Senja Maharani, seorang sekretaris muda yang cerdas, ceroboh, dan penuh warna, di bawah asuhan Sadewa Pangestu, seorang CEO yang dingin dan nyaris tak berperasaan. Hubungan kerja mereka dipenuhi dinamika unik: Maha yang selalu merasa kesal dengan sikap Sadewa yang suka menjahili, dan Sadewa yang diam-diam menikmati melihat Maha kesal.
Di balik sifat dinginnya, Sadewa ternyata memiliki sisi lain—seorang pria yang diam-diam terpesona oleh kecerdasan dan keberanian Maha. Meski ia sering menunjukkan ketidakpedulian, Sadewa sebenarnya menjadikan Maha sebagai pusat hiburannya di tengah kesibukan dunia bisnis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Luckygurl_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Membingungkan
Pada akhirnya, Sadewa mengantarkan Maha untuk pulang ke apartemennya. Dalam perjalanan, suasana didalam mobil terasa hening. Meskipun Sadewa tampak tenang, sebenarnya ia tidak keberatan jika harus membelikan Maha underwear dengan berbagai macam model, bahkan jika gadis itu ingin seluruh pabriknya sekalipun. Namun, Sadewa memilih untuk tetap mempertahankan sikap dingin dan tegas, semuanya demi memastikan Maha tidak menyadari rasa bahagianya saat berada didekat Maha.
Sementara Maha, yang duduk di sebelahnya tidak bisa menutupi kegelisahannya. Sesekali ia menyesuaikan posisi di bangku mobil, merasa tidak nyaman seperti saat di restoran tadi. Rasa gatal yang mengganggu akibat underwear renda-renda itu masih menghantuinya dan ia berusaha menahan diri agar tidak terlihat terlalu cemas dihadapan Sadewa. Wajah yang biasanya ceria kini tampak lebih serius, bahkan sedikit tegang.
Underwear sialan!
Maha menggerutu dalam hati. Berkali-kali ia menyesuaikan posisi, tapi tetap merasa tidak nyaman. Rasanya seperti ada yang mengikat tubuhnya, membuat setiap gerakan terasa terhambat. Apalagi, underwear yang ia kenakan saat ini bukan sembarang model, thong panty renda, yang sepertinya baru kali ini membuatnya tersiksa. Selama ini, Maha tidak pernah mengenakan sesuatu yang terlalu minim bahan atau ketat, karena jelas itu akan membuatnya merasa gatal dan terbebani.
“Lepas saja jika kamu tidak nyaman.” Celetuk Sadewa, tanpa mengalihkan pandangannya dari layar ponsel yang sedang ia pegang.
Damn it!
Maha merasa mulutnya kering. Sebenarnya ini orang stres atau nggak waras, sih? Pikirnya dengan jengkel sambil menoleh cepat ke arah Sadewa. Rasa kesalnya semakin menggebu, ditambah dengan kenyataan bahwa ia harus menanggung rasa tidak nyaman di sepanjang perjalanan.
“Astaga, Pak! Anda pikir saya anak kecil yang bisa seenaknya melepas dalaman saya? Yang bener aja, Pak!” Ucap Maha akhirnya, ia tidak bisa menahan diri, suaranya meninggi jelas menunjukkan keheranannya terhadap tawaran Sadewa yang tidak masuk akal itu.
Sadewa menyeringai tipis, sudut bibirnya terangkat santai. Sepertinya ia tidak terkejut dengan reaksi Maha, malah terlihat menikmati situasi ini. Senyum seringai yang terukir di wajahnya menunjukkan bahwa ia memang suka menggoda Maha, meskipun jelas Maha akan merasa kesal ataupun marah.
Di tengah kesunyian dalam kabin mobil, Maha menundukkan kepalanya, merasakan panasnya pipi yang memerah. Tentu saja ia tidak bisa begitu saja mengikuti saran Sadewa walau sebenarnya ia ingin sekali melepas underwear yang sedang ia kenakan ini. Underwear, sialan! Sadewa, sialan! Rutuk Maha dalam hati sambil meremas roknya.
Beberapa saat kemudian, mobil SUV milik Sadewa akhirnya berhenti di basement apartemen Maha. Begitu mobil itu berhenti, tanpa menunggu lebih lama lagi. Maha langsung membuka pintu dan melangkah keluar dengan buru-buru membuat tas di pundaknya terayun.
Rasanya, Maha ingin segera melepaskan thong panty sialan itu. Setiap gerakannya terasa menyiksa, dan ia benar-benar tidak bisa menahan rasa gatal yang sangat mengganggu.
Sementara itu, Sadewa yang masih duduk di kursi penumpang, pun hanya terkekeh tatkala melihat Maha yang terburu-buru meninggalkan mobilnya. Ada rasa puas dihatinya. Maha yang biasanya tenang dan penuh pengendalian diri, kini tampak begitu terburu-buru dan gelisah. Semua itu karena underwear yang ia beli, yang meskipun dirancang indah, tapi malah membuat Maha tersiksa.
Padahal kalau dipakai Maha, pasti akan terlihat lebih indah. Tapi kenapa dia justru terlihat seperti orang yang sedang berjuang keras dengan apa yang ia kenakan? Apa mungkin ukurannya terlalu kecil? Pikir Sadewa sambil mengingat lekuk tubuh maha yang selalu ia perhatikan dengan cermat.
Oh astaga, Sadewa merasa seolah-olah dirinya mengenal betul setiap inci tubuh Maha. Apakah dia cabul? Tapi faktanya, Maha memang mempunyai bentuk tubuh yang indah, menyerupai jam pasir. Sehingga tak ayal jika Sadewa mempunyai pikiran seperti itu.
“Maya, tinggalkan saya disini. Saya akan menghubungimu nanti,” ucap Sadewa pada asistennya sebelum keluar dari mobil.
“Baik, Tuan.” Jawa Maya dengan hormat, lalu segera keluar dari mobil dan membuka pintu untuk Sadewa.
Pada sisi lainnya, Maha sudah sampai di unitnya, cepat-cepat ia mengganti pakaian dalam yang sejak tadi membuatnya tidak nyaman. Berbeda dengan yang sebelumnya, kini ia memakai underwear yang jauh lebih nyaman dan bisa membuatnya menarik nafas lega. Sementara itu, underwear yang tadi dikenakan, ia letakkan begitu saja di atas ranjang, seolah menjadi saksi bisu kegelisahan yang baru saja dilaluinya.
“Pikiran ku, kok, jadi kotor gini, ya? Atau mungkin ini efek kebanyakan baca novel dark romance tentang cowok dominan? Jadi, pas lihat underwear sexy itu, pikiranku jadi kemana-mana?” Gumamnya pelan dengan senyum kecut di bibir nya.
Maha merasa geli sekaligus malu dengan pikirannya sendiri. Sebuah tawa kecil pun meluncur dari bibirnya. “Astaga, dasar aku!” Rutuknya, seiring dengan desahan pelan yang keluar dari mulutnya.
Ting! Tong!
Suara bel apartemennya berbunyi, mengguncang Maha dari lamunannya. Dengan sedikit tergesa, ia meninggalkan underwear di atas ranjang dan segera meraih tasnya. Instingnya memberi tahu bahwa Sadewa mungkin sudah menunggu diluar.
Ting! Tong! Ting! Tong!
Suara bel terus berbunyi, semakin memaksa Maha untuk mempercepat langkahnya.
“Astaga! Itu sopirnya Sadewa nggak sabaran banget, sih?! Lagian, kan, Sadewa bisa telepon aku! Dasar emang CEO nyebelin!” Gerutu Maha, sambil menatap pintu yang semakin dekat.
“Loh, Pak Sadewa?” tanya Maha, bingung. Begitu pintu terbuka, ia terkejut melihat sosok Sadewa yang sudah berdiri tegak didepan pintu unitnya.
Sadewa tidak memberi jawaban, malah dengan tenang membuka kancing jasnya. Tanpa permisi, dia melangkah masuk ke dalam unit Maha, seolah itu adalah rumahnya sendiri. Dengan gerakan cepat, pria itu melempar jasnya yang sudah terlepas ke sofa. Lantas, membalikkan tubuhnya untuk menatap Maha yang masih terperangah diambang pintu.
“Saya beri kamu setengah hari jam kerja, karena mengingat semalam kamu membersihkan unit saya seorang diri,” ucap Sadewa seraya memasukkan tangannya kedalam saku celana dengan sikap tenang.
Terus, ngapain dia masih di sini kalau aku di kasih setengah hari jam kerja? Pikir Maha dalam hati, ia yang masih berdiri di ambang pintu, pun bingung.
Sadewa mengangkat alisnya, menunggu respon lebih dari Maha. “Masuk, ngapain kamu masih disitu?!” Sentak nya.
“Terus, untuk apa Anda kasih disini, Pak?” Tanya Maha, menatap Sadewa tajam tak berniat membiarkan dirinya diperintah begitu saja.
Sadewa hanya tersenyum tipis. “You are mine, Maharani,” jawabnya, menatap Maha dalam-dalam seolah ingin memastikan bahwa gadis itu mendengarnya dengan jelas.
Rasanya nafas Maha tertahan, namun segera ia menjawab dengan ketegasan. “Iya, sebatas kontrak,” balasnya dengan perasaan campur aduk. Karena baginya, kontrak itu adalah garis batas yang jelas. Sebuah perjanjian yang membuat semuanya lebih mudah. Namun, bagi Sadewa, kata-kata itu hanya menjadi pengingat tentang betapa dalam ikatan mereka yang lebih dari sekedar kontrak.
Tapi entah mengapa, saat mata mereka bertemu ada yang berbeda—sesuatu yang sulit untuk dijelaskan, tetapi bisa dirasakan di udara yang mencekam antara keduanya.
“Terlepas dari kontrak itu, kita harus profesional. Bukankah dalam dunia bisnis harus seperti itu? Apapun keadaan dan fakta yang ada, di kontrak itu sudah jelas tertulis. Senja Maharani, seutuhnya milik Sadewa Pangestu,” terang Sadewa, yang membuat suasana semakin berat.
Miliknya? Pikir Maha yang hanya diam, pun hatinya bergejolak.
Mungkinkah ini semua hanya tentang kontrak? Ataukah ada yang lebih dalam dibalik kata-kata Sadewa yang terdengar begitu pasti?
“Termasuk hal-hal seperti ini, saya akan menganggap apa yang menjadi milikmu, juga milik saya, Maha. Apakah kamu tahu? Tadi pagi, kamu bangun di ranjang siapa?” Sambung Sadewa yang kemudian bertanya dengan nada menggoda. Namun, Maha tidak memberi jawaban, ia hanya diam memperhatikan.
Tapi pertanyaan itu membuat Maha semakin terperangkap dalam ketidakpastian yang tidak bisa ia jelaskan. Kenapa perasaan ku menjadi kacau? Kenapa kata-kata Sadewa selalu mampu menyentuh sisi yang paling dalam di hatiku? Batinnya.
Sadewa tidak menunggu lama untuk melanjutkan, “Kamar saya, Maha. Dan saya itu tidak suka siapapun masuk ke ruangan pribadi saya. Tapi kamu, pengecualian. Karena saya menganggap kamu adalah milik saya, Maha. Bahkan ibu saya sendiri, tidak saya izinkan masuk keruangan pribadi saya, sebelum saya beri izin. Jadi, bukankah kamu sudah saya anggap seseorang yang spesial?”
Maha merasa setiap kata yang diucapkan oleh Sadewa adalah sebuah kenyataan yang tidak bisa ia hindari. Suasana di ruangan itu terasa semakin sesak, seolah ia terjebak dalam sebuah jebakan yang dibangun oleh kata-kata indah yang berbisa. Sadewa memang benar, semua yang ia katakan ada faktanya, tetapi bagi Maha, kata-kata itu terus hanya sebuah bualan untuk membuatnya dirinya terbuai.
Apakah ini benar-benar sebuah kontrak? Atau hanya sebuah hubungan yang dibalut dengan kontrak dan embel-embel ‘kekasih pura-pura’? Pikir Maha dengan helaan nafas berat. Semua terasa semakin membingungkan. Ada perasaan yang tidak bisa Maha jelaskan, namun disaat yang sama, ia tidak bisa mengabaikan kata-kata Sadewa.