Seira, 25 tahun, istri dari seorang saudagar beras harus menerima kenyataan pahit. Dikhianati suami disaat ia membawa kabar baik tentang kehamilannya. Zafran, sang suami berselingkuh dengan temannya yang ia beri pekerjaan sebagai sekretaris di gudang beras milik mereka.
Bagaimana Seira mampu menghadapi semua ujian itu? Akankah dia bertahan, ataukah memilih pergi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aisy hilyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perang Batin
Dengan perasaan kesal, Lita menuruni anak tangga menuju lantai satu. Di sana wanita tua itu masih duduk santai sambil menghadap televisi. Sinetron rumah tangga yang sedang dilihatnya, tak jauh beda dengan kehidupan yang dia berikan pada sang menantu.
Mendengar ketukan langkah di lantai yang cukup keras, ia menoleh dengan dahi mengkerut. Pandanganya tajam memicing, tak senang melihat wanita itu di sana.
"Gimana sama Zafran? Apa dia udah selesai? Seira nggak pernah ninggalin dia sendirian sebelum bener-bener tidur," ujar sang Ibu dengan nada ketus.
Oh, belum juga menjadi mertua, ia sudah dapat semburan tak mengenakan seperti itu. Lita menggeleng, lagi-lagi hatinya tercubit kala nama sahabat yang ia benci disebut di rumah itu.
"Apa? Jadi kamu ninggalin Zafran sendirian? Astaga!"
Ibu bangkit dengan wajah panik. Berjalan tergesa bahkan bahu Lita disenggolnya agar menyingkir dari jalan. Wanita tak tahu malu itu mengernyit bingung melihatnya seperti orang yang mendengar kabar tentang kebakaran.
Ia mengangkat bahu tak acuh, berjalan ke arah sofa dan mendaratkan bokongnya di sana dengan santai. Tanpa peduli pada konsisi Zafran yang entah akan seperti apa jika ditinggal.
"Nyebelin banget, sih. Kenapa mereka masih sebut-sebut nama si mandul itu coba, ngeselin. Awas aja nanti kalo aku udah jadi nyonya ... liat apa yang bisa aku lakuin buat mereka," kecam Lita dengan suara yang hanya dapat didenger olehnya sendiri.
"LITAAAA!"
Baru beberapa saat menikmati posisi santainya, teriakan sang Ibu menggema hingga ke lantai satu. Lita tersentak, mendongak pada deretan anak tangga di mana mereka berada.
Penasaran dengan kondisi Zafran, apakah benar laki-laki itu manja dan rewel saat sakit seperti itu. Ia bangkit dengan malas, berjalan tanpa semangat menuju kamar Zafran.
"Ada apa, Tante? Kenapa teriak-teriak?"
Untung hujan, jadi lengkingan tinggi itu tak sampai didenger tetangga. Lita bergumam sambil melangkah masuk ke dalam kamar, wanita tua itu dan anaknya masih berada di dalam kamar mandi. Entahlah.
"Kena-"
"Mas Zafran!"
Lita memekik dikala melihat Ibu sedang mengangkat Zafran yang tak sadarkan diri dari dalam air. Gegas ia hampiri, dan membantunya juga. Mengambil handuk yang cepat dililitkan ke tubuh laki-laki itu.
"Kenapa bisa sampe kayak gini?" katanya sedikit kesal juga sedikit panik. Merepotkan.
Keduanya bekerjasama membawa tubuh laki-laki itu ke atas kasur, Ibu menutupi tubuh Zafran dengan selimut, sedangkan Lita mencari-cari pakaian untuknya.
"Kamu kenapa nekad kayak gini, sih? Udah tahu badan kamu itu lemah, nggak bisa kena hujan. Kenapa masih nekad juga?" lirih sang Ibu menangis pilu.
Diusap-usapnya dahi sang anak sembari meraba suhu tubuh. Ia demam tinggi, jika begini pastilah semua orang akan direpotkan. Terkecuali, Seira. Yang tak pernah mengeluh, apalagi kesal saat merawatnya. Hanya wanita itu, yang selalu tersenyum dan berkata lembut disaat Zafran meminta ini dan itu.
Oh, sepertinya tak akan ada lagi wanita yang seperti dirinya.
"Ini, Tante!" Lita datang dan memberikan pakaian ganti itu padanya.
Ibu melirik tak senang, perlahan mendongak seraya berucap ketus, "Lho? Kenapa dikasih ke saya? Kamu pakein, dong! Gimana, sih? Kamu itu, kan, calon istrinya. Mulai sekarang kamu yang harus rawat dia. Seira nggak pernah disuruh juga dia langsung ngerti."
Ia bergeser memberi ruang pada Lita agar memakaikan pakaian itu pada Zafran. Lagi-lagi hatinya kesal, nama wanita itu disebut. Namun, demi mendapatkan apa yang dia inginkan, Lita harus kuat sampai waktunya pembalasan tiba.
Ia duduk di tepi ranjang, menyingkap selimut yang menutupi tubuh polos Zafran. Baru kali ini dia tak senang melihat keadaan laki-laki itu meskipun tanpa busana. Lita melirik wajah Zafran, pucat dan tak sedap dipandang.
Lekas ia pakaikan baju itu, jantungnya tersengat dikala kulit mereka bersentuhan.
"Mas Zafran demam, Tante. Badannya panas banget," ucapnya sembari meneruskan pekerjaan memakaikan baju.
"Iya, saya mau hubungin pak mantri dulu. Jangan kamu tinggal lagi, Zafran nggak bisa ditinggal sendirian kalo lagi sakit," ingat sang Ibu sebelum keluar kamar dan masuk ke kamarnya sendiri.
Ia berniat menghubungi mantri yang sering menerima panggilan tugas di sekitar daerah tersebut tanpa kenal waktu. Usai menyanggupi, ia berjalan ke dekat jendela. Menatap rintik hujan yang mulai mereda.
Teringat pada Seira, wanita itu tak pernah membuatnya repot. Segala sesuatu selalu dikerjakan dengan cekatan tanpa bantuan darinya. Meski ia terlihat tidak berpendidikan, tapi tak pernah mengecewakan apalagi membuat kesal.
Ia hampir lupa, jam makan malam telah terlewati. Baru sadar jika di atas meja makan belum ada makanan tersaji. Buru-buru mendatangi kamar Zafran dan mendapati Lita yang sedang mengompres dahi Zafran. Ia tersenyum.
"Makasih, ya. Kamu udah perhatian sama anak Tante," ucapnya seraya ikut duduk di tepi ranjang.
Lita tersenyum, merasa diterima dengan apa yang dia lakukan. Padahal, air yang dia gunakan adalah bekas Zafran berendam. Terkikik dalam hati, tapi tak apa.
"Nggak apa-apa, Tante. Lagian Tante bener, kok, bentar lagi aku jadi istri Mas Zafran. Jadi, harus belajar mulai dari sekarang," sahut Lita dengan sedikit bangga.
Ibu semakin sumringah, senyum yang menyiratkan makna lain.
"Kalo gitu kebetulan, ini udah waktunya makan malam, tapi di meja makan belum ada makanan. Kamu bisa masak, 'kan?"
Duar!
Hatinya tersambar petir, baru saja dipuji setinggi langit sekarang dijatuhkan lagi. Oh, apakah seperti ini hidup bersama mertua yang menyebalkan?
"E-emangnya nggak ada pembantu di rumah ini, Tante?" tanya Lita sambil menahan getar kekesalan yang bergejolak.
"Aduh, kamu itu lupa, ya. Pembantu di sini, kan, tadi ikut pergi sama Seira. Lagian tu, ya, kalo urusan masak Seira sendiri yang bikin. Pembantu itu cuma bersih-bersih rumah aja. Udah, buruan sana. Masak yang enak, ya, calon menantuku."
Benar-benar menyebalkan, belum sehari tinggal di rumah di rumah itu, sudah ribuan kali ia mendengar nama wanita itu disebut. Seira benar-benar telah mengikat hati mereka hingga terus terpaut padanya.
"Tapi, Tante-"
"Udah, nggak ada tapi-tapi. Cepetan, bikin sup supaya langsung bisa dimakan Zafran nanti klo udah bangun," tolaknya dengan cepat.
Lita menggeram dalam hati, baskom kecil itu bahkan dihentaknya di lantai demi menuntaskan rasa kesal. Tak urung juga keluar kamar langsung menuju dapur. Mencari-cari bahan sayuran untuk dimasaknya.
"Sialan! Belum juga jadi mantu, udah disuruh ini itu. Dasar nenek-nenek nyebelin. Udah tua, tapi nggak sadar juga. Cerewet, suka ngatur, nyebelin, ngeselin, bikin muak," umpat Lita sambil memotong-motong sayuran juga daging ayam yang ia temukan.
"Hah, mana aku nggak bisa masak lagi. Biasanya tinggal pesen-pesen aja di hp, atau ikut makan bekel Mas Zafran klo dia nganterin. Ih, nyebelin. Emang, sih, masakan Sei itu sempurna ... ah, apa, sih kamu. Nggak usah mikirin dia lagi."
Lita menggerutu sambil terus menyiapkan bahan-bahan yang akan dimasaknya.
Ting tong!
Bel rumah yang berbunyi cukup nyaring membuat tubuhnya terlonjak.
"Sialan, bikin kaget aja. Siapa, sih?" Dia mengumpat sambil membawa langkah menuju pintu.