Arka, detektif yang di pindah tugaskan di desa terpencil karena skandalnya, harus menyelesaikan teka-teki tentang pembunuhan berantai dan seikat mawar kuning yang di letakkan pelaku di dekat tubuh korbannya. Di bantu dengan Kirana, seorang dokter forensik yang mengungkap kematian korban. Akankah Arka dan Kirana menangkap pelaku pembunuhan berantai?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Faustina Maretta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kemunculan Riko
Malam itu di rumah sakit, Faisal terbaring lemah, napasnya teratur namun masih terasa berat. Arka duduk di sampingnya, menunggu dengan sabar. Saat Faisal membuka matanya, Arka menyadari bahwa ini adalah saat yang tepat untuk berbicara.
"Terima kasih sudah menyelamatkanku," bisik Faisal, suaranya serak dan lemah.
Arka mengangguk, matanya tajam, penuh perhatian. "Kita butuh informasi darimu. Apa yang kamu tahu tentang Riko dan kelompoknya?"
Faisal berusaha mengingat, keningnya berkerut. "Riko ... dia tidak sendirian. Aku mendengar suaranya, tapi ada orang lain. Mereka berbicara dengan bisikan, berusaha menyembunyikan sesuatu."
Arka mengerutkan kening. "Apa yang mereka rencanakan?"
Faisal menatap Arka dengan mata penuh ketakutan. "Aku tidak tahu pasti, tapi mereka merencanakan sesuatu yang besar. Riko sering menyebut tanggal dan lokasi, tapi aku tidak bisa menangkap semuanya."
Di sebelah Arka, Kirana yang mendengar percakapan antara Arka dan Faisal mencoba untuk menganalisa situasi. Ia segera mengajak Arka untuk bicara di luar ruangan. "Arka, periksa Faisal lagi. Bisa jadi dia hanya berhalusinasi. Situasinya mungkin lebih kompleks dari yang kita kira."
Arka mengangguk lalu kembali masuk ke ruangan. "Faisal, apakah kamu yakin dengan apa yang kamu dengar? Ini mungkin efek trauma yang kamu alami."
Faisal menggeleng lemah. "Aku yakin. Ada orang lain. Aku mungkin tidak bisa mendengar mereka jelas, tapi aku bisa merasakan kehadiran mereka. Ini bukan halusinasi."
Arka mengangguk pelan, lalu berbicara kembali kepada Kirana. "Kirana, aku akan memeriksa ulang. Tapi kita harus mengambil langkah pencegahan. Kirim tim untuk memantau area yang Faisal sebutkan."
Kirana menghela napas di ujung saluran. "Baik, Arka. Tapi tetap waspada. Kita tidak bisa mengambil risiko berdasarkan informasi yang belum pasti."
Arka kembali fokus pada Faisal. "Kami akan memeriksa lebih lanjut. Untuk sekarang, kamu istirahatlah. Kami akan menangani ini."
Faisal mengangguk lemah, matanya mulai menutup kembali. Arka berdiri dan berjalan keluar ruangan, pikirannya penuh dengan pertanyaan. Jika Faisal benar, ancaman yang mereka hadapi jauh lebih besar dari yang mereka duga. Namun, jika ini hanya halusinasi, mereka harus berhati-hati agar tidak terjebak dalam kekeliruan informasi.
Di markas, Arka dan Bayu mempersiapkan tim untuk menyisir lokasi yang disebutkan Faisal. Meskipun skeptis, mereka tahu bahwa setiap petunjuk, sekecil apa pun, bisa menjadi kunci untuk mengungkap kebenaran.
"Kita harus bertindak cepat, tetapi juga berhati-hati," ujar Arka saat mereka berdiskusi. "Kita tidak bisa membiarkan emosi menguasai kita."
Bayu setuju, tetapi dalam hati Arka, ia tahu bahwa intuisi Faisal tidak boleh diabaikan begitu saja. Sesuatu yang besar sedang direncanakan, dan mereka harus siap menghadapi apa pun yang datang.
---
Keesokan harinya, Arka, Kirana, dan Bayu berkumpul di ruang briefing. Papan besar di depan mereka dipenuhi dengan peta dan foto-foto terbaru dari pengawasan. Tim mereka telah memeriksa lokasi yang disebutkan Faisal, tetapi hasilnya nihil. Namun, Arka merasa ada sesuatu yang terlewat.
"Kirana, ada laporan lain dari tim forensik?" tanya Arka, matanya tetap fokus pada peta.
Kirana menggeleng. "Tidak ada aktivitas mencurigakan sejauh ini. Lokasi yang disebut Faisal tampaknya bersih."
Bayu, yang duduk di sudut ruangan, menghela napas panjang. "Mungkin kita terlalu cepat menarik kesimpulan dari ucapan Faisal. Bisa saja itu memang hanya halusinasinya."
Arka memandang Bayu sejenak, lalu kembali menatap peta. "Mungkin, tapi aku tidak bisa mengabaikan naluriku. Ada sesuatu yang tidak sesuai. Riko bukan tipe orang yang bergerak tanpa rencana matang."
Kirana mendekat, menepuk bahu Arka. "Kita akan menemukan jawabannya. Tapi untuk sekarang, mungkin kita harus fokus pada bukti yang ada."
Saat mereka berbicara, sebuah pesan masuk ke perangkat komunikasi Kirana. Dia membaca pesan itu dengan cepat, lalu wajahnya berubah serius.
"Ada laporan baru dari tim lapangan. Mereka menemukan sebuah gudang di kawasan industri yang tampak mencurigakan. Tempat itu tidak masuk dalam daftar lokasi yang sering diperiksa. Mungkin ini yang kita cari."
Arka segera bangkit. "Kita harus pergi ke sana sekarang. Bayu, siapkan tim. Kita tidak boleh kehilangan kesempatan ini."
Dalam waktu singkat, mereka berangkat menuju gudang yang dimaksud. Setibanya di sana, suasana sunyi dan mencurigakan menyelimuti area tersebut. Gudang tua itu tampak seperti bangunan yang telah lama ditinggalkan, tetapi Arka merasakan sesuatu yang berbeda.
"Tim, tetap waspada," perintah Arka melalui radio.
Mereka mendekati pintu utama gudang dengan hati-hati. Bayu, dengan keahlian teknisnya, berhasil membuka kunci pintu tanpa menimbulkan suara. Perlahan, mereka masuk ke dalam gudang yang gelap.
Di dalam, ruangan itu tampak kosong pada pandangan pertama. Namun, saat mereka menyisir lebih dalam, Kirana menemukan pintu kecil yang hampir tersembunyi di sudut ruangan. Dengan hati-hati, dia membuka pintu itu, memperlihatkan sebuah tangga yang mengarah ke bawah.
"Ada ruangan bawah tanah," lapor Bayu.
Mereka menuruni tangga dengan hati-hati, senter di tangan, siap menghadapi apa pun yang menanti mereka di bawah. Saat mencapai dasar, mereka menemukan ruangan yang mirip dengan markas pengawasan sebelumnya, tetapi dengan skala yang lebih besar.
"Ini pasti markas utama mereka," kata Arka sambil memeriksa sekeliling. "Lihat semua peralatan ini. Mereka memantau dan merencanakan sesuatu yang besar."
Bayu mulai memeriksa komputer-komputer yang ada di ruangan itu, sementara Kirana menemukan peta kota yang penuh dengan tanda merah. "Ini titik-titik tempat para korban di temukan. Dan lihat ... masih banyak titik-titik yang lain!"
Arka segera menghubungi pusat komando. "Kita butuh bala bantuan di sini. Kami telah menemukan markas utama mereka dan mereka merencanakan serangan besar."
Tak lama kemudian, suara langkah kaki terdengar dari atas. Arka mengangkat tangannya, memberi isyarat kepada timnya untuk bersiap. Pintu di atas terbuka, dan beberapa orang bersenjata muncul, menodongkan senjata ke arah mereka.
"Serahkan diri kalian," kata salah satu dari mereka dengan nada mengancam.
Arka, Kirana, dan Bayu saling bertukar pandang. Mereka tahu bahwa pertempuran belum berakhir. Dengan keberanian yang tersisa, mereka bersiap menghadapi musuh, bertekad untuk menghentikan Riko dan kelompoknya sebelum rencana jahat mereka terwujud.
Arka menodongkan senjata apinya, memusatkan pandangannya pada pria tinggi yang tampak memimpin kelompok itu. Di sekelilingnya, beberapa anggota kelompok terlihat cemas, tangan mereka mulai meraih senjata di pinggang. Arka tidak bergeming, tetap tenang meski situasi semakin tegang.
"Tidak ada jalan keluar," kata Arka dengan suara tegas namun tenang. "Serahkan diri kalian sekarang, atau kalian akan berhadapan langsung dengan kami."
Pria itu menatap Arka dengan tatapan penuh kebencian, tangannya mengepal di sisi tubuhnya. "Kau pikir kami akan menyerah begitu saja? Kami lebih baik mati daripada ditangkap."
Arka menggeleng perlahan, tetap menjaga senjatanya terarah. "Tidak ada yang perlu mati di sini. Serahkan diri kalian, dan kita bisa menyelesaikan ini tanpa ada yang terluka."
Salah satu dari anak buah pria itu, tampak lebih muda dan gugup, melangkah mundur sedikit. Dia melirik pemimpin mereka, lalu kembali menatap Arka. "Mungkin kita harus menyerah, Bos. Mereka sudah mengepung kita."
Pemimpin mereka menatap anak buahnya dengan tajam. "Diam! Kita tidak akan menyerah!"
Namun, Arka melihat keraguan di mata beberapa anggota kelompok itu. Dia memutuskan untuk memanfaatkan momen itu. "Dengar, kalian masih punya pilihan. Jika kalian menyerah sekarang, kalian bisa mendapatkan keadilan di pengadilan. Tapi jika kalian melawan, kalian hanya akan memperburuk keadaan."
Ketegangan di ruangan itu semakin meningkat. Beberapa anggota kelompok itu mulai menurunkan senjata mereka, melihat bahwa melawan mungkin bukan pilihan terbaik. Namun, pemimpin mereka tetap berdiri tegak, menolak untuk mundur.
"Aku tidak akan menyerah," gumam pria itu dengan penuh kebencian, Riko.
To be continued ...