Cerita ini kelanjutan dari novel "Mencari kasih sayang"
Pernikahan adalah ibadah terpanjang karena dilakukan seumur hidup. Pernikahan juga disebut sebagai penyempurnaan separuh agama.
Dua insan yang telah di satukan dalam ikatan pernikahan, tapi kebahagiaan mereka tidak berlangsung lama. Hari memiliki rahasia yang dapat menghancurkan kepercayaan Resa. Apakah dia dapat bertahan?
Resa menemukan kebenaran tentang Hari yang telah menyembunyikan kebenaran tentang status nya. Resa merasa dikhianati dan tidak tahu apa yang harus dilakukan. Apakah dia harus memaafkan Hari atau meninggalkannya?
Apakah cinta Resa dan Hari dapat bertahan di tengah konflik dan kebohongan? Apakah Resa dapat memaafkan Hari dan melanjutkan pernikahan mereka?
Apakah mereka akan menemukan kebahagiaan atau akan terpisah oleh kebohongan dan konfliknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ry, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
19 Doa dan kesabaran
Hari dan Resa tiba di kediaman Surya, dan Hari langsung memarkirkan mobilnya. Dia keluar dari dalam mobil dan membukakan pintu mobil untuk Resa, sebuah perhatian kecil yang membuat seorang anak kecil yang sedang bermain melihat ke arah mereka.
Resa merasa gelisah dan berdoa dalam hatinya, "Gusti, hilangkan lah perasaan gelisah ini." Dia memalingkan wajahnya ke arah lain, tapi tidak bisa menghindari rasa sakit yang dia rasakan saat melihat Umai. Rasa sakit itu seperti luka yang tidak bisa disembuhkan, karena Resa merasa harus bersaing dengan Umai untuk mendapatkan perhatian Hari.
Di dalam kesunyian, Resa terdiam, terhanyut dalam gelombang pikiran yang dalam. Trauma masa lalu datang tanpa diam, membekas, dan mengikis tanpa ampun. Ada luka yang tidak terlihat, tertanam dalam, dan berbisik dalam gelap. Luka itu bukan sekedar luka biasa, tapi bayangan yang tidak pernah hilang, menghantui Resa dan membuatnya merasa terjebak dalam kesakitan yang tidak berakhir.
Berat, seperti dunia runtuh, seperti awan gelap tak mau pergi. Namun dalam setiap tarikan napas, ada harapan kecil yang berbisik: "Bertahanlah."
Luka itu bukan akhir yang pahit, seperti hujan yang akan berhenti, Resa tahu, ada harapan yang menanti, meski trauma tetap menyertai.
Semoga Setiap Aktivitas nya Bernilai ibadah, Agar Tak hanya dapatkan Lelah Namun jadi Berkah.
Resa melangkah dengan perasaan gundah, masih terbayang dengan apa yang terjadi sebelumnya. Namun, saat dia tiba di rumah itu, dia disambut dengan ramah oleh ibu mertuanya. Ibu mertuanya menyapa Resa dengan hangat, seolah-olah tidak ada apa-apa yang terjadi.
Dengan canggung dia tersenyum sambil menyalami ibu mertuanya, merasa sedikit lega karena sambutan yang hangat.Namun, dia juga merasa sedikit heran karena paman Surya tidak terlihat di sana.
Dia tahu bahwa paman Surya sudah tua dan sering mengalami masalah kesehatan,maka dari itu Ibu mertuanya yang akhir akhir ini bulak balik mengurus kakaknya.
"ayo,masuk nak,!" kata ibu mertuanya dengan senyum. "Bagaimana kabar keluarga mu?"
"Alhamdulillah baik mah" Resa menjawab dengan sopan.
"syukur lah,kalau mereka baik,ibu belum bisa berkunjung lagi kesana, karena akhir akhir ini haji Surya lagi kurang sehat,kamu tahu sendiri kan kondisi kesehatan nya yang sering menurun"
Resa hanya mengangguk paham dan memaklumi.Resa dan ibu Tika, duduk di ruang keluarga, sementara Hari pergi menemui paman Surya di kamarnya dengan membawa Umai di gendongannya. Ibu Tika bertanya kepada Resa apakah dia sudah makan belum, dan menawarkan untuk mengambilkan makanan. Namun, Resa menolak dengan beralasan bahwa dia sudah makan di rumah ayahnya sebelum pulang ke sana.
Gadis itu merasakan kecanggungan ketika duduk berdua dengan mertuanya.Dia bingung harus berkata apa dan merasa tidak nyaman. Akhirnya, dia meminta izin kepada ibu Tika untuk beristirahat lebih awal karena masih merasa tidak enak badan.
"Mah,Resa izin istirahat lebih awal, boleh." kata Resa dengan sopan.
Ibu Tika tersenyum dan mengangguk, "Baiklah, nak. Tidurlah yang nyenyak."
Resa tersenyum dan mengucapkan terima kasih, lalu masuk ke dalam kamar. Setelah beberapa menit berlalu, dia merebahkan diri di atas kasur, tapi matanya tak mau terpejam juga. Dia merasa masih terjaga dan tidak bisa tidur.
Akhirnya, dia memutuskan untuk mengaji sambil menunggu kantuk datang. Mungkin dengan begitu, hatinya yang gundah akan merasa tenang. Dia mengambil wudhu terlebih dahulu kemudian mengambil Al-Qur'an dan mulai membaca ayat-ayat yang indah dan menenangkan. Perlahan-lahan, dia merasa hatinya menjadi lebih tenang.
Dari arah luar, seorang anak kecil membuka pintu dan menyembulkan kepalanya di balik pintu tersebut. Dia merasa penasaran karena samar-samar mendengar suara orang mengaji dari dalam. Matanya yang besar dan penasaran menatap ke dalam kamar, mencoba untuk melihatnya.
Namun, tak lama kemudian, seorang wanita paruh baya, yang ternyata adalah ibu Tika, menghampiri anak itu dan menegurnya. "Umai, gak boleh ganggu nak, biarkan mamah Resa istirahat ya. Kalau mau main bisa besok lagi, sekarang udah waktunya Umai bobo," peringat ibu Tika dengan suara lembut.
Ibu Tika kemudian menutup rapat pintu kamar yang sempat terbuka sedikit, sehingga Umai tidak bisa melihat ke dalam kamar lagi. Umai memandang ibu Tika dengan mata yang sedikit kecewa, tapi kemudian dia tersenyum dan mengangguk, sebelum berlari pergi untuk tidur.
Beberapa jam kemudian, Hari masuk ke dalam kamar dan berbaring di sebelah Resa yang sudah terlelap. Ketika matanya baru terpejam, dia mendengar Resa mengigau. Dia membuka matanya kembali dan melihat keadaan istrinya, menatap lekat raut wajah yang gelisah dengan tetesan keringat di wajahnya.
Entah apa yang sedang terjadi dalam mimpi Resa.Hari memeluk Resa dengan lembut, berusaha untuk menenangkannya. Dia merasa khawatir melihat istrinya yang sedang mengigau dan menangis dalam tidurnya. "Kamu selalu membuat aku khawatir," batin Hari, merasa sedih dan tidak tahan melihat Resa dalam keadaan seperti itu.
Namun, Hari juga menyadari bahwa dia memiliki banyak kekurangan dan tidak bisa memberikan semua yang Resa inginkan. "Walau pada dasarnya aku tak tahan karena hal itu sangat menyakitkan, namun apa daya? Aku-pun banyak kekurangan yang sulit untuk ku sampingkan," pikir Hari.
Hari merasa bahwa dia tidak bisa memberikan semua yang Resa inginkan, terutama dalam hal waktu dan perhatian. "Lalu apa yang bisa membuatmu percaya? Disaat ruangku terbatas dan waktuku tak luas. Sedangkan untuk membahagiakanmu, aku butuh semua itu," batin Hari.
Hari juga menyadari bahwa dia tidak hanya harus mempertimbangkan kebahagiaan Resa, tapi juga kebahagiaan anaknya sendiri. "Mungkin kamu bisa memahami, namun bagaimana dengan Humaira?" pikir Hari, merasa bahwa dia harus menemukan keseimbangan antara kebahagiaan Resa dan kebahagiaan anaknya sendiri.
Dan perlakuannya berhasil membuat sang istri tenang dalam tidurnya, Hari pun tidur dengan mendekap Resa. Tak terasa, suara Adzan subuh berkumandang membangunkannya untuk melaksanakan kewajiban sholat subuh.
Resa membangunkan Hari untuk mengajaknya sholat berjamaah. "A, bangun. Sudah waktunya sholat subuh," kata Resa dengan lembut.
Hari membuka mata, tapi tidak langsung beranjak dari tempat tidur. Resa memandang wajah suaminya yang enggan membuka mata. Dia tahu bahwa Hari tidak pernah pergi berjamaah ke masjid selama mereka tinggal di rumah itu.
"Kamu aja duluan, Ai, nanti AA nyusul," kata Hari dengan suara yang lembut tapi tidak bersemangat.
Resa merasa sedikit kecewa, tapi dia tidak ingin memaksa Hari. Jika menuruti ego, mungkin Resa juga tidak akan beranjak dari tempat tidur, karena dia masih merasa tidak enak badan. Namun, melaksanakan sholat adalah kewajiban yang tidak boleh ditinggalkan.
Dengan lemas, Resa beranjak turun dari tempat tidur untuk mengambil wudhu dan sholat sendiri, tanpa diimami oleh suaminya. Setelah sholat usai, Resa berdoa, berharap bahwa suaminya bisa satu tujuan dengan dirinya.
Resa berdoa dengan tulus, semoga Allah SWT membuka pintu hidayah bagi suaminya dan membimbingnya ke jalan yang benar. Dia berharap bahwa suaminya bisa menjadi lebih baik dan lebih rajin dalam beribadah, sehingga mereka bisa mengejar surga bersama.
Setelah berdoa,kini merasa lebih tenang dan damai. Dia kembali ke tempat tidur dan memandang suaminya yang masih tidur.
Resa berbicara dengan suara yang lembut dan penuh harapan, "Kemarin aku kira setelah menikah denganmu aku bisa sholat bersama, tapi ternyata aku masih sholat sendiri. Tapi tidak apa-apa, aku tidak perlu memaksa mu beribadah, apalagi sampai memarahi mu."
Dia berhenti sejenak, memandang suaminya dengan mata yang berkaca-kaca, "Karena aku tidak bertanggung jawab atas neraka mu, justru kamu yang bertanggung jawab atas neraka ku."
Resa tersenyum kecut, "Jadi, aku cukup diam sesekali mengingatkanmu sambil terus mendoakan mu agar hatimu terbuka untuk mengejar surga bersama. Karena sungguh berat menginginkan bisa ke surga bersama namun kau tidak ada di sana."
Dia berharap bahwa suaminya bisa memahami perasaannya dan bersedia untuk memperbaiki diri.Resa yakin bahwa dengan doa dan kesabaran, suaminya pasti bisa berubah dan menjadi lebih baik.