“Meski kita sudah menikah, aku tidak akan pernah menyentuhmu, Mbi. Haram bagiku menyentuh wanita yang tidak mampu menjaga kesuciannya seperti kamu!” Kalimat itu Ilham ucapkan dengan tampang yang begitu keji, di malam pertama mereka.
Selain Ilham yang meragukan kesucian Arimbi walau pria itu belum pernah menyentuhnya, Ilham juga berdalih, sebelum pulang dan menikahi Arimbi, pria itu baru saja menikahi Aisyah selaku putri dari pimpinan tertinggi sekaligus pemilik pondok pesantren, Ilham bernaung. Wanita yang Ilham anggap suci dan sudah selayaknya dijadikan istri.
Arimbi tak mau terluka makin dalam. Bertahun-tahun menjadi TKW di Singapura demi membiayai kuliah sekaligus mondok Ilham agar masa depan mereka setelah menikah menjadi lebih baik, nyatanya pria itu dengan begitu mudah membuangnya. Talak dan perpisahan menjadi satu-satunya cara agar Arimbi terbebas dari Ilham, walau akibat talak itu juga, Arimbi mengalami masa-masa sulit akibat fitnah yang telanjur menyebar.
(Merupakan kisah Mas Aidan, anak Arum di novel : Pembalasan Seorang Istri yang Dianggap Sebagai Parasit Rumah Tangga)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rositi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
32 : Ngeri!
Bersama mas Aidan yang mengendarai motornya sendiri, Arimbi menepikan motornya di halaman depan kediaman orang tua Ilham. Arimbi menghela napas pelan, antara lemas bahkan malas.
“Jujur Mas, saya malu kalau bentar-bentar ke sini,” lirih Arimbi berbisik-bisik kepada mas Aidan.
Berbeda dengan Arimbi, mas Aidan memang sampai memakai helm maupun sarung tangan dan kini tengah dilepas.
“Ya sama, walau jelas dia yang salah. Namun kan, yang namanya menuntut keadilan enggak boleh malu, Mas. Demi kebaikan bersama, khususnya ketenteraman Mbak juga!” yakin mas Aidan berbicara lirih juga.
Ceklek....
Seseorang membuka pintu rumah orang tua Ilham dari dalam dan itu Aisyah. Berbeda dari biasanya, kini Aisyah memakai jilbab biasa layaknya Arimbi hingga tato di wajahnya terlihat sangat jelas. Tampaknya, Aisyah memang sengaja ingin terang-terangan menunjukkan siapa dirinya yang sebenarnya. Wujud asli dan Aisyah harapkan mampu membuat semuanya takut bahkan tunduk kepadanya.
Aisyah hanya menatap curiga kedua sejoli yang mendatanginya tanpa berniat bertanya bahkan itu melayangkan salam. Karena walau Arimbi sudah melakukannya lebih dulu, ia juga tidak membalas salam dari mantan tercinta sang suami itu.
“Mungkin telinganya tertutup koto*ran segede gajah, sementara lidahnya juga lagi kram, makanya dia cuma diam, Mbak!” ucap mas Aidan yang belum apa-apa sudah langsung kesal ke Aisyah.
“Apaan sih kalian, bakat banget bikin heboh!” sinis Aisyah.
Mendengar itu, Arimbi dan mas Aidan kompak saling lirik.
“Kalian enggak takut digerebek warga dan dikuasai set*tan, belum nikah selalu duaan?!” lanjut Aisyah masih sinis lengkap dengan lirikan mautnya yang menghakimi mas Aidan maupun Arimbi.
“Kalaupun kami memang sampai menikah, saya enggak akan merasa rugi kok, Mbak. Malahan saya bersyukur, ... enggak tahu si Ilham, yang berasa beli kucing dalam karung. Saya pikir hanya youtuber yang suka ngeprank. Eh ternyata yang awalnya dibungkus rapat juga suka!” tegas Mas Aidan dan langsung membuat Aisyah kicep. Wajah wanita itu tampak menjadi pucat.
“Siapa yang datang?” tanya ibu Siti yang kedua pelipis, kening, tengkuk, dan juga kedua sisi lehernya dihiasi koyok mirip pawai layar tancap. Tak kalah mencolok, tentu suaranya yang serak mirip suara dari tenggorokan dicek*kek.
Berbeda dari biasanya, hadirnya mas Aidan di sana langsung membuat ibu Siti bersemangat. Ibu Siti langsung mengajak mas Aidan maupun Arimbi masuk rumah.
“Mbak Aish, lihat Mbak Arimbinya, bisa biasa saja, enggak?!” kesal mas Aidan karena seperti yang Arimbi ceritakan, cara Aisyah menatap Arimbi benar-benar menyeramkan.
“Ini juga sudah biasa, Mas. Karena mata saya memang begini, enggak dibuat-buat apalagi kalau ke orang yang enggak beres, pasti langsung menyesuaikan!” yakin Aisyah tapi dengan marah-marah.
Mas Aidan menggeleng tak habis pikir. Apalagi ketika mendapati Aisyah tetap berdiri diam di pinggir meja menyimak obrolan, padahal ibu Siti sudah menyuruhnya.
“Ya sudah, Bu. Enggak perlu repot-repot. Toh kami juga enggak akan lama. Kalau boleh tahu, bapak atau mas Ilhamnya, ada?” balas mas Aidan santun.
“Kalau Bapak, baru berangkat ke sawah lagi. Nah kalau Ilham, kebetulan belum pulang, lagi melamar kerja di beberapa sekolah,” jelas ibu Siti.
Kalimat “melamar kerja di beberapa sekolah” membuat Arimbi yakin, kemungkinan Ilham kembali ke pondok pesantren sangat kecil. Karena jika akan kembali ke pondok pesantren dalam waktu dekat, tentu Ilham tak mungkin sampai melamar pekerjaan.
“Nah, itu Ilhamnya pulang!” sergah ibu Siti bersama suara motor Ilham yang terdengar mendekat.
Berbinar-binar Aisyah langsung lari bak orang kasmaran yang tak sabar bertemu pangeran berkuda putihnya. Kenyataan yang lagi-lagi membuat Arimbi dan mas Aidan saling lirik hingga tatapan dua sejoli itu bertemu.
“Sayang, kamu sudah pulang?” sapa Aisyah manja sekaligus penuh perhatian.
Yang disapa dan awalnya tengah fokus mengamati kedua motor di depannya, langsung merinding. Harusnya Ilham bahagia karena kepulangannya disambut penuh cinta oleh sang istri. Namun, Ilham yang mengedepankan segala sesuatunya berdasarkan fisik, langsung enek. Sebab jujur saja, ia masih belum sudi menyentuh Aisyah. Malahan menghadapi wanita yang sempat ia anggap suci tersebut, dirasanya ibarat mimpi buruk. Sebab sampai kapan pun, ia tak mungkin meninggalkan Aisyah.
Asiyah tak segan mendekap mesra sebelah lengan Ilham walau Ilham terus berusaha menepisnya. Adanya Arimbi dan mas Aidan di sana langsung mengusiknya. Keduanya yang duduknya berjarak, kompak menatapnya. Entah sengaja atau memang ada hal yang membuat keduanya refleks melakukannya.
Tak mau membuang-buang waktu ditambah Ilham yang harusnya tanggung jawab juga ada di sana, mas Aidan pun segera membuka obrolan selaku maksud dari kedatangannya membawa Arimbi ke sana. Ia meminta ketegasan Ilham maupun ibu Siti yang sudah mirip pameran layar tancap.
“Kalau memang Arimbi merasa tidak nyaman bahkan takut ke saya, ya makanya sana cepat-cepat menikah!” kesal Aisyah yang sengaja duduk di sebelah Ilham. Mereka duduk di risban yang sama dengan ibu Siti.
“Mbak Aisyah tolong jaga sikap Mbak, yah, Mbak! Satu lagi, Mbak Aisyah enggak usah sibuk atur hidup Mbak Arimbi karena hidup Mbak saja amburadul! Ada, wanita waras bahkan berpendidikan, paham agama, subuh-subuh lempar batu ke punggung orang hingga pakaian di punggung orang itu, bolong? Ini punggung Mbak Arimbi sampai ungu gosong bekas hantaman keras!” todong mas Aidan tak kalah emosional dari Aisyah.
“Wah, jadi Mas Pengacara ini menuduh saya? Ini jatuhnya fitnah, loh, Mas!” kesal Aisyah makin meledak-ledak.
“Mbak Aisyah berani bersumpah? Saya tak segan memperkarakan Mbak loh! Termasuk kata-kata kasar Mbak dan juga ancaman Mbak kepada Mbak Arimbi yang akan mengundang teman-teman Mbak untuk menge*royok Mbak Arimbi!” sergah mas Aidan berbicara cepat nyaris tak memiliki spasi hanya karena terlalu takut disela oleh Aisyah.
Setelah sempat terdiam kebingungan dan tak lagi menatap mas Aidan karena memang tidak berani, Aisyah berkata, “Jangankan bersumpah, memotong lidah saya andai tudingan kalian benar saja, saya sanggup!” Ia bersikap tegas, seolah dirinya tidak bersalah.
Arimbi langsung melirik Mas Aidan yang ia pergoki sangat marah kepada Aisyah. Mas Aidan nyaris tak berkedip menatap Aisyah penuh keseriusan.
“Tapi subuh tadi, Aisyah memang keluar rumah.” Ilham yang sedari awal diam, akhirnya angkat suara.
Aisyah langsung gelisah, menatap tak habis pikir sang suami. “Itu buat ambil air wudu buat subuhan, Mas!”
Tanpa melirik sang istri sedikit pun, Ilham berkata, “Kalau beneran mau ambil air buat wudu harusnya ke belakang sebelah dapur, bukan ke depan. Toh selain kembali dengan tangan kosong, kamu juga langsung tidur, bablas enggak subuhan!”
“Mas Ilham sayaaaaang!” lirih Aisyah menatap geregetan sang suami.
Mas Aidan yang masih menatap marah Aisyah, segera berkata, “Jangan lupa dengan sumpah sekaligus janjimu memotong lidah, Mbak Aisyah!”
Aisyah langsung kicep sekaligus menunduk dalam.
“Orang berwatak semacam Mbak Aisyah memang sangat banyak. Berlindung di balik agama dan ilmu. Merugikan banyak pihak, menimbulkan banyak ketidaknyamanan. Jadi ke depannya, jika sampai terjadi sesuatu ke Mbak Arimbi, orang yang akan langsung saya ciduk itu ANDA! ANDA JANGAN MAIN-MAIN DENGAN SAYA, YA! PERGI DAN JANGAN DI SINI JIKA ANDA HANYA MEMBUAT MASALAH. MEMBUAT ORANG LAIN DIRUGIKAN LAHIR BATIN!”
“Mulai sekarang kamu ke sawah saja. Biar kamu punya kesibukan dan enggak sibuk rusuhin hidup orang! Biar kamu juga berguna, enggak lontang-lantung enggak jelas!” kesal ibu Siti sambil memegangi koyok yang menempel di kepala dan lehernya. “Cepat, Ham! Antar dia ke sawah, biar dia punya kesibukan. Biar dia berguna. Toh kalaupun dibalikin ke orang tuanya, pasti ya balik lagi ke sini!”
Namun, ibu Siti juga sepakat dengan ancaman mas Aidan. “Kalau memang si Aisyah sampai bikin gara-gara, sudah jangan pikir, langsung kandangin saja, biar Ilham bisa nikah lagi dengan wanita WARAS!”
Satu hal yang langsung Arimbi rasakan hanya karena berurusan dengan orang seperti Aisyah. Ngeri!