggu, tolong jelaskan ada apa ini? Anda tiba-tiba datang dan meminta pertanggung jawaban, lalu kemudian menyalahkan anak saya, jelaskan apa maksud semua ini," sela Hendro bingung.
"Baik, saya tak akan banyak bicara."
Elke lantas mengeluarkan ponselnya dan meletakkannya di meja. Tak lupa wanita itu juga menekan pengeras suara agar semua orang di sana mendengarkan.
Semua melihat ke arah layar, di sana terlihat jelas kejadian di mana Elyana yang sedang memprovokasi Reina tapi tak mendapatkan sambutan dari gadis itu.
Reina memilih mengabaikannya dan hendak berbalik sebelum Elyana berusaha mencegah, tetapi tangannya menyenggol termos berisi cokelat panas.
Di sana juga terlihat jika Reina bahkan tak menyentuh sama sekali atau mendorong Elyana, gadis itu yang panik justru menjatuhkan dirinya sendiri.
Elyana jelas panik sekaligus terkejut saat melihat video yang merekam jelas kejadian kemarin.
Bukankah cctv di kampus tidak ada yang bisa menangkap kejadian kemarin, lalu siapa yang merekam ini, pikirnya.
Enggak ini ngga bisa dibiarkan, aku harus cari alasan.
"Bohong! Video itu pasti rekayasa!" pekik Elyana geram lalu mengambil ponsel Elke dan membantingnya dengan keras.
Elke tersenyum, dia bangga karena Maira telah memperkirakan kejadian ini akan terjadi.
Beruntung itu ponsel lamanya. Semua bukti itu sudah dia simpan dengan rapi. Bahkan sebelum ke rumah mereka, Elke sudah ke kampus bersama satu orang saksi kunci yang merekam kejadian itu.
Fakultas meminta maaf dan berjanji akan memperbaiki nama kafe Elke dan membayar ganti rugi.
Namun Elke berkata, orang yang harusnya mengganti kerugian adalah Elyana karena gadis itu telah sengaja membuat kekacauan dengan karyawan serta usahanya.
Apalagi pengakuan gadis itu yang berbohong dengan berkata jika dia jatuh karena ulah karyawannya.
"Wah akan bertambah lagi kerugian yang akan saya minta pada kalian. Merusak barang milik orang lain tentu bukan hal yang ringan. Apalagi sengaja ingin menghilangkan barang bukti."
Wajah Elyana kini berubah merah padam. Sedangkan Hendro terduduk lemas. Dia menyesal telah menghajar putrinya tadi malam. Kini penyesalan itu seakan menuntut pembalasan yang setimpal.
Hendro lantas menatap sang putri yang justru menatapnya datar.
"A-aku yakin itu semua rekayasa 'kan? Pasti video itu editan. Aku percaya sama anakku," elak Meike yang ikut panik.
Meski gugup, tapi ia tak mau menyerah. Ia tahu Elke bukan orang sembarangan yang bisa dia intimidasi.
Elke lantas bangkit berdiri. "Saya bukan orang bodoh yang mau saja di tipu oleh sebuah video. Sebelum ke sini saya sudah ke kampus dan video itu sudah diperiksa keasliannya begitu juga dengan keterangan sang perekam. Jadi kita akan bertemu di pengadilan—"
Edwin dan Nessa memilih diam. Edwin yang merasa bersalah lantas menatap kekasihnya sendu.
Dia merasa tertipu oleh sikap Elyana. Harusnya dia tak langsung menuduh Reina, harusnya sebagai kekasih dia mendengarkan penjelasannya.
Pantas saja Reina teguh menolak lamaran orang tuanya. Dia berjanji akan memperbaiki hubungan mereka lagi dan akan menjauhi Elyana.
Elyana sendiri sudah terisak sejak tadi. Malu dan marah bercampur menjadi satu.
Apalagi Elke membuka kedoknya di depan Nessa dan Edwin. Nama baiknya akan tercoreng karena video itu.
"Tunggu, apa tidak bisa kita bicarakan ini baik-baik?" bujuk Hendro.
Usahanya tengah mengalami krisis yang cukup buruk. Jika saat ini dia harus berurusan dengan pengadilan karena tuntutan atas kecerobohan Elyana, ia tak tahu lagi akan seburuk apa nama baiknya kelak.
Saat ini saja dia memilih absen karena tak sanggup menghadapi perrwakilan dari perusahaan Dewangga yang terus menuntut tanggung jawab atas kerugian mereka.
.
.
.
Lanjut