Rahasia kelam membayangi hidup Kamala dan Reyna. Tanpa mereka sadari, masa lalu yang penuh konspirasi telah menuntun mereka pada kehidupan yang tak seharusnya mereka jalanin.
Saat kepingan kebenaran mulai terungkap, Kamala dan Reyna harus menghadapi kenyataan pahit yang melibatkan keluarga, kebencian, dan dendam masa lalu. Akankah mereka menemukan kembali tempat yang seharusnya? Atau justru terseret lebih dalam dalam pusaran takdir yang mengikat mereka?
Sebuah kisah tentang pengkhianatan, dendam, dan pencarian jati diri yang akan mengubah segalanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon WikiPix, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
NARASI Episode 09
Sosok yang memperhatikan Kamala dan Reyna itu berdiri di dekat sebuah mobil hitam mewah yang diparkir di tepi jalan. Wanita bergaun elegan yang sebelumnya membela Kamala kini berjalan mendekati mobil tersebut, diikuti oleh suaminya yang masih terlihat kesal.
"Ada apa? Kau memikirkan apa." tanya Seno.
Wanita itu tidak langsung menjawab. Pikirannya masih mengingat sosok Kamala dan Reyna yang berjalan menjauh. Ada sesuatu dalam benaknya yang mengusik, sesuatu yang terasa familiar, tapi ia belum bisa mengingatnya dengan jelas.
Seno, yang sudah kehilangan kesabaran, mendesah kasar. "Sudahlah, lupakan mereka. Aku tidak mengerti kenapa kau malah membela mereka tadi," ujarnya dengan nada kesal.
Wanita itu akhirnya menoleh, menatap suaminya dengan sorot mata dingin. "Karena kau bertindak seperti anak kecil yang manja. Itu hanya noda es krim, Seno. Tidak perlu membuat keributan seperti itu."
Seno mendengus, lalu masuk ke dalam mobil tanpa berkata apa-apa lagi. Wanita itu menghela napas, lalu melirik ke luar jendela lagi.
Nama wanita itu adalah Indira Sari Simorangkir. Ia bukan tipe orang yang mudah peduli dengan orang asing, tetapi entah mengapa, melihat wajah Kamala tadi membuat hatinya terasa aneh. Ia merasa pernah melihatnya di suatu tempat, di masa lalu.
Saat mobil hitam mewah itu melaju meninggalkan taman, Indira masih tak bisa mengusir bayangan Kamala dari pikirannya. Ia berusaha mengingat, menghubungkan wajah itu dengan kenangan masa lalu, tetapi ingatannya terasa kabur.
Sementara itu, Kamala dan Reyna melanjutkan perjalanan mereka menuju halte bus. Reyna mulai ceria kembali setelah Kamala menjanjikan es krim lain di lain waktu. Namun, Kamala masih sedikit gelisah. Insiden tadi membuatnya berpikir, apakah orang seperti pria tadi selalu merasa punya kuasa atas orang lain hanya karena mereka lebih kaya?
Ketika mereka sampai di halte, Kamala merasakan tatapan seseorang mengarah padanya. Ia menoleh, dan matanya bertemu dengan seorang pria yang berdiri tak jauh darinya. Wajah pria itu sedikit terkejut saat melihatnya, tetapi Kamala tidak mengenalinya.
Namun, pria itu mengenalnya. Matanya menyipit, seolah sedang memastikan sesuatu.
“Kamala?”
Kamala mengerutkan kening, merasa asing dengan suara itu. Namun, ketika ia menatap pria itu lebih lama, samar-samar ada sesuatu dalam dirinya yang mengatakan bahwa pria ini bukan orang asing.
Pria itu melangkah mendekat, sorot matanya penuh dengan keterkejutan yang sulit disembunyikan. "Kamala?" ulangnya, kali ini dengan suara yang lebih pelan, seolah takut jika ia salah mengenali.
Kamala masih terpaku. Suara itu, terasa familier, tetapi ingatannya kabur. Ia mengerjap, mencoba menghubungkan wajah pria di depannya dengan masa lalunya. Pria itu tampan, dengan rahang tegas dan sorot mata yang tajam. Rambutnya sedikit berantakan, tetapi justru memberi kesan kasual yang menarik.
"Aku Jack," kata pria itu akhirnya. "Kau tidak ingat aku?"
Jack.
Nama itu menyentak sesuatu di dalam diri Kamala. Kenangan yang telah lama hilang, mulai muncul. Sebuah masa lalu yang ia pikir telah ia lupakan, atau setidaknya ia paksa untuk dilupakan.
Jack adalah seseorang dari kehidupannya dulu, seseorang yang menjadi teman nongkrongnya. Saat dulu, Kamala menjadi anak nakal, minum-minum keras, merokok, dan hidup tanpa arah.
Jack adalah salah satu teman dekatnya di masa itu, seseorang yang selalu ada di lingkaran pergaulan bebasnya.
Namun, hidup telah banyak berubah sejak saat itu. Kamala bukan lagi gadis liar yang menghabiskan malam dengan pesta dan alkohol. Ia sekarang adalah seorang ibu, seorang wanita yang berusaha menjalani hidup lebih baik demi Reyna. Masa lalu itu adalah sesuatu yang telah ia tinggalkan jauh di belakang.
Kamala menelan ludah, mencoba mengendalikan emosinya. "Aku tidak mengenalmu," katanya akhirnya, suaranya dingin dan tegas.
Jack menatapnya dengan ragu. "Kamala, ayolah... Aku tahu kau masih ingat aku. Apa kau pikir aku tidak mengenali wajahmu?"
Kamala menghela napas. "Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan. Sekarang minggir, aku harus pergi."
Ia menggandeng tangan Reyna lebih erat, bersiap melangkah pergi. Namun, Jack dengan cepat berkata, "Kau berubah."
Langkah Kamala terhenti sejenak, tapi ia tidak menoleh.
Jack menyeringai tipis. "Dulu kau tidak seperti ini, Kamala. Apa yang terjadi? Kenapa tiba-tiba kau jadi orang asing?"
Kamala mengatupkan rahangnya. Ia tidak ingin membuka luka lama, tidak ingin mengingat siapa dirinya dulu.
"Aku hanya ingin menjadi orang yang lebih baik, Jack," katanya akhirnya, sebelum melangkah pergi tanpa menoleh lagi.
Jack tidak langsung beranjak. Ia masih terpaku di tempatnya, menatap punggung Kamala yang semakin menjauh bersama Reyna. Ada sesuatu dalam sorot matanya, campuran keterkejutan, kebingungan, dan mungkin… sedikit penyesalan.
Ia tidak pernah menyangka akan bertemu Kamala lagi, apalagi dalam keadaan seperti ini.
Penampilannya yang berubah, tetapi auranya. Ia tampak lebih tenang, lebih dewasa, lebih… bertanggung jawab. Dan kehadiran gadis kecil yang bersamanya? Itu semakin membuktikan bahwa Kamala telah menjalani kehidupan yang jauh dari masa lalu mereka.
Jack menghela napas panjang. Ia merasa bahwa masih ada banyak hal yang harus dilakukan, dan untuk sementara tidak memikirkan Kamala terlebih dulu.
******
Indira melangkah masuk ke rumah dengan langkah anggun, meskipun pikirannya masih dipenuhi oleh sosok Kamala yang ditemuinya tadi. Namun, sebelum ia sempat larut lebih dalam dalam pikirannya, suara ceria menyambutnya.
“Mama!”
Indira menoleh dan mendapati seorang gadis muda berlari kecil ke arahnya. Senyum lebar terukir di wajah gadis itu, matanya berbinar penuh antusiasme.
“Sayang!” Indira segera membuka tangannya lebar, menyambut putrinya dalam pelukan erat. Ia mengecup pipi gadis itu dengan penuh kasih. “Kapan kamu sampai? Kenapa Mama tidak diberi tahu lebih dulu?”
Gadis itu terkekeh. “Aku ingin memberi kejutan! Baru beberapa jam yang lalu, dan aku langsung ke sini dari bandara.”
Indira mengusap pipi putrinya dengan penuh sayang. “Astaga, Mama merindukanmu. Sudah lama sekali kamu tidak pulang.”
“Aku juga rindu Mama.”
Indira menatap putrinya dengan bangga. Sudah bertahun-tahun ia mengirim gadis itu ke luar negeri untuk menempuh pendidikan terbaik. Sekarang, putrinya telah kembali sebagai wanita dewasa yang lebih matang dan berpendidikan.
Seno, yang sejak tadi hanya mengamati dari kejauhan, akhirnya berdeham. “Kau sudah kembali, Nak.”
Gadis itu menoleh ke arah ayahnya dan mengangguk, meskipun ekspresi di wajahnya sedikit berubah. “Ya, Papa.”
Tidak ada pelukan, tidak ada sapaan sehangat yang ia berikan kepada Indira. Hubungan gadis itu dengan ayahnya memang tidak sedekat hubungannya dengan sang ibu.
Indira menyadari ketegangan halus yang terjadi, tetapi ia memilih untuk mengabaikannya. “Kau pasti lelah setelah perjalanan panjang. Ayo duduk, kita bicara lebih banyak!”
Gadis itu tersenyum dan mengangguk. “Tentu, Ma.”
Namun, saat mereka berjalan masuk lebih dalam ke rumah, pikiran Indira kembali melayang ke pertemuannya dengan Kamala. Entah mengapa, ia merasa pertemuan itu bukan kebetulan semata. Ada sesuatu yang menghubungkan mereka, sesuatu yang mungkin belum ia sadari sepenuhnya.
Saat Indira masih tenggelam dalam pikirannya ketika suara riang putrinya membuyarkan lamunannya.
"Mama, ayo duduk di sini!"
Gadis itu menarik tangan Indira dengan antusias, membawanya ke sofa ruang tamu yang luas dan elegan. Indira tersenyum kecil, menyingkirkan pikirannya tentang Kamala untuk sementara waktu. Ia ingin fokus pada kepulangan putrinya.
"Kau terlihat lebih dewasa sekarang," ujar Indira sambil mengamati wajah gadis itu dengan penuh kasih sayang.
Putrinya terkekeh. "Tentu saja, Ma. Aku sudah bertahun-tahun di luar negeri. Harusnya aku sudah lebih dewasa, kan?"
Indira mengangguk, lalu menggenggam tangan putrinya. "Mama bangga padamu. Jadi, bagaimana rencanamu setelah ini? Apa kau ingin istirahat dulu atau langsung mulai menyesuaikan diri di sini?"
Gadis itu menyandarkan punggungnya, matanya menatap langit-langit sebentar sebelum kembali menatap ibunya. "Aku ingin menghabiskan waktu bersama Mama dulu. Aku sudah lama tidak di rumah."
Indira tersenyum hangat. Namun, sebelum ia sempat merespons, Seno berdeham dari sudut ruangan.
"Apa kau sudah memikirkan pekerjaan?" tanyanya dengan nada tegas.
Putrinya menoleh dan mengangguk. "Aku sudah punya beberapa rencana, Pa. Tapi aku tidak ingin buru-buru. Aku ingin menikmati waktuku dulu setelah sekian lama belajar tanpa henti."
Seno tampak tidak terlalu puas dengan jawaban itu, tetapi ia hanya mengangguk singkat dan tidak melanjutkan pembicaraan lebih jauh.
Indira, yang menyadari ketegangan kecil itu, menepuk tangan putrinya lembut. "Mama akan mendukung apa pun yang kau pilih. Yang penting, kau bahagia."
Putrinya tersenyum lega. "Terima kasih, Ma."
Indira menyandarkan tubuhnya di sofa, sambil menatap kosong wajah putrinya, dan ia kembali tersentak ketika putrinya menanyakan keberadaan kakaknya.
Indira terdiam sejenak. Ia tidak menyangka pertanyaan itu akan muncul begitu cepat. Pandangannya sedikit menggelap, dan ia melirik sekilas ke arah Seno yang kini terlihat mengalihkan pandangan, jelas tidak ingin membahas topik itu.
"Kakakmu baik-baik saja," jawab Indira akhirnya, suaranya tenang, meskipun ada sedikit keraguan di dalamnya.
Gadis itu mengerutkan kening. "Mama tidak terdengar yakin."
Indira menarik napas panjang, lalu mengusap tangan putrinya dengan lembut. "Kakakmu masih di luar negeri… sibuk dengan urusannya sendiri."
Seno akhirnya angkat bicara, nadanya tajam dan penuh ketidaksabaran. "Dia bukan urusanmu. Lebih baik kau fokus pada masa depanmu sendiri."
Putrinya menatap ayahnya dengan tidak percaya. "Apa maksud Papa? Kakak tetap keluarga. Aku sudah lama tidak bertemu dengannya. Aku ingin tahu keadaannya!"
Indira bisa merasakan ketegangan di antara mereka. Ia tahu bahwa hubungan Seno dengan putra sulung mereka tidak pernah benar-benar baik. Ada sesuatu di masa lalu yang membuat hubungan ayah dan anak itu semakin jauh, sesuatu yang hingga kini masih menjadi luka dalam keluarga mereka.
"Dia akan kembali saat waktunya tepat," ujar Indira, mencoba meredakan ketegangan. "Untuk sekarang, lebih baik kita tidak membahasnya dulu."
Putrinya masih tampak tidak puas, tetapi ia memilih untuk tidak mendesak lebih jauh. Ada sesuatu yang disembunyikan oleh orang tuanya, dan ia bertekad untuk mencari tahu sendiri.
Namun, di dalam hati Indira, ada kegelisahan yang tak bisa ia abaikan. Kakak dari putrinya itu, putra sulungnya, memang memiliki kisah yang rumit. Dan entah mengapa, firasatnya mengatakan bahwa cepat atau lambat, bayangan masa lalu itu akan kembali menghampiri mereka.