Demi menghindari bui, Haira memilih menikah dengan Mirza Asil Glora, pria yang sangat kejam.
Haira pikir itu jalan yang bisa memulihkan keadaan. Namun ia salah, bahkan menjadi istri dan tinggal di rumah Mirza bak neraka dan lebih menyakitkan daripada penjara yang ditakuti.
Haira harus menerima siksaan yang bertubi-tubi. Tak hanya fisik, jiwanya ikut terguncang dengan perlakuan Mirza.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nadziroh, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Salah
Cahaya mentari yang menerpa wajah mengusik hingga membuat Mirza menggeliat. Ia mengerjap-ngerjapkan matanya yang masih sangat berat. Tangannya bergerak, memijat kepalanya yang terasa pusing.
Mengembalikan nyawanya yang tercecer. Mengingat kejadian sebelum ia tertidur pulas.
Semalam aku ke klub.
Menghembuskan napas, lalu menyibak selimutnya. Dengan susah payah Mirza bangun dan bersandar di hardboard.
"Kenapa kepalaku pusing sekali, memangnya berapa botol minuman yang aku habiskan?" gumam nya lirih. Tubuhnya terlalu lemah untuk turun hingga berdiam sejenak. Jika dulu ia selalu mendapat sambutan setelah bangun tidur, kini hatinya seakan kosong, tiada penghuni yang bersemayam di sana.
Setelah cukup mengembalikan seluruh ingatannya, Mirza menurunkan kedua kakinya. Matanya menatap setelan kantor yang sudah siap di samping lemari.
"Siapa yang menyiapkan baju kantor ku?"
Mirza melangkah. Mengangkat satu persatu baju yang sudah siap membalut tubuhnya.
"Apa mungkin ini kerjaan Naina?" terka nya, mengembalikan gantungan itu lalu keluar. Pasalnya, hanya Naina pelayan yang berani masuk ke kamarnya. Bahkan bi Eniz pun tak sembarang masuk jika tidak ada perintah.
Matanya menatap ke arah Haira yang sedang membersihkan ruang keluarga. Ia tak peduli dan melintas segitu saja tanpa ingin menyapa gadis yang semalam bersusah payah membantunya mengganti baju.
Haira tersenyum kecil saat menatap punggung Mirza yang semakin menjauh.
Tampan sekali, apalagi gambar piyama nya, lucu. Apa dia sangat menyukai kartun doraemon.
Mirza duduk di ruang tengah. Menyeruput kopinya yang sudah mulai menghangat, tangannya meraih ponsel yang ada di sana.
Erkan yang baru datang menahan tawa melihat piyama yang melekat ditubuh Tuannya. Namun, ia tak ada keberanian untuk menegur.
Apa semalam beneran Haira yang mengganti baju Tuan Mirza? Tapi sepertinya Tuan Mirza tidak menyadarinya.
Seandainya itu bukan Tuannya, Erkan sudah terpingkal-pingkal sambil memegang perutnya.
"Semalam aku pulang jam berapa?" tanya Mirza tanpa menatap.
"Jam sepuluh, Tuan," jawab Erkan seketika.
Pura-pura merapikan dasinya yang memang sudah rapi.
Mirza mendongak ke atas. Jika mengingat Lunara, kepalanya seperti mau pecah, rasa rindunya tak bisa dikendalikan dan terkadang membuatnya kacau.
"Apa saja jadwal hari ini?" tanya Mirza datar. Melirik Haira yang nampak menghampirinya.
"Sarapan Anda sudah siap, Tuan," selak Haira sebelum Erkan menjawab pertanyaan Mirza.
Tidak ada jawaban, Mirza justru memalingkan wajahnya, enggan untuk bertatap langsung dengan gadis itu. Beranjak dari duduknya lalu membuka lemari pendingin, tanpa sengaja Mirza mendengar suara tawa kecil dari arah dapur.
Ehem
Mirza berdehem, mengambil sebotol air dingin dari sana. Menatap Bi Enis yang baru saja keluar. Wanita itu membungkuk ramah, menyapa. Lalu, melanjutkan aktivitasnya tanpa ingin mengatakan sesuatu. Meskipun ada yang menjanggal, tetap memilih bungkam.
Sepertinya rumah ini penuh keanehan.
Mirza pindah dan duduk di ruang makan. Diikuti Erkan dari belakang.
"Hari ini ada pertemuan dengan Tuan Bahadir. Dia ingin membicarakan tambang batu bara milik Tuan yang ada di luar kota. Jam dua ada pertemuan dengan Izi, yang ingin bekerja sama dengan pabrik garmen."
Mirza hanya mendengarkan tanpa menjawab. Ia kembali ke kamar. Baru saja berdiri di depan cermin, dahinya mengernyit dengan mata yang memicing. Menatap piyama nya dari pantulan cermin.
"Apa ini?" Menjewer baju piyama yang membuatnya jijik.
Jadi semua orang menertawakan ku, pikirnya, mengingat tatapan Erkan yang tak di mengerti. Juga para pelayan yang menatapnya dengan tatapan aneh.
Brak
Mirza menggebrak meja. Menarik bajunya dengan kasar lalu menggenggamnya hingga berbentuk lingkaran.
"Kurang ajar, siapa yang berani melakukan ini padaku. Aku pastikan dia tidak bisa lagi bernafas."
Mirza membuka pintu dengan keras. Menunjukkan kemarahannya yang memuncak.
Semua orang yang mendengar itu tersentak kaget, bahkan bi Enis mengelus dadanya melihat Mirza yang telanjang dada dengan wajah yang dipenuhi amarah. Matanya merah menyala dengan tatapan tajam.
"Erkan, suruh semuanya berkumpul di sini, termasuk kamu!" titah Mirza dengan suara lantang.
Setelah mendapat perintah dari Erkan, seluruh pelayan yang ada di rumah itu berhamburan menghampiri Mirza. Mereka berbaris rapi menghadap sang Tuan yang memamerkan dada bidangnya.
Haira berdiri paling belakang. Sedikitpun tak berani menatap Mirza mengingat piyama yang saat ini ada di tangan pria itu.
"Siapa yang tadi malam menganti bajuku?" Melirik Erkan yang berdiri di sampingnya, karena hanya pria itu yang selalu bersama Mirza, kemanapun dan dimanapun.
Arini yang ada di sudut tangga melipat kedua tangannya. Bersiap menyaksikan apa yang akan dilakukan Mirza pada orang yang sudah mempermalukan nya.
Erkan langsung menatap Haira. Itu saja sudah cukup memberi tanda jika wanita itu lah pelakunya.
Hening
Semua saling tatap dan mengangkat bahu, sedangkan Haira hanya bisa menunduk, menahan dadanya yang mulai bergemuruh hebat. Keringat dingin mulai bercucuran membasahi kulitnya, rasa takut menyelimuti hingga membuat sekujur tubuhnya bergetar.
"Jika tidak ada yang mengakui, aku akan __"
"Sa… saya, Tuan."
Haira mengangkat tangannya.
Seketika itu juga Mirza melempar bajunya tepat di wajah Haira.
Semoga Tuan Mirza tidak menghukum Haira dengan berat.
Bi Enis hanya bisa membantu doa. Sebab, tidak ada yang berhak membela siapapun yang melakukan kesalahan di rumah itu.
"Sekarang semua pergi, kecuali kamu." Menunjuk Haira yang mencengkeram erat piyama milik Mirza.
Haira masih menundukkan kepalanya. Tidak berani menatap wajah Mirza yang menurutnya sangat mengerikan.
"Apa menurutmu ini lucu?" tanya Mirza datar.
Lucu, Haira hanya menjawab dalam hati.
"Tidak, Tuan," jawab Haira sambil menggelengkan kepala.
Mirza mencengkram lengan Haira hingga membuat sang empu meringis.
"Saya minta maaf, Tuan. Semalam saya tidak melihat baju tidur Tuan, selain ini."
Haira berusaha mencengkal tangan Mirza. Matanya menangkap perut sang suami yang berbentuk kotak-kotak. Naik ke atas, otot pria itu pun nampak menonjol membuat tubuhnya terlihat sempurna.
Mirza menarik Haira ke kamarnya. Membawa gadis itu menuju lemari. Membuka lebar-lebar dan mengambil beberapa baju yang menggantung di sana.
"Apa mata kamu buta, ini semua baju tidur. Tapi kenapa kamu mengambil yang ini? Apa kamu sengaja membuatku malu di depan semua pelayan, hah?" bentak Mirza di telinga Haira.
Haira memejamkan mata. Ia hanya menerima luapan amarah Mirza yang semakin menjadi. Mungkin itu akan diterimanya setiap hari, mengingat hukumannya yang sudah tercatat seumur hidup. Melompat dari takdir hingga menemukan tempat yang mencekam.
"Maafkan saya, Tuan."
Haira menangkup kedua tangannya di depan Mirza. Memohon belas kasihan pada pria itu.
Mirza menarik rambut Haira. Memutar tubuh gadis itu hingga terhempas di dinding. Meraih tangannya ke belakang. Satu tangannya mencengkeram dagu Haira hingga meringis kesakitan.
"Tidak ada kata maaf bagi orang yang sudah melakukan kesalahan. Mulai hari ini, jangan berani menyentuh bajuku dan aku. Kamu bukan istri yang sesungguhnya, jangan pernah bermimpi bisa menikmati tubuhku dan menjadi nyonya Glora."
Haira berdecih, sedikitpun ia tak ingin disentuh oleh Mirza. Juga tak ingin memiliki kedudukan seperti yang disebut suaminya.
𝚑𝚎𝚕𝚕𝚘 𝚐𝚊𝚗𝚝𝚎𝚗𝚐 𝚜𝚊𝚕𝚊𝚖 𝚔𝚗𝚕 𝚍𝚊𝚛𝚒 𝚊𝚞𝚗𝚝𝚢 𝚊𝚗𝚐𝚎𝚕𝚊 🤣🤣