Kalian Bisa Dukung aku di link ini :
https://saweria.co/KatsumiFerisu
Seorang pengguna roh legendaris, yang sepanjang hidupnya hanya mengenal darah dan pertempuran, akhirnya merasa jenuh dengan peperangan tanpa akhir. Dengan hati yang hancur dan jiwa yang letih, ia memutuskan mengakhiri hidupnya, berharap menemukan kedamaian abadi. Namun, takdir justru mempermainkannya—ia terlahir kembali sebagai Ferisu Von Velmoria, pangeran ketiga Kerajaan Velmoria.
Di dunia di mana setiap orang memiliki kesempatan untuk menjalin kontrak dengan roh, Ferisu justru dikenal sebagai "Pangeran Sampah." Tidak ada roh yang mau menjawab panggilannya. Dipandang sebagai aib keluarga kerajaan, ia menjalani hidup dalam kemalasan dan menerima ejekan tanpa perlawanan.
Tetapi saat ia masuk ke Akademi Astralis, tempat di mana para ahli roh belajar tentang sihir, teknik, dan cara bertarung dengan roh, sebuah tempat terbaik untuk menciptakan para ahli. Di sana Ferisu mengalami serangkaian peristiwa hingga akhirnya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Katsumi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 17 : Tak Tahu Malu
Setelah kejadian duel itu, Ferisu menjadi sorotan utama di akademi. Seharusnya, dia mengikuti apa yang menjadi taruhan—serius dalam mengikuti pelajaran. Namun, seperti dugaan banyak orang, Ferisu tetap bermalas-malasan. Hal ini memicu lebih banyak ejekan dari para siswa.
"Benar-benar perusak janji! Bahkan setelah kalah, dia tidak mau berubah."
"Dia menghina arti duel yang suci!"
Bisikan-bisikan itu terus terdengar di setiap sudut akademi, membuat suasana kelas menjadi semakin tidak nyaman.
Erica yang duduk di samping Ferisu akhirnya tak bisa menahan diri lagi. "Kau ini benar-benar sampah, ya?" ucapnya dingin, tatapannya menusuk ke arah Ferisu yang sedang menyandarkan kepala di meja.
Ferisu hanya meliriknya dengan mata setengah terbuka, lalu memejamkan matanya kembali, seolah tak peduli.
"Kau sendiri yang membuat taruhan, tapi kau juga yang melanggarnya. Apa kau tidak malu?" Erica melanjutkan dengan nada penuh sindiran.
Ferisu tetap diam, memberikan reaksi yang sama seperti biasa—tidak ada.
Erica menghela napas berat, merasa frustrasi sekaligus bingung. Dia tahu Ferisu tidak bodoh. Bukti nyatanya adalah kejadian di kota beberapa waktu lalu, saat Ferisu melerai pertengkaran dua orang dan memberikan solusi yang tidak terpikirkan oleh orang lain. Jadi, apa sebenarnya yang direncanakan oleh tunangannya itu?
Di sisi lain, Licia terlihat lebih tenang meskipun hatinya sedikit terusik. Sebagai seseorang yang sering bersama Ferisu, dia tidak senang melihat ejekan-ejekan yang terus menghujani pangeran ketiga itu.
"Ferisu-sama," kata Licia lembut, mencoba menarik perhatiannya. "Apa Anda tidak ingin sedikit menjelaskan pada mereka? Mungkin mereka akan berhenti menghina jika tahu alasan Anda."
Ferisu menguap kecil, tampak tidak terganggu oleh apa yang terjadi di sekelilingnya. "Kenapa harus menjelaskan sesuatu yang tidak penting?" jawabnya santai, matanya tetap tertutup.
Licia tersenyum tipis mendengar jawaban itu. Baginya, itu khas Ferisu—selalu santai, bahkan di tengah badai kritik. Tapi di balik senyuman itu, Licia tidak bisa menghilangkan rasa ingin tahunya. Apa sebenarnya yang Ferisu pikirkan?
Sementara itu, Viana, yang diam-diam mengawasi dari kejauhan, merasa semakin frustrasi. "Apa dia sama sekali tidak punya rasa malu? Bahkan setelah kalah, dia tetap bersikap seperti ini," pikirnya. Namun, di sudut hatinya, ada secercah rasa penasaran yang terus mengusik.
Ferisu mungkin dianggap sampah oleh banyak orang, tetapi ada sesuatu tentang dirinya yang terasa berbeda—sesuatu yang membuat mereka yang memperhatikannya lebih lama mulai bertanya-tanya.
.
.
.
Bell istirahat berbunyi nyaring, membangunkan Ferisu dari tidur siangnya yang damai. Dengan gerakan santai, ia meregangkan tubuh, bangkit dari kursi, dan berjalan keluar kelas tanpa berkata apa-apa. Dua tunangannya, Erica dan Licia, segera mengikutinya, seperti biasa.
Tujuan mereka adalah kantin akademi, tempat mereka biasa makan siang di sudut paling pojok yang jarang dipakai orang lain. Namun, saat melewati lorong, keributan dari kelas 1-E menarik perhatian mereka.
"Rakyat jelata sepertimu berani melawanku?!" terdengar suara seorang siswa dengan nada marah.
Ferisu menghentikan langkahnya sejenak dan melirik ke arah pintu kelas 1-E. Tampak seorang siswa berambut pirang sedang menindas siswa lain berambut cokelat, sementara beberapa siswa lainnya hanya menonton tanpa berani bertindak. Si rambut pirang, yang tampaknya seorang bangsawan, terlihat dikelilingi oleh teman-temannya yang mendukung tindakannya.
Ferisu menghela napas panjang. "Huft, ribut sekali." Tanpa ragu, ia masuk ke kelas itu, menarik perhatian semua orang.
"Apa yang terjadi?" tanyanya dengan nada datar sembari menguap, matanya perlahan menyapu seluruh ruangan, mencoba memahami situasinya.
Para siswa rakyat jelata yang berada di sana langsung bergumam pelan. "Pangeran..."
Sementara itu, siswa pirang menatap Ferisu dengan tajam, terlihat tidak senang. "Apa yang kau inginkan?!" bentaknya dengan nada emosional.
Erica, yang masih berada di lorong, menghela napas panjang. "Kenapa dia tiba-tiba mau ikut campur urusan orang lain?" gumamnya heran.
Licia hanya tersenyum kecil. "Yah, ini Ferisu-sama. Dia selalu sulit ditebak," sahutnya sembari melangkah masuk ke dalam kelas bersama Erica.
"Jadi, apa yang sebenarnya terjadi?" Ferisu mengulangi pertanyaannya. Matanya singkat bertemu dengan siswa rakyat jelata yang sedang ditindas. Tatapan Ferisu tampak dingin, namun penuh arti.
Si siswa rakyat jelata, yang tampaknya sedikit terkejut, akhirnya menjawab. "Dia memaksa Lucy untuk ikut dengannya! Aku mencoba untuk menghentikannya, tapi—"
Belum selesai siswa itu menjelaskan, si rambut pirang, yang disebut Lucius Lambert, merapalkan mantra sihir. Lingkaran sihir bercahaya mulai muncul di depannya, siap untuk menyerang siswa rakyat jelata tersebut.
Namun, sebelum mantra itu sempat diluncurkan, Ferisu dengan gerakan santai merogoh saku bajunya, mengeluarkan pena, dan melemparkannya. Pena itu melesat dengan cepat, menghancurkan lingkaran sihir Lucius hingga lenyap seketika.
"Apa kau berniat menyerangnya dengan sihir?" Nada suara Ferisu berubah tajam dan serius, menatap langsung ke arah Lucius.
Lucius tersentak. "Aku—"
Belum sempat dia menjawab, Erica maju dengan langkah tegas, memotong pembicaraan. "Lucius Lambert! Apa kau pikir aku akan diam saja melihat tindakan seperti ini?" ucapnya dengan nada dingin, matanya menatap tajam ke arah Lucius.
"E-Erica-sama?!" Lucius tampak panik, wajahnya memucat.
"Pelanggaran dalam penggunaan sihir terhadap sesama siswa, serta tindakan penindasan terhadap murid lain..." Erica menambahkan dengan nada tajam. "Aku bisa melaporkan ini langsung kepada kepala sekolah dan bahkan mengirim surat kepada ayahmu. Kau tahu akibatnya, kan? Kau mungkin akan dikeluarkan dari akademi ini."
Lucius terdiam, tidak mampu membalas. Wajahnya menunduk, menunjukkan rasa takut dan malu. Teman-temannya, yang tadi mendukungnya, perlahan mundur, tidak berani ikut campur.
Sementara itu, Ferisu hanya menatap kejadian itu dengan ekspresi datar. "Kalau sudah selesai, aku lapar. Erica, Licia, ayo kita makan siang," ujarnya santai sebelum berbalik keluar dari kelas, seolah kejadian barusan bukanlah sesuatu yang besar.
Erica menggeleng pelan, sedikit kesal. "Benar-benar tidak bisa ditebak."
Licia tersenyum kecil, mengikuti langkah Ferisu. "Tapi, entah bagaimana, itu yang membuatnya menarik, bukan?"
Para siswa di kelas 1-E hanya bisa terdiam, masih terkejut dengan kejadian barusan. Beberapa di antaranya mulai melihat Ferisu dengan sudut pandang yang berbeda. Mungkin, di balik sikap malasnya, ada sisi lain dari Pangeran Ketiga ini yang layak diperhatikan.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
...----------------...
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Saat di kantin, Ferisu, Licia, dan Erica menikmati makan siang mereka di sudut ruangan yang sepi, seperti biasa. Suasana tenang itu tiba-tiba berubah ketika dua orang siswa dari kelas 1-E mendatangi mereka dengan ekspresi gugup.
Salah satunya adalah siswa berambut cokelat yang sebelumnya ditindas di kelas 1-E, sementara yang lainnya adalah seorang gadis berambut pirang yang tampak canggung namun sopan.
"Pe-permisi... Pangeran, soal kejadian barusan... Saya benar-benar berterima kasih!" ucap si rambut cokelat dengan nada gugup, membungkukkan badannya dalam-dalam.
Lucy, gadis di sebelahnya, juga ikut membungkuk. "Kami sangat berterima kasih atas bantuan Anda," katanya dengan suara lembut.
Ferisu mengangkat wajahnya dari piring, memandang mereka dengan ekspresi malas seperti biasa. Ia menyandarkan tubuhnya ke kursi sambil mengamati mereka.
"Hmm..." gumam Ferisu singkat, lalu tatapannya tertuju pada si rambut cokelat. Setelah beberapa saat, ia membuka mulut. "Kau anaknya Paman tukang sate, kan?" tanyanya santai, seolah-olah kejadian sebelumnya tidak terlalu penting.
Siswa berambut cokelat itu terkejut dan mengangguk dengan cepat. "Y-ya! Nama saya Geri!" jawabnya antusias.
Ferisu mengalihkan pandangannya ke gadis pirang di sebelah Geri. "Dan kau... anaknya Bibi toko roti, kan?" tanyanya lagi.
Lucy tampak lebih terkejut dari Geri. "Y-ya, benar... Bagaimana Anda bisa tahu?" tanyanya, matanya membulat karena penasaran.
Ferisu hanya mengangkat bahunya santai. "Orang tua kalian pernah cerita," jawabnya tanpa menjelaskan lebih lanjut, lalu melirik ke arah meja kosong di dekatnya. "Lupakan itu. Cepatlah duduk. Ini waktunya makan siang, bukan waktunya berdiri seperti patung."
Geri dan Lucy saling bertukar pandang sejenak sebelum akhirnya mengangguk patuh. Mereka duduk di meja yang tak jauh dari Ferisu, meski tampak masih canggung. Sementara itu, Erica memandangi Ferisu dengan alis terangkat, merasa sedikit aneh dengan interaksi tersebut.
"Kau mengenal mereka?" tanya Erica akhirnya, sambil mengaduk teh di cangkirnya.
"Sedikit," jawab Ferisu singkat sambil kembali melanjutkan makan siangnya.
Licia tersenyum kecil, melirik ke arah Geri dan Lucy. "Kau ternyata punya sisi yang perhatian juga, ya," ucapnya, meski nada suaranya terdengar menggoda.
"Jangan salah paham. Aku hanya tidak suka melihat bangsawan yang menindas rakyat biasa," balas Ferisu sambil menyuap makanannya dengan santai.
Percakapan itu membuat Geri dan Lucy merasa lebih tenang. Mereka pun makan siang dengan lebih nyaman, meskipun mereka tahu bahwa di depan mereka duduk seseorang yang jauh dari kesan "Pangeran Sampah" seperti yang sering mereka dengar dari rumor di akademi.
raja sihir gitu lho 🤩