Rahasia kelam membayangi hidup Kamala dan Reyna. Tanpa mereka sadari, masa lalu yang penuh konspirasi telah menuntun mereka pada kehidupan yang tak seharusnya mereka jalanin.
Saat kepingan kebenaran mulai terungkap, Kamala dan Reyna harus menghadapi kenyataan pahit yang melibatkan keluarga, kebencian, dan dendam masa lalu. Akankah mereka menemukan kembali tempat yang seharusnya? Atau justru terseret lebih dalam dalam pusaran takdir yang mengikat mereka?
Sebuah kisah tentang pengkhianatan, dendam, dan pencarian jati diri yang akan mengubah segalanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon WikiPix, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
NARASI EPISODE 28
Ratna tersenyum puas sambil menatap Amanda yang berdiri di depannya. Wanita itu mengulurkan tangannya, memberikan amplop tebal sebagai imbalan atas kerja keras Amanda.
"Bagus, Amanda. Kau sudah melakukan pekerjaan dengan baik," ucapnya dengan nada penuh kepuasan.
Amanda menerima amplop itu tanpa banyak bicara. Namun, jauh di dalam hatinya, ada kegelisahan yang mulai menggerogoti. Ia tahu apa yang dilakukannya salah, tetapi bayangan kemewahan dan janji-janji manis Ratna terlalu menggoda untuk ditolak.
Setelah beberapa saat hening, Amanda akhirnya mengangkat wajahnya, menatap Ratna dengan sorot mata penuh harap. "Lalu, bagaimana dengan anakku, Tan? Apakah sudah ditemukan?" tanyanya, suaranya sedikit bergetar.
Ratna menyeringai tipis, lalu duduk di kursi dengan anggun. Ia menyesap teh di cangkirnya sebelum kembali menatap Amanda dengan tatapan penuh perhitungan.
"Sudah kubilang, kau tidak perlu khawatir tentang anakmu. Fokuslah pada tugas yang sudah kuberikan," katanya dengan nada lembut, tetapi penuh tekanan.
Amanda menggigit bibirnya, merasa terjebak. Ia memang sudah bertekad untuk membalas dendam pada Faris, tetapi semakin dalam ia terlibat dengan Ratna, semakin ia menyadari bahwa wanita itu memiliki rencana yang jauh lebih besar.
"Tapi, Tan… aku ingin bertemu dengannya. Sekali saja."
Ratna menghela napas seolah sedang bersabar menghadapi seorang anak kecil yang keras kepala. Ia meletakkan cangkirnya dengan hati-hati, lalu menatap Amanda dalam-dalam.
"Belum saatnya, Amanda. Jika kau gegabah, kau bisa membahayakan anakmu sendiri. Percayalah padaku."
Amanda mengepalkan tangannya, menahan emosi. Ia benci harus terus bersabar, tetapi ia juga tahu Ratna tidak akan berbicara tanpa alasan.
"Baiklah," gumamnya akhirnya.
"Aku akan menunggu. Tapi, pastikan dia benar-benar aman, Tan. Jika sesuatu terjadi padanya, aku tidak akan tinggal diam."
Ratna tersenyum kecil, senang melihat tekad Amanda. "Tentu saja. Aku tidak sekejam itu, Amanda."
Tapi jauh di dalam hatinya, Ratna tahu bahwa semua ini hanyalah bagian dari permainannya. Dan Amanda? Ia hanya bidak kecil yang mudah dikendalikan.
"Sekarang kau boleh pergi, dan jangan pernah bertemu lagi dengan Faris." Ratna menatap Amanda dengan tajam, menegaskan bahwa ini bukan sekadar saran, melainkan perintah.
Amanda mengangguk pelan, meskipun hatinya masih dipenuhi berbagai pertanyaan dan kegelisahan. Ia menggenggam amplop di tangannya lebih erat, seolah itu bisa memberinya kekuatan.
"Aku mengerti, Tan. Aku akan berhati-hati," jawabnya pelan.
Ratna menyeringai tipis. "Bagus. Jangan buat kesalahan, Amanda. Ingat, aku sudah membantumu sejauh ini. Jangan sampai kau mengecewakanku."
Amanda menelan ludah. Ia tahu benar apa konsekuensinya jika membuat Ratna kecewa.
Tanpa berkata apa-apa lagi, ia berbalik dan berjalan keluar dari ruangan itu.
Saat ia menutup pintu di belakangnya, napasnya terasa berat. Jauh di lubuk hatinya, ia tahu bahwa semakin ia menurut pada Ratna, semakin ia kehilangan kendali atas hidupnya. Tapi sekarang, ia tidak punya pilihan lain.
Sementara itu, Ratna menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan senyum penuh kemenangan. Semua berjalan sesuai rencananya, tapi belum sepenuhnya.
Ratna membuka amplop yang diberikan oleh Amanda dengan hati-hati. Senyum licik terukir di wajahnya saat ia menarik keluar beberapa lembar dokumen dari dalamnya. Matanya menyusuri setiap halaman dengan teliti, membaca isi dokumen yang kini berada di tangannya—dokumen penting yang bisa menjadi senjata utama untuk menghancurkan Indira.
"Bagus sekali, Amanda," gumamnya pelan, matanya berbinar penuh kepuasan.
Dokumen ini bukan hanya berisi laporan keuangan perusahaan Indira, tetapi juga rincian proyek-proyek besar yang sedang berjalan. Dengan informasi ini, Ratna bisa dengan mudah menggoyahkan bisnis Indira, membuatnya terpuruk tanpa bisa bangkit lagi.
Ratna menutup dokumen itu dengan senyum puas. Ia tahu bahwa ini baru langkah awal. Masih banyak yang harus ia lakukan untuk memastikan kehancuran Indira, dan dengan Amanda di sisinya, segalanya akan berjalan lebih mudah.
Ia mengambil ponselnya, lalu menghubungi seseorang. Begitu panggilannya tersambung, ia berkata dengan nada dingin namun penuh keyakinan, "Aku punya sesuatu yang kau butuhkan. Kita perlu bicara."
Ratna menyeringai. Permainan yang sebenarnya akan dimulai.
Telepon di tangannya berdering beberapa kali sebelum akhirnya seseorang di ujung sana mengangkatnya. Suara berat seorang pria terdengar, "Ratna? Ada apa?"
Ratna menyeringai, memainkan ujung dokumen di tangannya. "Aku punya informasi berharga tentang perusahaan Indira. Sesuatu yang bisa menghancurkannya dengan cepat dan bersih."
Terdengar suara tawa kecil dari seberang. "Kau selalu punya rencana licik. Jadi, apa yang kau inginkan sebagai gantinya?"
Ratna bersandar di kursinya, matanya berbinar penuh perhitungan. "Kita bertemu. Aku ingin memastikan kau cukup serius untuk mengambil tawaran ini. Jangan lupa, aku tidak bekerja dengan orang yang setengah-setengah."
Hening beberapa detik sebelum akhirnya pria itu menjawab, "Baik. Kirimkan lokasinya. Aku akan datang."
Ratna menutup telepon dengan senyum puas. Sementara itu, tangannya dengan cepat mengetik pesan, mengirim lokasi pertemuan yang telah ia rencanakan. Semua berjalan sesuai skenario.
Dengan dokumen ini dan orang yang tepat di sisinya, Indira akan segera jatuh.
Ratna meraih cangkir tehnya, menyesapnya dengan santai. Dalam permainan ini, dia adalah penguasa. Dan semua bidaknya akan bergerak sesuai kehendaknya.
******
Amanda sedang memasukkan amplop berisi uang ke dalam tasnya dengan buru-buru. Ia tidak ingin ada yang melihatnya, terutama karena ia tahu dari mana uang itu berasal. Namun, di saat yang sama, langkah kakinya tergesa-gesa, pikirannya penuh dengan kebingungan dan kegelisahan.
Bruk!
Tubuhnya tiba-tiba menabrak seseorang. Amanda terhuyung sedikit ke belakang, hampir saja menjatuhkan amplop yang baru saja ia masukkan ke dalam tas. Matanya langsung terangkat untuk melihat siapa yang berdiri di depannya.
Seorang pria bertubuh tegap dengan wajah serius menatapnya.
"Maaf, saya nggak sengaja," ujar Amanda cepat, lalu mencoba pergi begitu saja.
Namun, sebelum ia bisa melangkah lebih jauh, tangannya tiba-tiba dicegah. Pria itu—Antoni—memegang pergelangan tangannya dengan erat namun tidak kasar.
"Jangan takut, saya tidak akan menyakitimu," kata Antoni dengan suara tenang namun tegas.
Amanda menatapnya tajam, lalu dengan cepat menarik tangannya dengan kasar.
"Maaf, Om. Saya sedang buru-buru." Tanpa menunggu balasan, ia melangkah lebih cepat, berusaha menjauh secepat mungkin.
Tapi sebelum ia benar-benar pergi jauh, langkahnya terhenti mendadak.
"Aku tahu di mana keberadaan anakmu, Amanda."
Suara Antoni menggema di telinganya, membuatnya membeku di tempat. Hatinya langsung berdegup kencang, napasnya tercekat. Perlahan, Amanda berbalik, menatap Antoni dengan mata melebar penuh keterkejutan.
"Apa… apa yang barusan Om katakan?" tanyanya dengan suara bergetar.
Antoni menyeringai tipis. "Kalau kau ingin tahu lebih banyak, ikut aku. Tapi bersiaplah, karena setelah ini, hidupmu tidak akan pernah sama lagi."
Amanda menelan ludah, tubuhnya menegang. Ia menatap Antoni dengan penuh kecurigaan, tapi juga dengan harapan yang nyaris padam sejak lama.
"Bagaimana aku bisa percaya padamu?" tanyanya dengan suara pelan namun tajam.
Antoni menyilangkan tangan di dadanya, lalu mendekat sedikit. "Aku tidak butuh kau percaya sekarang. Tapi jika kau benar-benar ingin tahu tentang anakmu, kau harus mendengarkan apa yang akan aku katakan."
Amanda mengepalkan tangannya. Di satu sisi, ia ingin langsung pergi, Antoni bisa saja berbohong atau memiliki niat tersembunyi. Tapi di sisi lain, bagaimana jika dia mengatakan yang sebenarnya?
Dengan napas berat, Amanda akhirnya mengangguk. "Baik. Katakan padaku, di mana anakku?"
Antoni tersenyum samar, lalu melirik sekeliling, memastikan tidak ada yang menguping. "Bukan di sini. Tempat ini tidak aman untuk membicarakannya. Ikut aku ke tempat yang lebih tenang."
Amanda kembali ragu, tapi kali ini ia tidak bisa menolak. Jika benar Antoni tahu sesuatu, ia tidak bisa menyia-nyiakan kesempatan ini.
"Baik. Tapi aku tidak akan ikut ke tempat yang jauh."
"Tenang saja," jawab Antoni, lalu mulai berjalan.
Amanda mengikuti dari belakang, hatinya penuh dengan kegelisahan. Apakah ini perangkap? Ataukah ini benar-benar jawaban yang selama ini ia cari?
Langkah kaki Amanda semakin berat seiring pikirannya yang kembali ke masa tiga tahun lalu, masa di mana ia membuat keputusan yang paling mengerikan dalam hidupnya.
Ia masih bisa mengingat dengan jelas malam itu. Malam saat Faris, pria yang dulu ia cintai, memberinya perintah yang tidak bisa ia terima.
"Buang anak itu. Pastikan dia tidak pernah kembali ke hidup kita."
Kata-kata Faris masih terngiang di kepalanya, dingin dan tanpa belas kasihan. Ia tahu betapa kejamnya Faris, tapi ia tidak pernah menyangka pria itu akan memintanya melakukan sesuatu yang begitu mengerikan, membunuh darah dagingnya sendiri.
Amanda ingat saat ia berdiri di tepi sungai, tubuhnya gemetar hebat, memeluk erat bayi kecil yang baru saja lahir. Bayi itu menangis lirih, seolah tahu bahwa ibunya hendak meninggalkannya. Air matanya jatuh, tapi ia tidak bisa melakukannya.
Ia tidak bisa melemparkan anaknya ke sungai.
Sebaliknya, dengan tangan gemetar, ia berjalan ke gang sepi, menemukan tempat sampah besar di sudut jalan, dan meletakkan bayi itu di sana dengan hati yang hancur.
"Maaf… maafkan Mama…" bisiknya saat air mata mengalir deras di wajahnya.
Kemudian, ia berlari menjauh tanpa menoleh, meninggalkan bayi itu sendirian dalam kegelapan. Sejak saat itu, rasa bersalah terus menghantuinya.
Dan sekarang, tiga tahun telah berlalu. Jika Antoni benar, jika anaknya masih hidup…
Amanda menelan ludah, tangannya mengepal erat.
Ia harus tahu kebenarannya.
Jika anaknya masih ada di luar sana, ia akan melakukan apa pun untuk mendapatkannya kembali.