Rere jatuh cinta pada pria buta misterius yang dia temui di Sekolah luar biasa. Ketika mereka menjalin hubungan, Rere mendapati bahwa dirinya tengah mengandung. Saat hendak memberitahu itu pada sang kekasih. Dia justru dicampakkan, namun disitulah Rere mengetahui bahwa kekasihnya adalah Putra Mahkota Suin Serigala.
Sialnya... bayi dalam Kandungan Rere tidak akan bertahan jika jauh dari Ayahnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zylan Rahrezi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kesehatan Sang Bayi
Bab 14 -
Rere terbaring di atas hamparan lumut lembut yang seolah menjadi kasur alam untuk tubuhnya yang lelah. Cahaya redup matahari sore menerobos celah-celah daun raksasa di atas hutan Lumina, memberikan nuansa damai meskipun udara sekitar terasa tegang.
Raja Peri Acros berdiri di dekatnya, tangannya melayang di atas tubuh cucunya, mengalirkan aliran mana yang hangat dan bercahaya. Mana milik Rere telah terkikis habis setelah pertempuran panjang, dan Acros tahu, tanpa bantuannya, keseimbangan tubuh peri muda ini bisa terganggu.
"Aku harus cepat," gumam Acros pelan, suaranya penuh kekhawatiran. "Kalau tidak, energi alam mungkin tidak cukup untuk menyembuhkan luka-lukanya."
Bola cahaya biru kehijauan terbentuk di tangannya, memancar seperti bintang kecil, sebelum menyelubungi tubuh Rere. Cahaya itu mulai meresap ke dalam kulit peri muda tersebut, memperbarui energi yang hilang dan menstabilkan mana yang hampir habis.
Saat Raja Acros sibuk, suara gemerisik daun terdengar di belakangnya. Acros tidak perlu menoleh; ia tahu siapa yang datang. Senyum tipis muncul di wajahnya, namun ia tetap fokus pada pekerjaannya.
"Hmm, Raja Besar Acros, apa kau mulai menjadi pengasuh penuh waktu sekarang?" Sebuah suara tua, tetapi penuh semangat, menggema dari balik pepohonan. Kakek Sol, penjaga hutan peri, berjalan mendekat dengan tongkat kayunya yang dihiasi tanaman menjalar dan lumut. Senyum iseng di wajah tuanya tampak begitu lebar saat melihat Acros sibuk merawat Rere.
Acros mendesah pelan, tidak mengalihkan perhatiannya dari cucunya. "Kakek Sol, tak bisakah kau datang tanpa mengganggu pekerjaan pentingku?" jawabnya datar, meskipun sudut bibirnya sedikit terangkat.
Kakek Sol tertawa kecil, melangkah lebih dekat dan memandang Rere yang masih terbaring. "Cucumu ini memang hebat, bertarung dengan begitu gigih hingga mananya habis. Sepertinya dia tak jauh berbeda dari dirimu saat muda. Kau juga dulu keras kepala seperti dia, ingat?"
Acros mendesah lagi, tapi kali ini lebih panjang. "Dia hanya butuh sedikit waktu untuk memulihkan diri. Mana-nya belum stabil karena-"
"Karena siapa, Acros? Karena kau terlalu berlebihan melindunginya," sela Kakek Sol sambil tertawa lagi. "Jika kau terus-terusan mengisi mana-nya setiap kali dia kelelahan, bagaimana dia bisa belajar mengelola kekuatannya sendiri?"
Acros menurunkan tangannya, cahaya biru perlahan memudar. la tahu, meskipun terkadang Kakek Sol terdengar meledek, ada kebenaran dalam kata-katanya. Rere memang harus belajar mengendalikan kekuatannya sendiri. Namun, sebagai kakek dan Raja Peri, rasa ingin melindunginya selalu lebih kuat.
"Dia akan belajar," jawab Acros dengan nada serius. "Tapi bukan saat ini. Dia masih terlalu muda dan terlalu berharga untuk kubiarkan tersakiti lebih jauh."
Kakek Sol menggelengkan kepalanya, senyumnya tak memudar, "Kau tahu, Acros, terkadang cinta yang terlalu besar malah membuat seseorang jadi lemah. Kau bisa memberi dia sayap, tapi kau juga harus membiarkan dia jatuh agar tahu bagaimana cara terbang sendiri."
Acros memandangi wajah Rere yang damai saat dia mulai memulihkan diri, hatinya diliputi kebingungan. "Aku tahu, Sol. Tapi biarkan aku sebagai kakeknya... setidaknya untuk sekarang, aku hanya ingin memastikan dia baik-baik saja."
Kakek Sol mengangkat bahu, berbalik sambil berjalan perlahan meninggalkan tempat itu. "Baiklah, baiklah, teruskan saja. Tapi ingat kata-kataku, Acros. Suatu hari, kau harus melepasnya-meskipun itu sulit."
Acros hanya terdiam, memandang cucunya dengan tatapan penuh kasih. Meski hatinya mengerti, sebagai kakek dan Raja Peri, keinginan untuk melindungi keluarganya akan selalu lebih kuat. Namun, kata-kata Kakek Sol akan terus terngiang dalam pikirannya.
Di kejauhan, Kakek Sol tertawa pelan, suara tuanya hilang di antara desiran angin hutan Lumina.
Rere terbangun dengan napas terengah-engah. Pandangannya masih kabur, tapi dia segera merasakan sakit yang tajam di perutnya. Wajahnya seketika berubah panik, dan tangan gemetar meraba perutnya yang terasa kram, seolah ada sesuatu yang salah. Keringat dingin membasahi dahinya saat rasa sakit semakin menusuk.
"Bayi... bayiku..." bisiknya, suaranya bergetar penuh kecemasan.
Dia berusaha duduk, meskipun tubuhnya masih lemah dan terasa berat. "Di mana bayiku? Apakah dia baik-baik saja?!" suaranya memecah keheningan hutan, menggema di antara pepohonan.
Raja Acros, yang masih berdiri di dekatnya, segera merunduk, menyentuh bahu cucunya dengan lembut. "Tenang, Rere. Kau masih lemah. Jangan bergerak terlalu banyak," ucapnya, berusaha menenangkan peri muda yang sekarang terlihat lebih panik.
Rere menepis tangannya, matanya penuh ketakutan, "Aku merasakan sakit di perutku, kram yang sangat menyakitkan. Apa yang terjadi pada bayi dalam kandunganku, Kakek? Tolong, katakan padaku dia baik-baik saja!" Tangisnya mulai pecah, air mata mengalir deras di pipinya.
Melihat cucunya dalam keadaan seperti itu, hati Acros terasa seperti diiris. Dia tahu betapa besar cinta Rere pada bayi yang dikandungnya, dan melihatnya dalam kepanikan seperti ini membuat segalanya terasa lebih sulit. Dia segera memusatkan perhatian, menggunakan kekuatannya untuk memeriksa keadaan bayi di dalam kandungan Rere. Cahaya lembut biru kehijauan kembali muncul di tangannya saat dia mengalirkan mana ke tubuh cucunya.
"Rere, dengarkan aku," ujar Acros lembut, tapi tegas. "Bayi dalam kandunganmu aman. Tidak ada yang perlu kau khawatirkan. Kram yang kau rasakan mungkin disebabkan oleh kelelahanmu, tapi aku sudah memastikan bahwa bayi itu baik-baik saja.'
Rere berhenti sejenak, mencoba meresapi kata-kata kakeknya. Napasnya masih tersengal, tapi ia mulai tenang sedikit demi sedikit. "Apa... apa kau yakin?" tanyanya, suaranya nyaris berbisik, namun nadanya masih dipenuhi kecemasan.
Acros menatap matanya dengan lembut. "Ya, Rere. Aku telah memeriksanya. Bayimu kuat, sama sepertimu. Kalian berdua hanya perlu istirahat dan memulihkan energi. Jangan terlalu khawatir." Air mata Rere masih mengalir, namun kali ini lebih karena kelegaan. Dia meraba perutnya lagi, merasakan kehidupan kecil yang berdenyut di dalamnya. "Aku takut... aku sangat takut," ucapnya pelan, suaranya dipenuhi rasa khawatir yang belum sepenuhnya hilang.
Acros duduk di sampingnya, menyentuh kepala cucunya dengan penuh kasih sayang. "Aku tahu, Rere. Ketakutan itu wajar. Tapi kau kuat. Lebih kuat dari yang kau sadari. Dan bayimu akan tumbuh sehat, berkat kekuatanmu. Percayalah pada dirimu, seperti aku percaya padamu."
Rere menundukkan kepala, mencoba menenangkan detak jantungnya yang masih berpacu. Rasa takutnya perlahan-lahan digantikan oleh harapan, dan kehangatan cinta yang mengalir dari kakeknya memberinya kekuatan. Meski tubuhnya masih lelah, dia merasa sedikit lebih damai.
"Aku hanya ingin melindunginya, Kakek. Seperti kau melindungiku."
Acros tersenyum kecil, mengusap rambutnya dengan lembut. "Dan kau akan, Rere. Kau akan jadi ibu yang luar biasa. Tapi untuk sekarang, biarkan aku yang melindungimu-dan dia. Istirahatlah, agar kau bisa mengembalikan kekuatanmu."
Dengan perasaan yang lebih tenang, Rere berbaring kembali, matanya perlahan tertutup. Rasa sakit di perutnya mulai mereda, dan dengan kata-kata kakeknya yang menenangkan, ia bisa merasakan beban di hatinya sedikit terangkat.
Sementara itu, Acros duduk di sisinya, tetap waspada, memastikan bahwa tidak ada ancaman lain yang mendekati mereka. Tepat sebelum Rere benar-benar terlelap, dia berbisik pelan, hampir seperti doa.
Terima kasih, Kakek... terima kasih sudah selalu ada untukku dan untuknya.
Malam di istana Espencer sudah terasa tenang, bintang-bintang berkerlip di langit seperti butiran permata yang menghiasi tirai malam. Di dalam kamarnya, Putra Mahkota Arion De Espencer berdiri di dekat jendela, menatap kosong ke luar, pikirannya melayang jauh. Seharusnya dia sudah beristirahat setelah hari yang panjang, namun ada sesuatu yang terus mengganggunya-sesuatu yang tidak bisa dia singkirkan begitu saja.
Dia kembali teringat soal sang utusan peri, sosok misterius yang dia temui beberapa hari lalu. Entah mengapa, meskipun mereka baru bertemu, dia merasa sangat akrab dengan kehadiran peri itu. Seperti ada kenangan samar yang bersembunyi di balik ingatan, sesuatu yang tidak dapat dia jelaskan, tapi terus memanggilnya dari balik bawah sadar.
Wajah sang utusan peri kembali muncul dalam pikirannya. Tatapan mata peri itu... ada sesuatu di baliknya, sesuatu yang familiar. "Siapa dia sebenarnya?" gumam Arion pelan, mengerutkan dahi. Keakraban yang dia rasakan tidak hanya sekadar pertemuan biasa-itu lebih dalam, lebih pribadi. Namun, di sisi lain, nalurinya sebagai seorang putra mahkota juga menyiratkan sesuatu yang lebih dari sekadar rasa familiar. Apakah ini pertanda buruk? Ataukah ada sesuatu yang disembunyikan oleh peri itu?
Arion mencoba untuk tidak memikirkan lebih jauh, tapi kekhawatiran itu terus menggerogoti pikirannya. "Mungkin ini cuma kebetulan," bisiknya pada dirinya sendiri. Tapi pikiran itu tidak juga reda. Dia merasa harus melakukan sesuatu untuk menjernihkan pikirannya. Mungkin berjalan di taman istana bisa membantunya menghilangkan beban yang terasa semakin berat di pundaknya.
Dengan gerakan cepat, Arion mengenakan jubahnya dan meninggalkan kamar, berjalan menyusuri koridor istana yang sepi. Langkah kakinya terdengar lembut di atas lantai marmer dingin, sementara angin malam berhembus lembut melalui jendela terbuka, membawa aroma bunga malam yang samar.
Saat dia melintasi taman, pikirannya masih dipenuhi oleh sosok utusan peri itu. Setiap langkah yang dia ambil terasa lebih berat, seolah alam bawah sadarnya menuntunnya untuk memecahkan teka-teki yang tersembunyi di balik perasaan aneh ini. Namun, sebelum dia bisa lebih jauh terjebak dalam pikirannya sendiri, suara lembut dan penuh kasih memecah kesunyian.
"Arion?"
Putra Mahkota itu berhenti, tubuhnya menegang sejenak sebelum dia berbalik. Di sana, berdiri dengan anggun di bawah sinar bulan yang lembut, adalah ibunya, Ratu Liliana De Espencer. Wajahnya yang penuh kasih dan lembut memancarkan kehangatan yang selalu menenangkan hati Arion.
"Ibu..." Arion tersenyum tipis, tapi jelas terlihat ada sesuatu yang mengganggunya.
Ratu Liliana melangkah mendekatinya, tatapannya penuh perhatian. "Kau seharusnya sudah beristirahat, anakku. Apa yang membuatmu berjalan keluar di tengah malam seperti ini?" tanyanya lembut, mengetahui bahwa ada sesuatu yang mengganggu putranya.
Arion menghela napas panjang, merasa seolah-olah beban pikirannya terlalu berat untuk diungkapkan. "Aku... hanya merasa gelisah, Ibu. Ada sesuatu yang terus menghantuiku, tapi aku tidak bisa menjelaskan apa itu."
Ratu Liliana menatap putranya dengan pandangan yang dalam dan penuh pengertian. "Katakan padaku, Arion. Apa yang membuatmu gelisah?"
Arion menundukkan kepala sejenak sebelum akhirnya berbicara.
"Utusan peri yang datang beberapa hari lalu... entah mengapa aku merasa sangat familiar dengannya. Seperti aku pernah mengenalnya, tapi aku tidak bisa mengingat kapan atau di mana. Dan hal ini semakin membuatku curiga bahwa ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar kunjungan resmi."
Ratu Liliana terdiam sejenak, menimbang kata-kata putranya. Dia kemudian mengulurkan tangan dan menyentuh bahu Arion dengan lembut. "Kadang-kadang, perasaan kita bisa menuntun kita pada kebenaran yang tersembunyi. Namun, jangan biarkan kecurigaan membuatmu terburu-buru mengambil kesimpulan."
Arion mengangguk, tapi hatinya masih penuh dengan kebingungan. Tapi... apa yang harus kulakukan, Ibu? Perasaan ini semakin kuat, dan aku takut jika aku tidak melakukan sesuatu, hal buruk mungkin terjadi."
Ratu Liliana tersenyum kecil, kemudian berkata dengan tenang, "Percayalah pada dirimu sendiri, Arion. Jika perasaanmu benar, kau akan menemukan jawabannya pada waktunya. Namun, untuk sekarang, kau harus menjaga keseimbangan antara intuisi dan kewaspadaan. Jangan terlalu cepat menyimpulkan, tapi juga jangan abaikan apa yang kau rasakan."
Arion menatap ibunya dalam-dalam, merasa sedikit lega mendengar kata-katanya. Meskipun pikirannya masih dipenuhi tanda tanya, kehadiran ibunya yang penuh cinta memberinya ketenangan. "Terima kasih, Ibu," ucapnya pelan. Ratu Liliana mengangguk, senyumnya masih terpancar. "Sekarang, kembalilah ke kamar dan istirahatlah. Apa pun yang kau rasakan, kita akan hadapi bersama, sebagai keluarga."
Dengan hati yang sedikit lebih tenang, Arion mengangguk dan berjalan kembali ke arah istana, meninggalkan taman yang kini terasa lebih damai. Namun, di sudut hatinya, dia tahu bahwa perasaan familiar itu belum sepenuhnya hilang. Dan entah bagaimana, dia merasa bahwa pertemuannya dengan utusan peri itu adalah awal dari sesuatu yang lebih besar dan lebih rumit dari yang dia bayangkan.
Setelah mendengarkan nasihat lembut ibunya, Arion hendak melanjutkan langkahnya kembali ke istana. Namun, sebelum dia bisa melangkah lebih jauh, Ratu Liliana memanggilnya lagi, suaranya terdengar sedikit lebih serius dari sebelumnya.
"Arion, tunggu sebentar."
Putra Mahkota itu berhenti, menoleh ke arah ibunya dengan alis sedikit terangkat, tanda ia merasa ada sesuatu yang lebih penting yang ingin disampaikan oleh Ratu Liliana.
"Ada satu hal lagi yang ingin Ibu bicarakan denganmu," ujar Liliana, melangkah mendekati putranya. "Terkait rencana perjodohan yang ditawarkan oleh Keluarga Vorbest.
Arion menegang sesaat, jelas sudah menduga topik ini akan muncul. Keluarga Vorbest, dengan segala ambisinya, sudah sejak lama menekan kerajaan Espencer untuk menguatkan hubungan politik dengan mengangkat putri mereka, Areum De Vorbest, sebagai calon Putri Mahkota.
Liliana melanjutkan, "Keluarga Vorbest sudah mengusulkan perjodohan dengan Areurn De Vorbest. Mereka yakin ini akan memperkuat aliansi kita dan membantu stabilitas kerajaan. Apa yang kau pikirkan tentang itu?"
Arion terdiam sejenak, memandang ke kejauhan, pikirannya seolah bergulat dengan berbagai hal yang lebih besar dari sekadar perjodohan. Setelah beberapa saat, dia menarik napas dalam-dalam dan menatap ibunya dengan tegas.
"Ibu," kata Arion, suaranya terdengar tenang namun penuh kepastian. "Aku belum terpikirkan untuk mengangkat Putri Mahkota saat ini."
Liliana mengerutkan alis, terkejut dengan keputusannya yang jelas dan lugas. "Belum? Tapi ini bisa membantu kerajaan kita, terutama dengan situasi politik yang sedang genting, Areum adalah calon yang kuat, dan keluarga Vorbest-"
Arion mengangkat tangannya sedikit, menghentikan ibunya dengan sopan. "Ibu, aku paham situasinya. Tapi saat ini, ada hal yang lebih mendesak dari sekadar perjodohan atau pengangkatan Putri Mahkota."
Liliana menatapnya dengan penuh perhatian, mencoba memahami lebih dalam maksud dari kata-kata putranya.
"Retakan di dunia bawah semakin memburuk," lanjut Arion dengan suara tegas. "Masalah ini jauh lebih penting daripada urusan perjodohan. Sampai aku memastikan bahwa ancaman dari dunia bawah bisa dikendalikan, aku tidak akan mengambil keputusan tentang siapa yang akan menjadi Putri Mahkota."
Liliana terdiam, menyadari keseriusan situasi yang dihadapi Arion. Dia tahu bahwa retakan dunia bawah, yang mengancam kestabilan dunia mereka, memang lebih besar dari urusan politik semata.
Arion melanjutkan, "Aku tidak akan menempatkan siapa pun-termasuk Areum atau gadis mana pun-di posisi berbahaya sementara ancaman ini belum tertangani. Aku ingin memastikan bahwa dunia ini aman sebelum aku memikirkan tentang penerus atau Putri Mahkota."
Ratu Liliana menatap putranya dengan campuran rasa bangga dan kekhawatiran. Meski dia tahu keputusan Arion diambil dengan penuh pertimbangan, dia juga memahami bahwa menunda pengangkatan Putri Mahkota akan membuat tekanan politik semakin meningkat.
"Tapi, Arion," katanya pelan, "kau tahu bahwa menunda keputusan ini akan menambah ketegangan dengan keluarga Vorbest. Mereka tidak akan senang jika perjodohan ini terus tertunda."
Arion mengangguk. "Aku sadar, Ibu. Tapi aku akan menghadapi mereka nanti. Prioritas utama kita sekarang adalah mencegah retakan dunia bawah merusak keseimbangan dunia kita. Masalah ini harus diselesaikan terlebih dahulu. Setelah itu, aku akan mempertimbangkan siapa yang pantas menjadi Putri Mahkota."
Liliana akhirnya tersenyum kecil, meski masih ada kekhawatiran di matanya. "Baiklah, Arion. Ibu percaya pada keputusanmu. Tapi ingatlah, waktu terus berjalan, dan politik tidak akan menunggu."
Arion membalas senyuman ibunya, meskipun hatinya masih dipenuhi oleh beratnya tanggung jawab yang menantinya. "Aku mengerti, Ibu. Tapi untuk saat ini, biarkan jabatan Putri Mahkota kosong hingga semua ini selesai."
Dengan itu, Arion melanjutkan langkahnya menuju kamarnya, meninggalkan Liliana yang memandangi punggung putranya dengan campuran perasaan bangga dan khawatir. Meski keputusan Arion tegas, ia tahu bahwa tantangan yang dihadapi putranya akan terus membesar, baik dari dunia politik maupun dari ancaman yang lebih gelap dan tak terduga.
Dan di balik semua itu, Arion tak bisa menghilangkan perasaan aneh yang menyelimuti pikirannya tentang masa lalunya yang hilang dan sosok peri yang seolah terus memanggilnya, meskipun ia belum sepenuhnya mengingat siapa peri itu.
pliz jgn digantung ya ...
bikin penasaran kisah selanjutnya
apa yg dimaksud dgn setengah peri dan manusia? apakah rere?