NovelToon NovelToon
Pernikahan Tanpa Pilihan

Pernikahan Tanpa Pilihan

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Cinta Terlarang / Cinta Paksa
Popularitas:1.6k
Nilai: 5
Nama Author: WikiPix

Sartika hidup dalam keterbatasan bersama suaminya, Malik, seorang pekerja serabutan dengan penghasilan tak menentu. Pertengkaran karena himpitan ekonomi dan lilitan utang mewarnai rumah tangga mereka.

Demi masa depan anaknya, Sartika tergoda oleh janji manis seorang teman lama untuk bekerja di luar negeri. Meski ditentang suami dan anaknya, ia tetap nekat pergi. Namun, sesampainya di kota asing, ia justru terjebak dalam dunia kelam yang penuh tipu daya dan nafsu.

Di tengah keputusasaan, Sartika bertemu dengan seorang pria asing yang akan mengubah hidupnya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon WikiPix, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

PTP Episode 13

"Kami sudah mengirim tim pencari ke daerah sekitar tempatmu ditemukan," katanya sambil menatap Sartika.

"Tapi sejauh ini, belum ada tanda-tanda keberadaan temanmu."

Dunia Sartika seolah berhenti. Napasnya tercekat, matanya membesar. "Belum ada tanda-tanda...?" bisiknya hampir tak terdengar.

"Kami masih mencari," Pria itu buru-buru menambahkan. "Jangan khawatir. Hutan ini luas, tetapi jika dia masih di sekitar sana, kami pasti akan menemukannya."

Ia tidak bisa hanya duduk di sini dan menunggu.

"Aku harus ikut mencari!" katanya tiba-tiba, mencoba bangkit. Namun, tubuhnya yang masih lemah membuatnya hampir terjatuh.

"Jangan gegabah," pria pertama menahannya dengan lembut. "Kau baru saja sadar setelah pingsan cukup lama. Kondisimu masih lemah."

"Tapi...."

"Aku mengerti kekhawatiranmu," pria itu memotong. "Tapi percaya padaku, kamu tidak akan bisa membantu temanmu jika tubuhmu sendiri tidak kuat."

Sartika menahan air mata yang hampir jatuh. Ia merasa begitu tidak berdaya.

"Tolong cepat temukan dia..." suaranya bergetar.

"Kami akan melakukan yang terbaik," pria itu meyakinkannya lagi sebelum pergi, meninggalkan Sartika dengan penjaga hutan yang lain.

Ruangan itu menjadi sunyi. Sartika hanya bisa menatap ke luar jendela, melihat hutan lebat yang membentang di kejauhan. Di suatu tempat di sana, Laras mungkin sedang dalam bahaya.

Atau lebih buruk lagi…

Sartika menggeleng kuat, menolak membiarkan pikirannya dipenuhi kemungkinan buruk.

Laras pasti selamat. Laras pasti ditemukan.

Ia hanya bisa berharap.

******

Hari-hari berlalu, dan pencarian terus dilakukan. Tim penjaga hutan menyisir setiap sudut yang memungkinkan, mencari tanda-tanda keberadaan Laras. Mereka mengikuti jejak, memeriksa sekitar sungai, bahkan membawa anjing pelacak untuk membantu.

Namun, hasilnya nihil.

Tidak ada jejak kaki baru. Tidak ada sisa barang yang tertinggal. Tidak ada tanda perlawanan, atau bahkan petunjuk ke mana Laras pergi. Seolah-olah ia lenyap begitu saja di tengah hutan.

Sartika hanya bisa duduk di tempat tidurnya, menatap kosong ke luar jendela rumah sakit. Setiap kali pintu terbuka, ia berharap itu adalah seseorang yang membawa kabar baik tentang Laras. Tapi yang datang selalu perawat, dokter, atau penjaga hutan yang hanya bisa menggeleng pelan saat ia menatap penuh harap.

"Kami sudah melakukan yang terbaik," kata salah satu dari mereka suatu hari, suaranya penuh penyesalan. "Kami akan terus mencari, tapi kemungkinan menemukannya semakin kecil."

Sartika meremas selimutnya erat-erat, matanya memanas. "Tidak mungkin. Laras pasti ada di luar sana. Kalian harus terus mencari!"

Penjaga hutan itu menatapnya dengan penuh simpati. "Kami akan tetap berusaha, tapi kau juga harus menerima kemungkinan lain, Nak."

Kemungkinan lain.

Kata-kata itu menghantam Sartika seperti pukulan telak. Ia tahu maksudnya. Hutan itu luas, berbahaya. Jika seseorang hilang terlalu lama tanpa makanan dan perlindungan...

Tidak! Sartika menggeleng kuat. Ia menolak memikirkan kemungkinan terburuk. Laras bukan orang yang mudah menyerah. Ia pasti masih di luar sana.

Harus.

Malam itu, Sartika tidak bisa tidur. Ia memikirkan Laras, suara tawanya, janji mereka untuk saling menjaga. Laras tidak mungkin pergi begitu saja.

Namun, semakin lama ia menunggu, semakin besar rasa takut menyelimutinya.

Bagaimana jika Laras benar-benar tidak akan kembali?

******

Waktu berlalu, dan luka-luka Sartika akhirnya sembuh. Tubuhnya kembali kuat, dan ia diizinkan meninggalkan rumah sakit. Para penjaga hutan telah melakukan pencarian selama berminggu-minggu, tetapi tidak ada tanda-tanda Laras. Perlahan-lahan, mereka pun menghentikan pencarian.

Awalnya, Sartika masih berharap. Setiap kali melihat berita tentang orang hilang di hutan atau mendengar cerita pendaki yang menemukan sesuatu, hatinya berdebar. Namun, hari-hari berlalu tanpa kepastian, dan harapan itu pun memudar.

Pada akhirnya, Sartika menerima kenyataan. Laras menghilang, dan tidak ada yang bisa ia lakukan untuk mengubahnya. Ia harus melanjutkan hidup.

Agar dirinya bisa kembali ke kampung halaman.

Tapi ia tidak bisa pulang begitu saja. Ia sudah pergi berbulan-bulan, dengan harapan bisa mengubah nasib, meninggalkan anak dan suaminya demi mencari kehidupan yang lebih baik di negeri orang. Namun, semua itu berakhir dengan kebohongan.

Ia ditipu oleh seorang teman yang menjanjikannya pekerjaan layak sebagai buruh pabrik di luar negeri. Namun, sesampainya di kota, kenyataan jauh berbeda. Ia terlunta-lunta, tidak punya uang, tidak punya tempat tinggal. Mimpinya berubah menjadi mimpi buruk.

Rasa malu membuatnya enggan kembali. Ia berpikir, lebih baik tetap berjuang di kota daripada pulang dalam keadaan gagal.

Tapi kini, setelah semua yang ia alami, kehilangan Laras, hampir kehilangan nyawa dan martabatnya, Sartika sadar bahwa yang paling berharga bukanlah impian kosong, melainkan keluarga yang telah ia tinggalkan.

Ia mulai mencari pekerjaan apa pun yang bisa membantunya mengumpulkan uang untuk pulang.

Hari-hari Sartika di kota menjadi perjuangan yang tak kunjung usai. Ia mencoba mencari pekerjaan di berbagai tempat, menawarkan tenaga di warung makan, menjadi buruh angkut di pasar, hingga mencoba bekerja sebagai asisten rumah tangga. Namun, tanpa identitas yang jelas dan tanpa pengalaman yang diinginkan majikan, ia terus ditolak.

Ia pernah bekerja sebagai pencuci piring di sebuah rumah makan kecil, tetapi upahnya tidak cukup untuk menyewa kamar. Ia hanya mampu membeli makanan seadanya, itu pun sering kali hanya sekali sehari. Ketika warung itu sepi, pemiliknya tidak lagi membutuhkannya. Sartika pun kembali ke jalanan.

Tanpa uang, tanpa tempat tinggal, ia akhirnya bergabung dengan para gelandangan di kolong jembatan. Di sana, ia bertemu orang-orang yang bernasib serupa, mereka yang kehilangan arah, ditipu, atau hanya terjebak dalam kemiskinan tanpa jalan keluar.

Beberapa di antara mereka baik, saling berbagi makanan jika memiliki sedikit kelebihan. Tetapi ada pula yang kejam, yang tidak segan mencuri atau merebut milik satu sama lain demi bertahan hidup.

Malam-malamnya dingin dan menyiksa. Ia tidur beralaskan kardus, berselimutkan jaket tipis yang ia temukan di tempat sampah. Suara kendaraan yang melintas di atas jembatan, bau sampah, dan sesekali suara pertengkaran di antara para gelandangan membuatnya sulit tidur nyenyak.

Pernah suatu malam, hujan turun begitu deras. Air menggenang di bawah jembatan, membuat tempat tidurnya basah. Ia menggigil kedinginan, merapatkan tubuhnya ke dinding beton, tetapi itu tidak banyak membantu. Tubuhnya semakin lemah dari hari ke hari, perutnya sering kosong, dan rasa putus asa mulai menggerogoti pikirannya.

Sartika mulai bertanya-tanya, apakah ia akan selamanya hidup seperti ini? Apakah ia masih punya kesempatan untuk kembali? Bagaimana dengan anak dan suaminya? Apakah mereka masih menunggunya, atau sudah melupakannya?

Namun, ia tahu satu hal, ia tidak bisa terus seperti ini. Jika ia ingin pulang, ia harus menemukan cara untuk keluar dari lingkaran kemiskinan yang semakin mencekiknya.

Sartika menatap kosong ke langit malam yang suram. Di bawah jembatan yang lembap dan penuh bau busuk, ia merenung dalam diam.

"Sejak awal aku tidak kabur dari rumah dan mempercayai Sri... aku tidak akan hidup seperti ini," gumamnya, suaranya nyaris tenggelam oleh suara kendaraan di atasnya.

Sri. Nama itu menusuk hatinya seperti belati. Perempuan yang ia anggap sahabat, yang memberinya janji palsu tentang pekerjaan di luar negeri, yang membuatnya meninggalkan rumah dan keluarga demi impian yang ternyata hanya ilusi.

Jika saja ia tidak termakan janji manis Sri. Jika saja ia tidak terburu-buru meninggalkan suami dan anaknya. Jika saja ia berpikir lebih jauh sebelum mengambil keputusan besar.

Ia menghela napas panjang, mencoba menekan sesak di dadanya. Namun, penyesalan itu terus menghantui.

Sekarang, ia tak lebih dari seorang gelandangan. Tanpa harapan, tanpa tujuan. Ia hidup dari belas kasihan, dari sisa makanan yang kadang diberikan orang-orang yang lewat, atau dari remah-remah yang ia temukan di tong sampah.

1
atik
lanjut thor, semangat
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!