NovelToon NovelToon
ANAK RAHASIA

ANAK RAHASIA

Status: sedang berlangsung
Genre:Balas Dendam / Lari Saat Hamil / One Night Stand / Single Mom / Hamil di luar nikah
Popularitas:10.9k
Nilai: 5
Nama Author: WikiPix

Rahasia kelam membayangi hidup Kamala dan Reyna. Tanpa mereka sadari, masa lalu yang penuh konspirasi telah menuntun mereka pada kehidupan yang tak seharusnya mereka jalanin.

Saat kepingan kebenaran mulai terungkap, Kamala dan Reyna harus menghadapi kenyataan pahit yang melibatkan keluarga, kebencian, dan dendam masa lalu. Akankah mereka menemukan kembali tempat yang seharusnya? Atau justru terseret lebih dalam dalam pusaran takdir yang mengikat mereka?

Sebuah kisah tentang pengkhianatan, dendam, dan pencarian jati diri yang akan mengubah segalanya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon WikiPix, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

NARASI Episode 30

Affan dan Ratna langsung menoleh saat suara Kamala terdengar. Gadis itu berdiri di ambang pintu dengan Reyna yang menggenggam erat tangannya. Wajah Kamala terlihat tegas namun tetap tenang, berbeda dengan sorot mata Reyna yang tampak waspada dan takut.

"Maaf, Tante," ucap Kamala dengan suara yang sopan namun mantap. "Aku dan Reyna bukan tidak ingin ke rumah Tante. Tapi... Reyna tidak ingin ke sana. Aku tidak bisa memaksanya."

Ratna menatap Kamala tajam, matanya mulai memerah karena emosi yang terus membuncah. Rahangnya mengeras, suara suaranya naik satu oktaf.

"Kau sendiri yang bilang sudah setuju, Kamala!" geramnya.

"Lalu sekarang kau berubah pikiran hanya karena ucapan seorang anak kecil?"

Kamala tetap berdiri tenang, meski sorot matanya mulai berkaca. Namun Ratna belum selesai.

"Apakah kau tidak yakin dengan diriku? Dengan semua bukti yang sudah aku tunjukkan padamu?" desis Ratna, nadanya nyaris putus asa.

"Tes DNA, dokumen rumah sakit, semua itu membuktikan kau adalah anakku, Kamala! Anak yang dulu diambil dariku, yang seharusnya hidup bersamaku, bukan bersama perempuan licik itu!"

Kamala menggigit bibirnya, menahan perasaan yang berkecamuk di dalam dadanya. Ia tidak bisa menyangkal bahwa bukti-bukti yang ditunjukkan Ratna memang mengguncangnya. Tapi bukan itu yang membuatnya ragu. Bukan tentang kebenaran darah, melainkan tentang hati.

"Tante... aku tidak meragukan bukti-bukti itu," ucap Kamala pelan tapi tegas.

"Tapi menjadi seorang ibu... bukan hanya soal siapa yang melahirkan. Tapi soal siapa yang hadir, yang menjaga, yang mencintai tanpa syarat."

Ratna terdiam sejenak, dadanya naik turun karena emosi yang tak terbendung.

Kamala melanjutkan, "Dan sekarang, aku harus memilih... bukan sebagai anak siapa aku, tapi sebagai kakak dari Reyna. Aku tidak bisa membawa dia ke tempat yang dia takuti, meskipun tempat itu rumahku sendiri."

Suasana hening sesaat. Hanya suara angin malam yang terdengar, membawa hawa dingin menusuk ke tulang. Tatapan Ratna perlahan berubah. Bukan lagi hanya marah, tapi juga terluka. Namun di balik itu, juga ada bahaya… karena luka yang dalam, bisa jadi bahan bakar untuk dendam yang lebih kejam.

"Oke! Tak apa," suara Ratna terdengar dingin dan tajam. Matanya menatap perlahan mulai dari Affan ke Kamala dengan sorot yang tak bisa ditebak, antara kecewa, marah, dan tersinggung. "Kau tidak ingin pulang ke rumah, aku tidak akan memaksamu."

Ia menghela napas panjang, lalu tersenyum tipis, bukan senyuman ramah, tapi senyuman penuh ancaman, seolah menyimpan rencana lain di balik ketenangannya.

“Tapi ingat satu hal, Kamala,” ucapnya pelan namun tegas, suaranya bagai desis ular yang menyelinap masuk ke telinga.

“Kau tetaplah anakku, Kamala. Darah yang mengalir di tubuhmu… darahku. Sejauh apa pun kau pergi, sekeras apa pun kau menyangkalnya, kau tidak akan bisa mengubah kenyataan itu.”

Ia menatap Kamala dalam-dalam, tajam, dingin, dan penuh keyakinan. “Dan seorang anak, cepat atau lambat… akan kembali pada ibunya.”

Kemudian, tanpa menunggu balasan, Ratna berbalik dan melangkah pergi, meninggalkan keheningan yang menyesakkan di antara mereka.

Kamala terdiam. Ucapan Ratna barusan terngiang-ngiang di telinganya, menancap tajam dalam pikirannya. Nafasnya tercekat, dan jemarinya mengepal di sisi tubuhnya, berusaha menahan gejolak emosi yang mulai naik ke permukaan.

Affan melangkah mendekat, menatap Kamala dengan lembut. “Kau nggak perlu takut,” ujarnya pelan. “Selama aku di sini, tak akan ada yang bisa menyentuhmu, termasuk dia.”

Kamala mengangguk perlahan, meski hatinya masih diliputi kegelisahan. Ia menoleh ke arah Reyna yang berdiri tak jauh darinya, memandangi kejadian tadi dengan tatapan bingung dan takut. Gadis kecil itu merapat ke sisi Kamala, menggenggam tangan ibunya erat-erat.

“Dia menakutkan, Ma…” bisik Reyna.

Kamala berlutut, memeluk putrinya dan mencium ubun-ubunnya dengan lembut. “Mama nggak akan biarin siapa pun menyakitimu. Kita akan baik-baik saja.”

Sementara itu, dari kejauhan, Ratna berdiri di tepi jalan, menatap rumah itu sekali lagi dari balik jendela mobil. Ia merogoh tasnya dan mengeluarkan ponsel.

“Parman,” katanya ketika sambungan tersambung, suaranya berubah dingin dan penuh intrik. “Aku tidak jadi membawa mereka malam ini. Tapi ini belum selesai. Awasi terus rumah itu. Siapapun yang masuk atau keluar, aku harus tahu. Jangan sampai ada yang lolos.”

“Siap, Bu,” jawab Parman di ujung sana.

Ratna menutup telepon dan menyandarkan punggungnya ke kursi, matanya menatap tajam ke depan.

“Kalau kau pikir bisa menghindari dariku, Kamala… kau salah besar,” gumamnya.

Lalu mobil itu melaju perlahan, menembus malam yang pekat, meninggalkan rencana-rencana gelap yang masih menggantung di udara.

******

Amanda masih berdiri, matanya belum lepas dari pemandangan di luar sana. Ketegangan yang tadi terjadi membuatnya sedikit gelisah, meskipun ia tidak sepenuhnya memahami apa yang sedang terjadi.

Antoni meliriknya dari samping, menyilangkan tangan di dada. Suaranya pelan namun penuh makna saat berkata, “Bagaimana, Amanda? Apakah kau sudah tahu siapa wanita tadi? Dan anak kecil yang bersamanya… Mirip dengan foto yang aku tunjukkan padamu tadi, bukan?”

Amanda menoleh pelan, wajahnya menunjukkan kebingungan. “Aku… nggak mengenal mereka. Sama sekali,” ujarnya jujur. “Wanita itu, pria yang bersamanya, aku belum pernah melihat mereka sebelumnya.”

Antoni tersenyum samar, namun matanya tetap mengamati Amanda dengan tajam. “Tapi anak kecil itu… wajahnya sangat mirip dengan Faris. Terlalu mirip untuk dianggap kebetulan.”

Amanda mengerutkan kening, hatinya mulai diliputi rasa tak nyaman. “Apa benarkah? Dia adalah anakku, Antoni."

Antoni menatapnya lebih dalam, lalu menggeleng pelan. “Aku belum bisa memastikan seratus persen, Amanda. Tapi dengan melihat langsung… ekspresi matanya, bentuk wajahnya, bahkan cara dia berjalan, semuanya mirip Faris. Terlalu banyak kemiripan untuk diabaikan.”

Ia menghela napas pendek, lalu menambahkan dengan nada lebih pelan, namun serius, “Tapi ingat, jangan gegabah untuk mendekatinya. Jangan lakukan apa pun yang bisa menimbulkan kecurigaan, terutama dari Ratna. Jika dia tahu aku yang memberimu informasi soal anak itu, semua yang sudah aku rencanakan bisa hancur.”

Amanda mengangguk pelan, wajahnya mulai menegang, antara cemas dan penasaran. “Jadi… aku hanya mengamati dari jauh dulu?”

“Untuk saat ini, ya,” sahut Antoni cepat. “Kita harus bergerak hati-hati. Anak itu mungkin benar milikmu, Amanda. Tapi kalau kita salah langkah, dia bisa jatuh ke tangan yang salah… seperti Ratna.”

Wajah Amanda mengeras. Ia tahu satu hal dengan pasti, apapun yang terjadi, ia harus tahu kebenaran. Dan ia harus melindungi anak itu… jika benar, anak itu adalah darah dagingnya.

Antoni perlahan melangkah menjauh, meninggalkan Amanda yang masih terpaku di tempatnya. Hembusan angin malam menyapu rambutnya yang tergerai, sementara tatapannya tetap tertuju pada rumah Affan yang kini pintunya tertutup rapat. Rumah itu tampak sunyi, nyaris tak ada tanda kehidupan di dalamnya.

Kesunyian malam semakin pekat, tak ada suara kendaraan, tak ada langkah kaki, hanya gemerisik dedaunan yang tertiup angin. Amanda berdiri membisu, dadanya sesak oleh rasa yang sulit dijelaskan—antara rindu yang samar, harapan yang menggantung, dan ketakutan akan kebenaran yang mungkin menyakitkan.

Matanya masih terpaku pada satu jendela di lantai atas. Di balik kaca buram itu, mungkinkah anak yang selama ini ia cari, kini sedang tertidur pulas?

Ia mengepalkan tangannya pelan, menahan gejolak di dalam dada. Hatinya berbisik untuk mendekat, tapi pikirannya memintanya menunggu. Menunggu waktu yang tepat. Menunggu kebenaran yang pasti.

Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya… Amanda merasa begitu dekat, tapi sekaligus begitu jauh.

Dengan langkah pelan dan berat, Amanda akhirnya memalingkan wajahnya dari rumah Affan. Matanya masih menyisakan tatapan penuh harap dan duka yang tertahan. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan gejolak dalam hatinya, namun sesak itu tak juga surut.

Langkah-langkahnya menyusuri trotoar malam dengan kepala tertunduk. Sepi menyelimuti jalanan, hanya suara sepatu haknya yang terdengar samar di antara bisikan angin. Sinar lampu jalan memantulkan bayangannya yang tampak rapuh, seperti seorang wanita yang menyimpan terlalu banyak kehilangan.

Air matanya menetes perlahan, tapi ia tidak menghapusnya. Dibiarkannya jatuh, mengalir bersama perasaan yang selama ini dipendam. Rasa bersalah, rindu, dan ketakutan akan kebenaran yang mungkin tak bisa ia terima.

Amanda tahu, malam ini bukan waktunya. Tapi ia juga tahu, ia tidak bisa terus menjauh.

"Maafkan Mama…" bisiknya lirih, entah kepada siapa. Mungkin kepada anak yang belum pernah ia peluk. Mungkin kepada dirinya sendiri.

Dan di bawah langit malam yang dingin, Amanda terus melangkah menjauh, membawa luka yang baru saja kembali terbuka.

Beberapa langkah menjauh dari rumah Affan, suara dering ponsel memecah keheningan malam. Amanda berhenti sejenak, menatap layar ponselnya yang menampilkan nama Ratna. Dengan enggan, ia mengusap air mata yang masih menggantung di pipi, lalu mengangkat panggilan itu.

“Halo?” sapanya dengan suara yang lelah.

“Di mana kau sekarang?” suara Ratna terdengar tegas, tanpa basa-basi, seperti biasa.

“Aku ada di rumah, Tante,” jawab Amanda pelan.

Ratna mendesah pelan, lalu berkata, “Aku ingin kau melakukan sesuatu untukku.”

Amanda menegakkan tubuhnya, mencoba menyembunyikan nada getir dalam suaranya. “Apa itu?”

Ratna menghela napas pelan sebelum melanjutkan perintahnya dengan nada dingin namun penuh tekanan.

“Datang saja ke rumahku sekarang. Aku tidak mau bicara lewat telepon,” katanya tegas. “Ada hal penting yang harus kita bahas langsung.”

Amanda menggigit bibir bawahnya, rasa lelah dan gelisah bercampur menjadi satu. “Baik, Tante. Aku akan segera ke sana,” ucapnya pelan.

“Jangan lama,” Ratna menutup telepon tanpa menunggu jawaban.

Amanda menurunkan ponselnya perlahan. Ia menatap sejenak ke arah rumah Affan yang kini semakin menjauh di belakangnya, lalu menarik napas panjang dan mulai melangkah ke arah mobilnya.

Apa pun yang sedang direncanakan Ratna… Amanda bisa merasakannya. Malam ini, semuanya sedang berubah. Dan ia harus siap, apa pun yang akan menunggunya di rumah itu.

1
Alvina Margaretha
ayolah thor lama bgt up nya
Sarul Parjo
bagus
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!