Bacin Haris seseorang mencari ibunya yang hilang di dunia lain yang disebut sebagai Black World. Dunia itu penuh dengan kengerian entitas yang sangat jahat dan berbahaya. Disana Bacin mengetahui bahwa dia adalah seorang Disgrace, orang hina yang memiliki kekuatan keabadian. Bagaimana Perjalanan Bacin didunia mengerikan ini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon GrayDarkness, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aku Tidak Hina
Zein berdiri dan menepuk pelan bahu Bacin. “Ingatlah, Bacin,” katanya, suaranya berat, “setiap kekuatan memiliki harga. Contohnya, kekuatan melihatku… ia mengambil satu mataku sebagai bayarannya. Kekuatan keabadianmu… ia mengambil umurmu. Dan karena kekuatan ini, Disgrace dianggap sebagai makhluk hina.”
Bacin mengerutkan dahi. “Aku tidak hina,” bantahnya, suaranya masih bergetar sedikit.
Zein mengangguk pelan. “Ya, kau tidak hina. Tapi kekuatanmu… itulah yang membuatmu berbeda. Itulah yang membuatmu seorang Disgrace.” Ia berhenti sejenak, mengamati reaksi Bacin. “Apakah manusia biasa bisa menjadi Disgrace? Bisa. Dengan cara tertentu. Misalnya, mendapatkan kekuatan dari dunia ini, dari suatu benda… atau apapun. Bahkan ada Disgrace yang sangat kuat, yang dapat menjadikan seseorang sebagai Disgrace. Dan ada… benda terkutuk yang membuat penggunanya menjadi seorang Disgrace sementara. Disebut juga sebagai benda keramat… tetapi dengan harga yang harus dibayar saat menggunakannya.” Zein menatap Bacin dengan tatapan yang sulit dibaca.
Zein tersenyum, senyum yang kali ini tampak lebih dingin dan penuh perhitungan. “Aku membutuhkan kekuatanmu, Bacin. Dan juga… koneksimu. Karena kau adalah seorang polisi di dunia utama.” Ia mengeluarkan sebuah foto usang dari sakunya, menyerahkannya pada Bacin. Foto itu memperlihatkan seorang lelaki tua berjanggut putih dan berambut putih panjang, wajahnya tampak tegas dan menyimpan aura misterius.
Bacin mengamati foto itu. Sebuah rasa senang tiba-tiba muncul di hatinya. Ini adalah kesempatan bagus, pikirnya. Promosi pasti menunggunya.
Namun, sebelum Bacin sempat bersuara, Zein sudah mendahului ucapannya. “Orang itu bernama Morgan el Anto,” kata Zein, suaranya datar, seolah-olah membaca pikiran Bacin. “Ia adalah pemimpin kultus aliran sesat… dan sangat berbahaya. Mereka… sangat kuat. Aku ingin kau menyelidikinya di dunia utama. Laporkan pada atasanmu. Biarkan kepolisian bekerja. Sekarang… kau kembalilah ke dunia utama. Aku yakin atasanmu sudah khawatir karena kau menghilang selama beberapa hari.”
Bacin mengangguk, memahami maksud Zein. Ia menyimpan foto itu dengan hati-hati. Tanpa banyak bicara, ia berbalik dan melangkah keluar dari ruangan, meninggalkan Zein sendirian dalam kegelapan yang mencekam dunia antara hidup dan mati. Langkah kakinya terdengar bergema di lorong yang sunyi.
Bacin turun ke lobi Hotel Kesialan dengan lift tua yang berkarat dan berderit nyaring. Saat pintu lift terbuka, ia melihat wanita yang telah mengantarnya sebelumnya. Wanita itu masih berdiri di tempat yang sama, dengan senyum tipis yang misterius. Bacin menghampirinya.
“Bolehkah aku tahu namamu?” tanya Bacin, mencoba bersikap ramah.
“Namaku Rain,” jawab wanita itu, suaranya lembut namun dingin.
Mulut Bacin membentuk sebuah pujian yang licin, “Rain? Nama yang cantik… seperti yang terlihat. Kau… adalah wanita tercantik yang pernah kulihat di dunia ini…” Namun, sebelum Bacin bisa melanjutkan pujiannya yang terkesan berlebihan, ia merasakan sebuah sensasi dingin menusuk tenggorokannya. Darah menyembur deras, membasahi bajunya. Ia melihat sebuah kuku jari Rain memanjang dengan sangat cepat, tajam seperti pisau, menggorok lehernya.
Rain tersenyum, sebuah senyum yang penuh kepuasan sadis. “Jaga mulutmu,” bisiknya, kemudian menjilat darah yang menempel di kukunya yang panjang dan mengerikan itu. Bacin terhuyung jatuh ke lantai, darah mengalir deras dari luka di tenggorokannya, membasahi lantai lobi Hotel Kesialan yang gelap dan sunyi.
Bacin merasakan sakit yang menusuk tenggorokannya, sebuah rasa yang begitu intens hingga ia yakin ajalnya telah tiba. Rasanya seperti ribuan pisau kecil mengiris-iris kerongkongannya. Namun, rasa sakit itu, yang sebentar lagi akan membawanya ke dalam kegelapan, mulai mereda. Kuku Rain, yang sebelumnya memanjang seperti pisau berlumuran darah, kembali ke bentuk asalnya. Ia berjongkok, menatap Bacin yang terhuyung-huyung, sebuah senyum sinis terukir di bibirnya. “Aku penasaran dengan kemampuan keabadian itu,” bisiknya, suaranya terdengar seperti desiran angin dingin.
Bacin, yang masih tertegun oleh rasa sakit yang tiba-tiba hilang, melihat sesuatu yang mustahil terjadi. Darah yang menggenang di lantai dan membasahi bajunya perlahan-lahan menghilang, menyerap kembali ke dalam tubuhnya. Luka di tenggorokannya menutup dengan sempurna, tanpa bekas luka sedikit pun. Kulitnya kembali mulus, seperti belum pernah terluka. Darah yang mengucur deras beberapa saat lalu, sekarang telah lenyap, seakan-akan semuanya hanyalah sebuah mimpi buruk.
Keheranan tampak jelas di wajah Bacin. Ia terkesiap, menatap dirinya sendiri dengan tak percaya. Keabadian… itu nyata. Rain, yang semula tersenyum sinis, kini terlihat terkejut. Senyumnya melebar, sebuah senyum yang lebih menakutkan daripada sebelumnya. “Menakjubkan,” gumamnya, suaranya dipenuhi kekaguman yang menyeramkan. “Aku ingin menyiksamu lebih banyak lagi.”
Kuku Rain kembali memanjang, lebih tajam dan lebih panjang dari sebelumnya. Bayangannya memanjang, menghantui dinding-dinding lobi Hotel Kesialan yang gelap. Ketakutan membekukan Bacin di tempat. Ia mundur, mempersiapkan diri untuk menghadapi serangan berikutnya. Udara di sekitarnya terasa semakin dingin, menandakan bahwa permainan kematian baru saja dimulai.
Bacin, tanpa ragu, meraih pistolnya. Moncong senjata itu mengarah tepat ke wajah Rain. “Mundur atau kutembak!” seru Bacin, suaranya bergetar sedikit karena panik. Rain hanya tersenyum, senyum yang penuh dengan kepercayaan diri yang mengerikan. “Coba saja,” tantangnya, sambil terus bergerak maju, tanpa memperlihatkan sedikit pun rasa takut.
Bacin menembak. Letusan pistol menggema di lobi yang sunyi, namun peluru itu—sebelum mengenai sasaran—ditebas dengan mudah oleh kuku Rain yang memanjang bak pedang. Logam yang seharusnya mematikan itu terpental tak berdaya. Panik membuncah di dada Bacin. Rain semakin mendekat, langkahnya tenang namun mematikan. Bacin tahu, ia tak akan bisa mengalahkannya dengan kekuatan fisik.
Tanpa berpikir panjang, Bacin berlari sekencang-kencangnya menuju pintu hitam, satu-satunya jalan keluar yang ia tahu. Lendir hitam lengket menempel di sekujur tubuhnya saat ia berdesakan melewati pintu itu. Namun, ia berhasil sampai di ambang pintu dengan cepat membukanya. Kaki Bacin tertusuk sesuatu yang tajam dan menusuk ketika ia melangkah masuk. Dari balik pintu yang hampir tertutup, ia melihat Rain, kukunya memanjang luar biasa, dari kejauhan, jauh lebih panjang dan tajam daripada sebelumnya. Dengan sekuat tenaga, Bacin menarik paksa kakinya dari jebakan itu, sebelum pintu hitam menutup rapat, memisahkannya dari kengerian yang mengintainya.
Bacin menghela napas lega. "Wanita gila," gumamnya, masih merasakan jantungnya berdebar kencang. Ia melihat sekelilingnya.
Ini bukan bangunan terbengkalai yang sebelumnya ia masuki. Arsitektur bangunan ini sama sekali berbeda. Bacin tidak mengenal tempat ini.
Ia sama sekali tidak tahu di mana ia berada. Dengan hati-hati, Bacin keluar dari bangunan yang tampak seperti gudang tua itu. Matahari siang hari menyilaukan setelah berada di dalam ruangan yang gelap.
"Aku sudah mendengar tentangmu dari Zein, Bacin," suara itu membuat Bacin tersentak. Ia melihat seorang pria, tampak berumur sekitar 29 atau 30 tahun, berdiri di depannya. Pria itu memiliki raut wajah yang tegas dan mata yang tajam.