NovelToon NovelToon
KAISAR IBLIS TAK TERKALAHKAN

KAISAR IBLIS TAK TERKALAHKAN

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Fantasi / Fantasi Timur / Iblis / Akademi Sihir / Light Novel
Popularitas:953
Nilai: 5
Nama Author: NAJIL

Menceritakan perjalanan raja iblis tak terkalahkan yang dulu pernah mengguncang kestabilan tiga alam serta membuat porak-poranda Kekaisaran Surgawi, namun setelah di segel oleh semesta dan mengetahui siapa dia sebenarnya perlahan sosoknya nya menjadi lebih baik. Setelah itu dia membuat Negara di mana semua ras dapat hidup berdampingan dan di cintai rakyat nya.

Selain raja iblis, cerita juga menceritakan perjuangan sosok Ethan Valkrey, pemuda 19 tahun sekaligus pangeran kerajaan Havana yang terlahir tanpa skill namun sangat bijaksana serta jenius, hidup dengan perlakukan berbeda dari ayahnya dan di anggap anak gagal. Meskipun begitu tekadnya untuk menjadi pahlawan terhebat sepanjang masa tak pernah hilang, hingga pada akhirnya dia berhasil membangkitkan skill nya, skill paling mengerikan yang pernah di miliki entitas langit dengan kultivasi tingkat tertinggi.

Keduanya lalu di pertemukan dan sejak saat itu hubungan antara bangsa iblis dan ras dunia semakin damai.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NAJIL, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

33

Kembali menyorot Hutan Kematian bagian selatan, Enzo, Brock, dan Leo tengah memantau pergerakan para monster yang terus melancarkan teror demi teror pada para ras penghuni hutan.

Meski jumlah monster dan roh jahat terus bertambah, tak sedikit pun terlihat rasa lelah di wajah mereka. Justru, ketiganya menikmati momen itu, terlebih Enzo, yang merasa puas bisa menciptakan kedamaian di tempat ini.

"Wha-ha-ha-ha! Waktunya kita makan besar pagi ini!" seru Enzo, muncul dari balik gelapnya hutan bersama Brock. Di antara mereka, seekor buaya raksasa terbujur tak bernyawa, ukurannya sangat besar, mencapai berat kisaran dua ton.

Leo, yang tengah sibuk merapikan peralatan masak, hanya bisa menatap tak percaya. "Gila... ini terlalu besar. Apa kalian yakin bisa menghabiskannya?" tanyanya dengan nada setengah kaget.

"Tenang saja, serahkan pada kami berdua," jawab Enzo sambil tersenyum lebar.

"Woke, siap, Bos. Kebetulan aku sudah memetik banyak rempah dari kebun pagi tadi," balas Leo dengan semangat. Matanya berbinar penuh rasa cinta pada profesinya sebagai koki ulung. "Aku akan membuat hidangan yang tak akan terlupakan!"

"Kau memang sangat bisa di andalkan Leo!"

Selama empat minggu mereka bersama, banyak perubahan terjadi di rumah dan kebun Enzo. Kini, kebun itu dipenuhi berbagai jenis sayuran, biji-bijian, dan tanaman obat yang ditanam dengan hati-hati. Bahkan, beberapa bangunan kayu kecil telah berdiri, hasil kerja keras mereka bertiga.

Kehidupan mereka di hutan kematian bukan hanya tentang menjaga keamanan, tetapi juga menemukan hal-hal baru. Selain itu, pesta kecil menjadi bagian dari rutinitas mereka.

Sejak kedatangan Enzo, kehidupan Leo dan Brock berubah drastis. Sosok Enzo selalu menghadirkan kejutan yang tak terduga, membuat hari-hari mereka di Hutan Kematian penuh warna, baik melalui pertarungan epik maupun momen kebersamaan yang hangat.

Keberadaan mereka bertiga kini telah menjadi bagian penting dari Hutan Kematian. Bahkan monster dan roh jahat yang dulunya sering membuat kericuhan perlahan mulai mundur dan enggan mencari masalah. Tak terkecuali monster kelas Calamity yang terkenal ganas, mereka pun memilih untuk menjauh begitu mengetahui keberadaan Enzo, Leo, dan Brock.

Empat minggu terakhir, perubahan besar terjadi di Hutan Kematian bagian selatan. Amukan monster ganas yang sebelumnya menjadi pemandangan biasa kini jarang terjadi. Keheningan dan kedamaian mulai terasa, sesuatu yang sebelumnya dianggap mustahil di wilayah penuh kegelapan ini.

Namun, selain monster, roh jahat, dan iblis, Hutan Kematian juga menyimpan rahasia besar lainnya: Dungeon. Struktur misterius ini tersebar di berbagai bagian hutan, masing-masing dengan pola, ciri khas, dan tingkat kesulitan yang berbeda.

Dungeon terbagi menjadi beberapa kategori berdasarkan tingkat kesulitan dan isi di sumber daya di dalamnya:

Dungeon Coklat: Berisi artefak kelas rendah hingga sedang serta rutenya sederhana dan dijaga oleh roh jahat tingkat rendah dan spesies monster di bawah tingkat Calamity.

Dungeon Perak: Berisi artefak kelas tinggi serta rute rumit hingga sangat rumit, dijaga oleh banyak roh jahat berbagai tingkat kecuali superior atau bahkan monster spesies Calamity kurang lebih berjumlah 10.

Dungeon Emas: berisi artefak kelas tertinggi serta rute sangat rumit, dijaga oleh roh jahat tingkat superior dan sangat banyak monster tingkat Calamity kurang lebih 500.

Dungeon Hitam (Rumor): Misterius, dikatakan dijaga oleh monster tingkat tertinggi atau roh jahat tingkat superior ultra. Hingga kini keberadaannya hanya sebatas rumor tanpa bukti nyata.

Dungeon tidak hanya terbatas pada alam dunia, melainkan juga tersebar di tiga alam yang berbeda. Mereka menjadi incaran bagi siapa pun yang ingin meningkatkan kekuatan, skill, atau energi mereka. Artefak berharga di dalamnya memicu ambisi banyak pihak untuk berlomba-lomba menemukannya.

Namun, kemunculan Dungeon tidak dapat diprediksi. Mereka berpindah-pindah tempat secara misterius. Siapa pun yang berhasil menemukannya dianggap "terpilih" untuk memasuki Dungeon tersebut dan membawa pulang kekuatan serta harta yang melimpah.

"Makanan menu buaya seberat 2 ton sudah siap! Silakan nikmati sepuasnya!" ucap Leo penuh semangat saat mentari pagi mulai menyinari hutan kematian.

"Whooo, ini terlihat enak!" jawab Enzo takjub sambil menatap tumpukan daging yang mengepul harum di depan mereka. Aroma rempah-rempahnya benar-benar membius, membuatnya tak sabar menyantap.

"Wha-ha-ha-ha, mari kita habiskan, bos!" seru Brock antusias, seolah-olah itu adalah pesta makannya yang paling ditunggu.

Di sisi lain, Leo hanya mengambil semangkok kecil daging buaya itu untuk dirinya sendiri. Baginya, semangkok ini sudah lebih dari cukup, bahkan ia merasa tidak yakin bisa menghabiskannya.

"Mereka berdua benar-benar gila," gumam Leo sambil tersenyum kecil, melihat Enzo dan Brock seperti berlomba siapa yang paling cepat menghabiskan daging buaya seberat 2 ton. "Sepertinya perut mereka bukan perut makhluk sembarangan!"

Setelah selesai makan, perut kenyang tak membuat mereka santai terlalu lama. Agenda berikutnya sudah menanti—melanjutkan pembangunan gudang baru untuk menyimpan harta benda berharga hasil berburu di Dungeon. Gudang itu direncanakan lebih besar dan kokoh dibanding sebelumnya, karena rampasan mereka sudah menumpuk hingga tak tertampung lagi.

“Kita apakan semua rampasan Dungeon ini, Bos? Kalau dijual, pasti nilainya sangat tinggi,” ujar Leo, matanya berbinar saat mengamati salah satu pedang berlapis permata giok hijau. Cahaya matahari pagi memantulkan kilauannya, membuat benda itu terlihat seperti mahakarya.

Enzo, yang berdiri tak jauh darinya, mengangkat dagu sambil berpikir. Wajahnya tetap tenang, tapi sorot matanya penuh perhitungan. “Gudang kita hampir selesai dibangun. Semua barang ini akan kita simpan di sana,” jawabnya dengan nada mantap. “Akan terlalu berbahaya kalau sampai artefak-artefak kuat ini jatuh ke tangan yang salah.”

Leo mengangguk pelan. Kali ini nada santainya berubah serius. “Benar juga. Artefak-artefak ini bukan barang sembarangan. Aku bisa merasakan energinya. Kalau sampai ada makhluk jahat yang memilikinya, dampaknya bisa menghancurkan perdamaian.”

Selama empat minggu terakhir, mereka bertiga menjalani hari-hari penuh aksi dan kesenangan. Di sela menjaga Hutan Kematian bagian selatan yang menjadi wilayah kekuasaan mereka, pesta-pesta kecil sering digelar sebagai bentuk perayaan kecil. Namun, saat tidak berpesta, mereka sibuk menjelajahi dan menaklukkan Dungeon yang muncul di berbagai tempat.

Berbagai jenis Dungeon telah mereka taklukkan: coklat, perak, bahkan emas. Setiap Dungeon menyimpan rintangan sulit, jebakan yang mematikan, dan musuh-musuh tangguh. Namun, bagi mereka bertiga, semua itu tak lebih dari sekadar permainan. Para penghuni Dungeon, meskipun berasal dari tingkat tertinggi, tak mampu memberikan ancaman berarti.

Mereka telah menaklukkan hampir seratus Dungeon. Setiap kemenangan membawa pulang harta karun melimpah—artefak-artefak dengan kekuatan luar biasa: senjata legendaris, perisai dengan perlindungan magis, batu kehidupan yang mampu menyembuhkan luka fatal, batu energi untuk meningkatkan kekuatan skill, hingga armor bercahaya yang tak tertembus.

Artefak-artefak itu bukan barang murahan. Kebanyakan berasal dari Dungeon perak dan emas—dua tingkatan tertinggi yang hanya bisa ditaklukkan oleh para petarung terbaik. Namun, bagi mereka bertiga, bahkan Dungeon-dungeon kuat itu hanyalah tantangan kecil yang selesai dalam sekejap.

Namun, dari seratus Dungeon yang telah mereka taklukkan, ada satu yang begitu berbeda—misterius dan menakutkan. Dungeon itu berwarna hitam, gelap pekat, memancarkan aura kutukan yang begitu kental hingga membuat udara di sekitarnya terasa berat. Bahkan Enzo, mantan Raja Iblis yang pernah menghadapi segala jenis kekuatan gelap, mengernyit sesaat. Kutukan ini tidak seperti apa pun yang pernah dia rasakan.

Lebih tepatnya 1 hari yang lalu.

"Aneh sekali... Dungeon besar seperti kuil itu tampak berbeda. Selain bentuknya yang buruk, aura hitam pekatnya benar-benar menyeramkan," gumam Enzo sambil mengamati dari kejauhan. Meskipun begitu, keterkejutannya hanya sesaat. Tanpa rasa takut, mereka bertiga segera melangkah masuk, memperlakukan Dungeon ini seperti Dungeon lainnya—seolah-olah tak ada yang mustahil bagi mereka.

Lorong panjang yang gelap menyambut langkah mereka, diselimuti dinding hitam penuh simbol kutukan yang memancarkan cahaya samar.

"Selama aku hidup, aku belum pernah berjumpa Dungeon seperti ini," ujar Leo, suaranya bergema di antara lorong sempit itu.

Brock, dengan gaya santainya, menyeringai kecil. “Kalau aku, sih, sudah lima kali melihat Dungeon semacam ini selama hidupku yang ratusan tahun. Tapi aku tidak peduli. Tidak ada yang menarik di dalamnya—aku sudah terlalu kuat untuk bergantung dari tempat seperti ini.” Meskipun ucapannya penuh kepongahan, bola matanya memandang dinding lorong itu dengan rasa penasaran yang tak bisa ia sembunyikan.

Di sisi lain, Enzo tersenyum kecil, matanya menyiratkan kekaguman. "Dungeon ini menarik. Jiwa petualangan ku benar-benar meronta ingin tahu apa yang ada di dalamnya," ucapnya dengan nada bersemangat.

Seperti biasa, mereka menghajar roh-roh jahat dan monster yang bermunculan sepanjang perjalanan. Namun, kali ini atmosfernya terasa berbeda. Aura kelam dan kutukan yang melingkupi tempat itu menguji kewarasan mereka, terutama Enzo.

"Aku khawatir ilusi makanan itu akan datang lagi," ujar Enzo tiba-tiba, nada suaranya ragu. "Entah kenapa pikiranku tak bisa menghindari jebakan itu. Rasanya... terlalu nyata."

"Iya, Bos. Untuk saat ini, jebakan itu memang yang paling berbahaya. Kita harus tetap bersama, apa pun yang terjadi," sahut Brock dengan nada dibuat-buat serius, meskipun ia sebenarnya sama kocaknya dengan Enzo soal makanan.

Leo mendengus keras, melipat tangan di dada. “Bukan jebakannya yang berbahaya, tapi kalian berdua lah yang terlalu mudah ditipu dengan ilusi makanan tak nyata itu.” Suaranya nyaring, menyindir, namun tak bisa menyembunyikan rasa frustrasi bercampur geli.

Walaupun mereka bertiga dikenal sebagai petarung terkuat, Dungeon hitam ini memberikan tantangan yang tak biasa. Monster dan roh jahat bisa mereka kalahkan dengan mudah. Namun, jebakan ilusi dan tipu daya di tempat ini adalah cerita lain. Ilusi makanan, khususnya, selalu menjadi kelemahan mereka.

Enzo dan Brock, yang tergila-gila pada makanan, berkali-kali menjadi korban jebakan tersebut. Bahkan jebakan ilusi makanan di Dungeon coklat saja pernah membuat mereka kehilangan akal, apalagi di Dungeon hitam yang tingkat ilusi dan daya tariknya jauh lebih kuat.

“Kalau ilusi makanan muncul lagi, entah aku tidak tau lagi harus bagaimana lagi,” gumam Leo pelan. DIa tahu betul, satu ilusi sederhana saja sudah cukup untuk membuat dua rekannya itu melupakan segala logika.

Benar saja, semakin dalam mereka melangkah mendekati wilayah bos Dungeon, berbagai ilusi mulai menyerang pikiran mereka. Dari semua jenis ilusi yang muncul, yang paling mereka takutkan akhirnya hadir—ilusi makanan. Aura kutukan Dungeon hitam ini terasa begitu pekat, dan ilusi yang dihasilkan benar-benar tak bisa digambarkan dengan kata-kata.

“Kalian cepat sadar! Aku tidak bisa melawan mereka sendirian!” teriak Leo, suaranya menggema di lorong gelap Dungeon. Di hadapannya, gerombolan monster Calamity Round 1 berjumlah dua ratus perlahan mendekat, menyebarkan aura ancaman yang mencekam.

Keringat deras bercucuran di wajah Leo. Sorot matanya memancarkan kepanikan, tapi tangannya tetap menggenggam senjata dengan erat. Namun, saat melirik ke belakang, rasa paniknya berubah menjadi frustrasi.

Brock dan Enzo terbaring di lantai, wajah mereka dihiasi senyuman lebar. Sekarang bukan lagi tidak sadar melainkan mereka sudah tertidur pulas, jelas sekali mereka telah terjebak dalam ilusi makanan, membayangkan hidangan lezat yang mustahil mereka tolak. Kesadaran mereka sepenuhnya direnggut oleh jebakan itu.

"Tcih ! Ini bukan waktunya bermimpi tentang makanan!" geram Leo, mengayunkan pedangnya untuk menangkis serangan salah satu Calamity yang mencoba menerjangnya.

Calamity adalah monster yang terkenal karena kekuatannya yang luar biasa. Makhluk besar ini memiliki kulit gelap sekeras baja (tergantung jenis spesies monster) mata merah menyala penuh kebencian, dan cakar tajam yang dapat menghancurkan apa pun yang disentuhnya. Satu Calamity saja sudah cukup untuk meluluhlantakkan sebuah desa dalam sekejap.

Namun kali ini, Leo dihadapkan dengan dua ratus Calamity sekaligus.

"Ini benar-benar gila," gumam Leo, napasnya memburu saat dia terus bertarung. Setiap kali dia berhasil menumbangkan satu monster, sepuluh lainnya langsung menggantikan posisi, menyerang tanpa ampun.

Pedangnya berkelebat cepat, menebas satu Calamity menjadi dua. Namun, jumlah musuh terasa tak ada habisnya. Semakin lama, tubuhnya mulai terasa lelah, tapi dia tahu bahwa menyerah bukanlah pilihan.

Dengan tubuhnya nya yang kecil, dia melesat kembali menebas mereka satu persatu.

Sementara itu, Brock dan Enzo masih terbaring dengan ekspresi bahagia. Mereka tenggelam dalam ilusi makanan yang begitu nyata, hingga melupakan semua hal lain.

"Kalau begini terus, aku bisa mati konyol di sini!" gerutu Leo, menggertakkan giginya untuk menahan rasa putus asa yang mulai menggerogoti pikirannya.

Dia tahu, satu-satunya cara untuk selamat adalah membuat Brock dan Enzo sadar kembali. Tapi dengan kondisi mereka yang tenggelam dalam mimpi makanannya, itu hampir mustahil dilakukan.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!