Hamil atau tidak, Danesh dengan tegas mengatakan akan menikahinya, tapi hal itu tak serta merta membuat Dhera bahagia.
Pasalnya, ia melihat dengan jelas, bagaimana tangis kesedihan serta raungan Danesh, ketika melihat tubuh Renata lebur di antara ledakan besar malam itu.
Maka dengan berat hati Dhera melangkah pergi, kendati dua garis merah telah ia lihat dengan jelas pagi ini.
Memilih menjauh dari kehidupan Danesh dan segala yang berhubungan dengan pria itu. Namun, lagi-lagi, suatu kejadian kembali mempertemukan mereka.
Akankah Danesh tetap menepati janjinya?
Bagaimana reaksi Danesh, ketika Dhera tetap bersikeras menolak lamarannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon moon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#3. Aksi Penyelamatan•
#3
Danesh tiba di markas AG, sudah ada Daddy Brian serta Adrian di sana. “Uncle,” Danesh memeluk singkat Daddy Brian.
“Maaf, kami merepotkanmu. Tapi Baji^ngan-baji^ngan itu membahayakan keselamatan Keenan, bahkan teman-teman dan gurunya ikut dalam bahaya.” Bisa dimaklumi jika Daddy Brian begitu mencemaskan cucunya, karena Keenan adalah anak berharga dari garis pria yang akan menjadi penerus berikutnya generasi Gustav Agusto.
Hal itu dimanfaatkan para mafia tersebut untuk memeras Brian, yang notabene adalah keluarga konglomerat terkemuka di Singapura.
Brian dan keluarganya menetap di Singapura, inilah yang menjadi alasan kenapa AG juga memiliki markas di Singapura, karena masih ada keluarga dekat Alexander Geraldy yang tinggal di negara tersebut.
Sambil memakai pakaian lengkap termasuk rompi anti peluru, mereka berkoordinasi, bahkan membuka denah sekolah. Serta memastikan posisi terakhir semua siswa dan guru disandera, rupanya Adrian intens berkirim pesan dengan salah seorang guru, yang entah bagaimana caranya diam-diam ia bisa menggunakan ponsel Keenan.
“Baik, semua paham?”
“Paham!”
“Paham!”
Kesepuluh agen tersebut, menjawab dengan kompak.
“Uncle apakah sudah menyiapkan uang tebusannya?” tanya Danesh.
“Walau sulit, tapi sudah siap,” jawab daddy Brian sembari menunjuk 5 buah koper berukuran sedang, berjajar di atas meja.Tak tanggung-tanggung para berandalan itu meminta uang tebusan senilai 5 milyar dolar Singapura.
“Semoga mereka tak sampai menyentuh uang-uang ini,” gumam Danesh.
Kepolisian setempat pun sudah menerima kabar, hanya saja mereka tak berani banyak bergerak selain hanya memastikan keamanan semua sandera.
•••
Gedung sekolah itu sudah ramai dikerumuni warga, serta para orang tua yang khawatir dengan anak-anak mereka, namun karena peringatan para mafia tersebut, tak ada polisi yang berani mendekat.
Danesh datang dengan mobil terpisah dari teman-teman nya, karena mereka sudah berpencar ke titik-titik lokasi strategis sesuai kesepakatan mereka ketika di markas.
Danesh berjalan masuk ke halaman sekolah bersama Adrian dan tiga orang anggota timnya, masing-masing dari mereka membawa koper berisi uang yang diminta para mafia sebagai tebusan, serta jaminan keselamatan.
“Berhenti disana!”
Langkah kaki 5 orang tersebut, sama-sama terhenti ketika mendengar peringatan dari pengeras suara tersebut.
“Letakkan koper di depan kalian!”
Sesuai instruksi, kelima pria itu meletakkan koper di depan mereka masing-masing.
“Angkat tangan, dan jangan berani macam-macam!”
Lagi-lagi kelima pria itu hanya menuruti perintah, tak lama kemudian tiga orang anggota mafia datang menghampiri, tentu saja dengan senjata api di tangan masing-masing.
Mereka melakukan pemeriksaan pada Danesh, Adrian, dan ketiga rekan mereka, memastikan apakan ada senjata tajam, senjata api, atau apa saja yang bisa membahayakan mereka.
Tentu saja Danesh dan anak buahnya sudah menduga akan hal ini, namun mereka sudah yakin bahwa tanpa senjata sekalipun, mereka bisa melawan para teroris tersebut.
“Masuk!” perintah pria itu.
Mereka pun digiring ke sebuah ruangan, “Bagaimana anak-anak?” tanya Adrian.
Namun para pria yang menyembunyikan wajah itu enggan menjawab. “Kami sudah membawa apa yang Kalian minta, jadi setidaknya jawab pertanyaan kami.” Adrian kembali berucap, sepeninggal istrinya, hanya Keenan lah tempat Adrian mencurahkan kasih sayang, karena itulah ia sudah sangat mengkhawatirkan keselamatan putra semata wayangnya tersebut.
Mendengar kalimat Adrian membuat salah seorang mafia tersebut marah, hampir saja ia menghantam wajah Adrian dengan tinjunya, namun Danesh sempat menghalau tinju pria tersebut. “Weits, kalem Bro, yang dia katakan memang benar, setidaknya kami harus memastikan keselamatan para sandera.”
Pria itu pun memberikan kode pada temannya untuk membuka pintu aula sekolah, tempat anak-anak dan para guru di sandera. Suasana di dalam aula begitu mencekam, dua pria bersenjata api tampak berjaga-jaga, membuat anak-anak semakin mengkerut takut di pelukan para ibu guru mereka.
Hanya sesaat pintu terbuka, tak sampai 2 menit, kemudian pintu kembali menutup. “Tunggu apa lagi? Kalian sudah mendapatkan apa yang kalian inginkan, kenapa para sandera belum juga dibebaskan?”
Seorang pria kembali datang bergabung, dilihat dari gelagat orang-orang itu, Danesh duga pria itu adalah sang pemimpin mafia.
Pria itu memeriksa koper-koper berisi uang masing-masing 1 milyar dolar Singapura, kedua matanya berbinar, sebagai pengganti bibir yang tersenyum senang setelah mendapatkan apa yang mereka inginkan.
Benar-benar tak satupun dari mereka yang mengeluarkan suara, uang-uang tersebut dikemas kembali. Kemudian sang pemimpin memberikan kode untuk mulai melepaskan sandera.
Pintu terbuka, satu persatu anak-anak digiring keluar dengan aman, Danesh tak begitu memperhatikan anak-anak dan guru mereka, fokusnya saat ini hanya waspada mengamati pergerakan para mafia.
“Daddy!!” Keenan berseru girang, memeluk sang Daddy.
Adrian membalas pelukan putranya, kemudian memeriksa sekujur tubuh Keenan, dari ujung kepala hingga ujung kaki, “Keenan gak papa kan, Nak?” tanya Keenan
“I'm okay, Dad.”
Klak!
Terdengar suara benda terjatuh ketika ruangan hampir kosong, rupanya sebuah ponsel terjatuh dari genggaman salah seorang guru. “Tahan Dia!!”
Danesh menoleh menatap sang ibu guru yang kini kepalanya ditodong senjata api. “Miss Dheandra!!” pekik Keenan ketika melihat ibu gurunya kembali menjadi sandera.
Jika Keenan memekik keras, Danesh justru diam mematung, wanita itu memang dia, keberaniannya tak pernah hilang kendati ia sedang dalam kondisi tak baik-baik saja.
“Apa yang Kalian lakukan?!” pekik Adrian marah. “Kalian sudah mendapatkan semua yang Kalian inginkan, tapi kenapa masih enggan membebaskan sandera?”
“Karena Dia menyalahi perjanjian.” Pria itu menjawab sembari menodongkan senjata api ke pelipis Adrian. “Keluar sekarang, Wanita itu akan jadi urusan Kami.”
Danesh tak bisa diam saja, bahkan pandangan matanya tak bisa berpaling, wanita itu adalah wanita paling nekat dan tak kenal rasa takut. Dia bahkan tak gentar sedikitpun membalas tatapan mafia yang sedang menodongkan senjata api ke kepalanya. Kendati kondisinya sedang hamil…
Ya Tuhan, Danesh nyaris menangis di tempatnya, rupanya Dhera membohonginya, wanita itu sengaja merahasiakan kehamilannya.
“Tunggu apa lagi!! Segera pergi!!”
Akhirnya Adrian hanya bisa menuruti perintah pria itu, dengan berat hati ia melangkah keluar dari gedung sekolah.
Kini di Aula hanya tersisa Dhera, dan seorang pria yang tengah menyanderanya, sementara Di luar aula, mafia yang lain memaksa Danesh dan pasukannya keluar dari gedung.
Ketika suasana dirasa aman, dan pria yang menjaganya sedikit lengah, dengan kedua tangannya Dhera memegang senjata api milik pria itu, kemudian menengadahkannya ke udara.
Dor!!
Mendengar suara tembakan Danesh segera menoleh, jantungnya serasa keluar dari tempatnya, bagaimana tidak, Dhera masih disandera di dalam aula, dan kini ada suara letusan senjata api.
Danesh mulai bergerak, ia dan kedua rekannya menerjang dua pria bersenjata yang sedang menggiring mereka. Beruntung skill bela diri mereka tak main-main, hingga akhirnya ketiganya berhasil melumpuhkan serta mengambil alih senjata api milik para mafia.
Setelah berhasil mengambil alih senjata, Danesh berguling ke balik dinding untuk berlindung dari rentetan peluru yang mulai datang. Danesh hanya bisa membalas sekedarnya, karena pasokan senjata mereka yang terbatas.
Sementara itu, di dalam aula, Danesh melihat Dhera berhasil melumpuhkan pria yang tadi menodongkan senjata api kearahnya.
Namun hal itu hanya sesaat, karena ketika Dhera berbalik, pria itu kembali bergerak hendak meraih senjata apinya yang tergeletak tak jauh darinya.
“TIDAAAAAAKKK!!!”