[TAMAT] Tiba-tiba 7 orang dari keluarga Handoko meninggal dunia selang dua hari sekali. Ketuju itu semua laki-laki dan dimakamkan berjejer dimakam keluarga.
Dewi salah satu anak perempuan dikeluarga Handoko, sangat teramat penasaran dengan kejadian ini. Semua keluarganya diam seribu bahasa, seolah-olah semua ini takdir Tuhan. Disitulah awal Dewi akan mencari tahu masalah demi masalah dikeluarga ini.
Ikuti terus kisahnya di Noveltoon.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siswondo07, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Permainan
Pagi ini, Handoko berdiri didepan jendela kamarnya, matanya nanar menatap keluar melihat awan yang mendung dan hujan mulai gerimis. Tangan kanannya memegang Handphone dan menempelkan dikupingnya, suara BIP berkali-kali berbunyi tak ada yang angkat, mukanya kini mulai menahan amarah. Ia tambah gusar juga karena baru diangkat oleh orang yang dibutuhkan saat ini.
"Halo, Pak. Maaf saya tadi sedang meeting Pak." Ucap suara seorang Pria dibalik telepon.
"Don, gimana kamu sudah urus tanah yang mau kita beli dan gusur."Tanpa basa-basi Handoko tanya dengan nada agak kesal.
"Belum Pak, terakhir setelah Bapak dari Komplek itu, saya kesitu lagi namun para warga langsung usir saya." Jawab Don dengan nada yang sedikit bergetar.
"BODOH KAMU!. Nggak becus kerja." Ungkap Handoko dengan nada tinggi, mulutnya memaki dengan kencang dan kesal. Lalu menutup panggilan telepon itu.
Matanya tajam melihat dibalik jendela, memikirkan bisnisnya yang tak kunjung berhasil mendapatkan lahan untuk proses pembangunan. Sungguh merasa sangat membuang waktu dan tenaga. Hingga otak licik Handoko segera melakukan tindakan yang besar agar peluang menang dipihaknya.
Handoko bersiap memakai baju rapi ala Old Money. Berjalan keluar kamarnya menuju ke lantai satu dan meminta ke anaknya Jose untuk menyiapkan mobil pribadi.
Jose yang dilantai satu sedang duduk santai menelpon Ucok untuk segera membawa mobil ke depan area pintu masuk utama rumah.
Jose mengantar Ayahnya yang mukanya tampak sebal didepan teras pintu ruang utama. Terlihat mobil sudah berhenti tepat dihadapan Handoko, lekas masuk ke mobil dan melaju cepat meninggalkan rumah.
Jose merasa penasaran dengan apa yang terjadi, ia menebak dari raut wajahnya mungkin mengenai tanah Komplek muara air yang belum juga kelar.
Didalam mobil, Ucok sedang fokus menyetir. Mata Ucok melihat kearah kaca kecil mengarah ke belakang, terlihat Handoko sedang membuka tas dan mencari sesuatu barang. Setelah ketemu Sebuah kertas lusuh dikasih ke Ucok untuk datang ke alamat yang tertera itu.
Ucok lekas mengemudi mobil dengan sedikit cepat, karena alamat itu lumayan jauh.
Sementara sepanjang perjalanan, Handoko dimobil duduk merenung, matanya mengarah ke jendela mobil, rupanya banyak pikiran yang ia tanggung, banyak sesuatu hal Masalah yang harus diselesaikan.
Setelah beberapa jam kemudian, tibalah sampai dialamat tersebut, lokasi alamat itu jauh dari perkotaan dan terlihat seperti kampung namun lumayan padat dan masih lapang area tanahnya. Handoko saat itu menyuruh Ucok tetap disini, ia juga meminta kertas lusuh alamat tadi. Ucok memberikan kertas lusuh itu.
Lalu Handoko keluar mobil seorang diri. Ucok melihat dibalik kaca depan mobil Handoko berjalan memasuki gang dan tak terlibat lagi.
Saat itu ia sudah menghapal alamat tadi. Diketiknya alamat itu pada pesan yang akan dikirimkan ke Jaya. Setelah berhasil terkirim, ada balasan dari Jaya bahwa Ucok tidak usah keluar atau mengintai Handoko, ditakutkan nanti ada yang curiga.
Ucok membalas dengan kata "Ok."
-
Handoko berjalan lurus jalanan rengang, masuk gang kecil lagi dan sampai disebuah rumah kayu diujung gang, model rumah Jawa kuno yang terlihat antik. Handoko sudah ada dihalaman rumah itu. Ia masuk seperti biasa karena sudah sering kesini menemui Orang Pintar yang sudah menemani dan membantu selama 20 Tahun lamanya, sudah seperti saudara sendiri.
"Bulek. Bulek." Panggil Handoko beberapa kali tak ada sautan, hingga Handoko dikagetkan dari belakang.
"Apa?" Ungkap Bulek tua sepuh itu.
Handoko yang jantungnya berdetak kencang mulai melirik kearah sampingnya. Lalu berkata "Duh Bulek, bikin kaget saja." Tatap lekat wajah Buleknya, nafas Handoko berseru, beberapa kali menghembuskan nafas keluar masuk dari mulutnya.
Bulek yang bernama Darini itu ketawa cekikikan. Lalu berhenti ketawa dan bertanya. "Apa yang bisa aku bantu?" Tatap tajam Bulek Darini. Menunggu jawaban dari Handoko.
"Gini..." Ketika akan menjelaskan perkataan Handoko dipotong Bulek
"Tunggu, jangan disini. Masuk ke ruangan seperti biasa." Ungkap Bulek, mengajak Handoko ke ruangan semedinya.
Bulek dan Handoko masuk kesebuah ruangan yang isinya perlengkapan dukun. Ada nampan isi sajen, asap menyan, lampu jadul. Setelah masuk Bulek duduk ditempatnya dan Handoko duduk tempat tamu, kini saling berhadapan.
"Teruskan apa niatmu datang kemari?" Ungkap Bulek Darini.
"Saya susah sekali mendapatkan tanah Bulek, orang yang biasa membantu saya sudah meninggal. Saya butuh trik akhir yang bisa Bulek bantu untuk saya." Ungkap keluh kesah Handoko.
Bulek Darini hanya geleng-geleng kepala. Lalu berkata "Tidak ada jalan lain, ini masalah alam dan besar. Saya tidak bisa membantu, tapi peliharaanmu yang akan bantu setiap keputusanmu." Tatap tajam Bulek ke mata Handoko.
"Ada satu jalan untukmu, Bakar komplek itu. Sebelum membakar sebar tabur pasir dari tanah kuburan, tabur di lima titik komplek itu, maka saat terbakar orang-orang akan sadar dan tidak ada korban jiwa. Saat itulah kau harus datang ke warga itu untuk menjadi pahlawan kesiangan." Ungkap Bulek itu, lalu tersenyum kecil.
Handoko merasa sudah tenang dan mendapatkan solusi terbaik.
"Terimakasih Bulek. Ini ada sedikit uang buat bulek." Ucap terimakasih Handoko, mengulurkan segepok uang pada tangan Bulek.
Setelah selesai, Handoko pamit untuk segera pulang kerumah. Setelah sudah keluar rumah ia kembali ke mobil.
Mobil berjalan pulang. Ucok untuk hal ini merasa tidak ada informasi apa-apa karena Handoko tidak menelepon siapapun.
Sesampainya Mobil dirumah, Handoko lekas keluar dari Mobil, berjalan menuju ke ruangannya.
Sementara Handoko kembali memarkirkan Mobil dan ke ruang tunggu satpam.
-
Didalam ruangan, Handoko duduk dimeja kerjanya, ia membuka ponsel dan mencari nomor kontak Don. Percakapan dimulai untuk melakukan misi terselubung.
"Don. Bisa bantu saya?" Tanya Handoko dengan Nada yang santai
"Sangat Siap Pak! Bantu apa Pak?" Tanya balik Don penuh penasaran.
"Kau dan anak buahmu cari pasir kuburan sekitar satu setengah karung. Kau taburkan ke lima titik komplek Muara Air. Jika sudah ditabur pasirnya, kau bakar komplek itu dengan bensin, Bakar sampai akhir. Kau lakukan pada hari Jumat. Mengerti." Ungkap Handoko panjang lebar.
"Mengerti Pak. Saya akan laksanakan." Jawab Don dibalik suara telepon..
"Bagus." Ucap Handoko dengan penuh senyuman. Lalu memutus telepon itu. Rasanya begitu bahagia mendapatkan jalan terbaik untuk mendapatkan Tanah komplek itu. Handoko senyum dengan penuh kemenangan.
-
Didalam ruangan satpam, Ucok chat Jaya untuk menginformasikan sebuah tebakan bahwa Handoko ke tempat dukun. Pasti ada sesuatu rencana jahat untuk komplek Muara Air.
Lalu Jaya Membalas "Aku juga yakin. Sangat beresiko jika aku datangi alamat itu. Aku harus cari penangkal jika Handoko berbuat jahat pada komplek ini."
Saat Ucok membaca pesan itu, lekas Ucok segera membalas "Lalukan sesuatu Jaya, kau yang lebih tau baik dan buruknya rencana kita." Kirim pesan itu.
Jaya hanya membalas stiker jempol.
Jaya didalam kostan, ia duduk termenung memikirkan apa yang bisa ia lakukan untuk mencegahnya. Dalam kebingungan itulah rasa gelisah timbul dihatinya. Kali ini yang ia lawan sangat kuat.
*
..
..