Cerita ini berputar di kehidupan sekitar Beatrice, seorang anggota keluarga kerajaan Kerajaan Alvion yang terlindung, yang telah diisolasi dari dunia luar sejak lahir. Sepanjang hidupnya yang terasing, ia tinggal di sebuah mansion, dibesarkan oleh seorang maid, dan tumbuh besar hanya dengan dua pelayan kembar yang setia, tanpa mengetahui apa pun tentang dunia di luar kehidupannya yang tersembunyi. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Beatrice akan melangkah ke dunia publik sebagai murid baru di Akademi bergengsi Kerajaan — pengalaman yang akan memperkenalkannya pada dunia yang belum pernah ia kenal sebelumnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Renten, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
【Three Maids and a Butler】 1
"Nah, Ed-boy... mau ke mana kau?" Bridget bersandar santai, nada bicaranya terdengar santai namun menyembunyikan ancaman dalam sikap tubuhnya.
"Ke lady-ku, tentu saja," jawab Edward tanpa ragu, suaranya mantap sambil membetulkan sarung tangannya.
"Seperti yang diduga, selalu soal lady-mu." Bibir Bridget tertarik ke dalam senyuman licik.
"Terus terang, bodoh rasanya kalau kupikir kau akan muncul di sini tanpa dia."
"Sekarang kau mengerti," kata Edward dengan seringai tipis.
"Kau akan membiarkanku pergi, kan?"
Bridget mengeluarkan tawa pelan, menggelengkan kepalanya perlahan.
"Tapi sepertinya kau masih belum paham kenapa aku berada di sini, menghalangi satu-satunya pintu keluar belakang dari gedung ini."
Edward menghela nafas, seringainya memudar, digantikan ekspresi kesal.
"Tidak, aku tahu persis kenapa kau di sini. Hanya saja aku tidak peduli soal masalah wanita pirang berambut mata bor itu."
Senyum Bridget langsung hilang, matanya menyipit dan suaranya berubah menjadi geraman.
"Berani menghina My Lady?!"
Sebelum Edward sempat bereaksi, Bridget menerjangnya, tangannya menyambar pergelangan kakinya bak cambuk. Cengkeramannya keras dan tak tergoyahkan, kekuatannya berpendar di udara.
Namun, Edward lebih cepat. Merasakan sedikit perubahan pada posisi Bridget, ia menjatuhkan tubuhnya tiba-tiba, berputar bagaikan pegas yang melingkar. Gerakan tak terduga itu memaksa pegangan Bridget mengendur sesaat—cukup lama bagi Edward untuk menendang botol whiskey yang tergeletak di sampingnya.
Botol itu berputar di udara dalam lengkungan sempurna menuju Ren, yang menangkapnya dengan gerakan mulus. Refleks tajam membuat tangkapan itu tampak mudah, meski dari ekspresinya terlihat ada sedikit rasa jengkel karena terseret ke dalam kekacauan ini.
Manuver itu memberi Edward kesempatan yang dibutuhkannya. Ia meloloskan diri dengan memutar tubuh, lalu melompat mundur, mendarat mulus di lantai di bawah tangga. Gerakan tiba-tiba itu menciptakan jarak cukup jauh antara dia dan Bridget.
"Sita saja, sobat," teriak Edward kepada Ren sambil menyeringai getir.
"Jangan kasih ke binatang ini lagi."
Ren menangkap kata-kata Edward dengan sedikit memiringkan kepala, mata hitamnya yang tajam menyipit saat ia melirik botol whiskey di tangannya. Ia tidak langsung menjawab, tapi kilatan kesal di ekspresinya sulit disembunyikan.
Bridget hampir tak melirik botol itu, fokusnya tertuju tajam pada Edward.
"Pintar," gumamnya, suaranya berbalut kesal. "Kalian berdua mencoba memecah perhatianku. Tapi aku tak peduli soal whiskey. Teman-temanku masih punya banyak."
Ren berdiri diam, menggenggam botol, alisnya terangkat sebelum menoleh kembali pada Bridget.
Bergerak secara reflex, Felicity menenggak botolnya. Ia menurunkannya dengan desahan puas, lalu mengeluarkan whisky flask kecil yang mengilap dari kantung bajunya. Sambil melirik sekilas memastikan tak ada yang terlalu memperhatikan, ia menuangkan sisa isi botol, menghabiskannya sampai tetes terakhir ke dalam whisky flask dan menutupnya dengan putaran cepat.
Menyelipkan whisky flask itu ke dalam kantung bajunya, Felicity menampakkan senyum ceria.
"Maaf, kawan," ujarnya, mengangkat bahu seakan tak peduli.
"Aku mau berbagi, tapi punyaku sudah habis."
Pada saat bersamaan, Cecilia—yang biasanya bersikap anggun—mengangkat botolnya ke bibir, tapi kali ini ia menenggaknya dengan tergesa, cairan di dalamnya bergejolak keras. Gerakannya panik, hampir putus asa, sangat bertolak belakang dengan gayanya yang biasa selalu tenang.
Begitu botolnya kosong, ia menurunkannya sambil terengah, pipinya memerah. Tanpa ragu, ia menyeka mulut dengan lengan baju panjangnya dalam gerakan yang tetap terlihat anggun, lalu memasang kembali ekspresi tenangnya seketika.
Ia menyatukan tangannya dengan gerakan halus, mengembuskan napas ringan seolah tak terjadi apa-apa.
"Oh, astaga, minuman yang nikmat," komentarnya dengan suara tenang dan elegan, seakan ia tak baru saja menenggak habis botol itu seperti pelaut kehausan.
"Kau bahkan tak sadar kalau sudah habis sampai semuanya terlambat."
Kepala Bridget menoleh cepat pada teman-temannya, kemarahan berkobar di matanya.
"Kenapa kalian tak berbagi denganku?!"
Cecilia membalas tajam, nada suaranya menuding.
"Jangan konyol. Kau sudah menghabiskan sebagian besar botol, sekarang kau mau jatah kami juga?"
"Benar," timpal Felicity santai, menunjuk Ren.
"Dan sekarang itu sisa terakhirnya. Di sana."
Tatapan Bridget beralih ke Ren, ekspresinya makin kelam saat ia mendekat dengan aura mengancam.
"Sekarang, bocah Cathay, jadilah anak baik dan serahkan itu." Ia mengulurkan tangan, telapak terbuka, dengan gerakan yang pura-puranya sopan.
"Jangan goyah, sobat. Pegang itu—kau sedang menjalankan tugas mulia dengan menyita minuman," kata Edward, menyeringai.
Ren mengangkat alis, menggenggam botol itu sedikit lebih erat.
"Perilaku seperti ini sama sekali tidak pantas untuk para pelayan yang mewakili tuan bangsawan," ujarnya, nada suaranya tenang tapi terselip kecaman tajam. Seolah mempertimbangkan apakah ia perlu menegur mereka lebih jauh atau cukup pergi. Sambil melirik botol itu, ia menambahkan,
"Aku akan menjauhkan ini dari kalian, nona-nona."
Mata Bridget beralih pada Ren, raut wajahnya mengeras, konsentrasinya terfokus padanya. Udara seolah menebal ketika ia melangkah maju, gerakannya pelan tapi sarat dengan ancaman.
Mata hitam Ren yang tajam beralih padanya, cengkeramannya pada botol mengencang sedikit. Ia bukan tipe yang gentar, tapi perubahan sikap Bridget dan beratnya niat yang ia bawa jelas menandakan bahaya yang sebaiknya dihindari.
Tanpa sepatah kata pun, sosok Ren seolah memudar di pandangan, seperti bayangan yang larut dalam cahaya. Saat langkah Bridget makin dekat, ia sudah lenyap, menyisakan ketenangan ganjil di tempatnya berdiri.
"Apa-apaan—" gumam Felicity dan Cecilia bersamaan, berkedip tak percaya melihat sosok ren hilang seperti sihir.
Edward mengerang keras, mengangkat kedua tangannya.
"Dasar brengsek! Rencananya kau yang pancing dia pergi, bukan kabur begitu saja!"