~Dibuat berdasarkan cerpen horor "Anna Van de Groot by Nath_e~
Anastasia ditugaskan untuk mengevaluasi kinerja hotel di kota Yogyakarta. siapa sangka hotel baru yang rencana bakal soft launching tiga bulan lagi memiliki sejarah kelam di masa lalu. Anastasia yang memiliki indra keenam harus menghadapi teror demi teror yang merujuk ada hantu noni Belanda bernama Anna Van de Groot.
mampukah Anastasia mengatasi dendam Anna dan membuat hotel kembali nyaman?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nath_e, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Akhir kegaduhan dan awal bencana baru
“Berhenti disitu, sekarang juga! Atau saya tuntut anda atas tuduhan penipuan!”
“An, kenapa ini? Siapa yang menipu?” Adam terlihat bingung,
“Mbah mau mengaku sekarang di depan saya atau mau dipermalukan di depan banyak orang?” Anastasia berkata dengan ekspresi serius.
“Anastasia, apaan sih kamu itu? Dia kan mau bantuin kamu buat bersihin hotel?” Maya berusaha membela.
“Masa, yang benar May? Yakin kamu kalau dia dukun andalan?” Anastasia melipat kedua tangan didepan dada.
“Yakinlah, pasiennya banyak, mantranya manjur semua, terus aku juga pake susuk nya nggak masalah tuh!”
Maya keceplosan bicara, Anastasia menaikkan sebelah alis. “Susuk? Serius?”
“Uups, itu buat … itu karena aku, aah sudahlah! Yang jelas Mbah Sarip ini dukun handal lho An!” Maya mencoba menjelaskan tapi Anastasia bergeming pada pendiriannya.
Dengan tenang ia menghampiri mbah Sarip yang masih setia berdiri membelakangi dirinya. “Sebaiknya Mbah berhenti dan pulang. Saya masih berbaik hati nggak ngelaporin tingkah Mbah ke polisi.”
Keringat membasahi wajah lelaki yang dipanggil Mbah Sarip oleh Maya itu. “Maksudmu apa? Aku harus mengejar dia sebelum menguasai hotel ini!”
Anastasia menarik nafas dalam-dalam, mencoba bersabar. Ia menatap Mbah Sarip yang masih berpura-pura kesurupan sosok yang kerap menggeram. Tatapannya turun ke bawah, tepatnya di pinggang. Sebuah alat kecil layaknya pager pada masanya diambil paksa Anastasia.
“Ini, apa?” Anastasia mengangkat tangannya menunjukkan alat yang membuat seluruh orang di lantai tiga tercengang.
Mbah Sarip terdiam sementara Maya terlihat pucat pasi. Tanpa banyak bicara, Anastasia menekan salah satu tombol di alat kecil itu. Lampu seketika berkedip-kedip secara bergantian.
“Saya nggak ngira, anda dan teman saya … Maya, berniat menipu.”
“Anastasia, bukan begitu. Aku benar-benar nggak tau masalah …,” Maya mengelak tapi tatapan tajam Anastasia membuatnya bungkam.
Anastasia menekan satu tombol lagi dan tiba-tiba saja angin dingin menyapa, suhu udara menjadi rendah seketika. “Jangan kalian kira aku tidak tahu tipu muslihat begini!”
Anastasia mengambil ponselnya dan menghubungi petugas keamanan lobby. “Sudah kamu amankan?” Ia mendengarkan laporan sejenak. “Oke, kita segera turun.”
Anastasia menatap Maya dan Mbah Sarip bergantian, “ikut saya atau kalian berdua harus membayar ganti rugi tiga ratus juta atas kegaduhan ini!”
“Hah, tapi An aku kan …,”
“Berhenti mengiba, Maya. Sudah cukup!” Anastasia memberi kode pada staff housekeeping untuk membantunya membawa Mbah Sarip dan Maya turun ke lobby. Tapi rupanya Mbah Sarip tidak mau menyerah, ia pun berulah.
“Jangan mendekat wahai anak muda,.jika kau tidak ingin celaka!” Ujarnya sambil berpura-pura bermain silat.
Anastasia jengah melihatnya, ia berdecak kesal karena ulah Mbah Sarip membuat takut para staf dan tamu hotel yang ikut keluar kamar untuk menonton.
“Stop Mbah, tolong! Saya serius,”
“Kowe sopo, wani Karo aku?!” Mbah Sarip lagi-lagi menggertak.
Staff housekeeping bahkan harus terkena pukulan dan tendangan Mbah Sarip. Anastasia melangkah maju menatap tajam wajah lelaki paruh baya itu. Tanpa takut sedikitpun, Anastasia menarik jas merah menyala Mbah Sarip, memutar lengan dan membantingnya dengan mudah ke lantai hotel hingga jatuh berdebam.
“Saya bilang diam dan menurut kan?!”
Mbah Sarip mengaduh sakit punggung, ia kembali berdiri dibantu staff housekeeping.
Tak ada yang bisa dilakukan lagi selain menurut dan diam. Suasana tegang memenuhi lobby hotel. Anastasia berdiri di tengah ruangan, dengan sorot mata tajam yang tak lepas dari kelima orang yang kini berada di depannya.
Ketiga pria yang baru saja ditangkap pihak keamanan—masing-masing dengan wajah kusut dan penuh kecemasan—duduk di kursi yang telah disiapkan. Di samping mereka, Maya dan Mbah Sarip terlihat gelisah namun mencoba bersikap tenang.
Di sudut ruangan, Pak Broto berdiri dengan tangan disilangkan di dada. Ia memandang Maya dengan tatapan penuh rasa kesal dan kecurigaan, seolah menyalahkannya atas semua kekacauan ini. Pak Broto memang mengenal Maya sebagai teman dekat Anastasia, tapi itu dulu waktu mereka masih kuliah di universitas yang sama.
"Jadi, ini rencana brilian kalian?" tanya Pak Broto dengan nada penuh sarkasme. "Menakut-nakuti kami dengan rumor hantu palsu, lalu menuntut bayaran untuk pengusiran roh? Saya akui, saya hampir terkesan."
Mbah Sarip, yang selama ini dikenal sebagai "dukun spiritual," mencoba menyelamatkan situasi. Ia mengetukkan tongkat kayunya ke lantai, mencoba menarik perhatian.
"Kami hanya ingin membantu hotel ini, Broto. Tempat ini memang angker! Kalau tidak percaya, lihat saja laporan tamu-tamu kalian yang terganggu."
Anastasia mendengus sinis. "Laporan? Laporan yang mana. Selama ini kami belum pernah mendapatkan laporan atau komplain dari tamua yang datang. Atau kalian yang sengaja membuat tamu-tamu itu ketakutan dengan trik murahan kalian?"
Anastasia menunjuk salah satu pria yang tertangkap di tangga darurat. "Dia bahkan membawa alat perekam suara. Apa itu untuk 'merekam roh' atau menyetel suara-suara menyeramkan untuk mendukung aksi Mbah Sarip?"
“Dan anda sendiri tidak kalah cerdiknya! Mengubah suara? Waah ini menarik sekali, mirip dalam film!” Sambung sinis Anastasia.
Salah satu pria yang duduk di kursi tampak ketakutan dan mulai berkeringat. Ia mencoba berbicara, namun tatapan dingin Anastasia membuatnya bungkam.
Pak Broto melangkah maju, tatapannya tak pernah lepas dari Maya. "Kamu selalu berusaha menciptakan masalah di sini, Maya. Aku tahu reputasimu. Kalau kau pikir trik ini akan berhasil untuk mendapatkan uang dari kami, kau salah besar."
Maya mencoba tersenyum, tetapi jelas ia gugup. "Pak Broto, Anda salah paham. Kami hanya ingin membantu …"
"Membantu?" potong Anastasia, suaranya meninggi. "Membantu dengan meminta uang untuk sesuatu yang kalian buat sendiri? Jangan bikin aku tertawa deh! Sungguh Mau, aku nggak kira kamu tega begini. Untungnya saya kebetulan mendengar semua obrolan penuh kode dari kalian.”
Mbah Sarip menatap Anastasia dengan dingin, lalu berkata pelan, "Kami tahu apa yang kami lakukan. Kalau mbak Ana tidak mau mendengarkan, mungkin mbak akan menyesal nanti."
“Justru karena saya sangat tahu, itu sebabnya saya berhenti. Saya nggak mau larut dalam euforia kegilaan kalian. Sudah cukup!”
Pak Broto mengangkat tangannya, memberi isyarat kepada pihak keamanan. "Bawa mereka ke kantor polisi. Saya yakin polisi akan tertarik mendengar cerita tentang 'roh-roh jahat' ini."
“Lho tapi tadi kata Ana kami nggak bakal dituntut pak! Kenapa sekarang berubah?” Kata Maya memohon.
“Itu Ana bukan saya. Saya adalah salah satu pemilik hotel ini dan saya merasa dirugikan!” Pak Broto bergeming.
“Om, tolong dong om jangan bawa Maya ke polisi. Om tega deh!” Maya merajuk.
Anastasia terang terbelalak, “om?!” Ia menoleh pada pak Broto yang terlihat salah tingkah. Tapi kemudian Anastasia sadar, ia berdecak panjang.
“Wow, ini kejutan!” Anastasia menoleh pada dua petugas keamanan hotel. “Bawa mereka dari hadapanku dan laporkan tindakan mereka! Panggil pak Wisnu untuk datang ke kantor polisi.”
Maya dan Mbah Sarip mencoba membela diri, tetapi tidak ada yang peduli. Ketiga pria itu, bersama Maya dan Mbah Sarip, akhirnya digiring keluar lobby oleh tim keamanan. Anastasia dan Pak Broto saling bertukar pandang, lelah tetapi puas.
"Masalah selesai untuk malam ini," ujar Anastasia sambil meluruskan jasnya. "Semoga saja mereka kapok."
"Kalau mereka kembali, kita akan pastikan mereka tidak akan punya kesempatan kedua," balas Pak Broto, sebelum melangkah menuju kantornya.
“Ehm, pak Broto?” Panggil Anastasia.
“Kalian … maksudku Maya dan bapak, apa baik-baik saja?”
Pak Broto mendesah berat, masukkan sebelah tangannya ke kantong celana. “Masa lalu An, tolong jangan kamu tanya dan ungkit lagi! Saya mau naik ke atas, istirahat.”
Pak Broto naik ke lantai empat sementara Anastasia hanya bisa menatap punggungnya. Rumor semasa kuliah itu sepertinya benar. Maya adalah sugar baby pak Broto.
Anastasia duduk di salah satu sofa di lobby. Wajahnya terlihat lelah dan sedikit muram. Adam, mendekatinya dengan senyum tipis. Ia tahu Anastasia tidak mudah terlihat kecewa, tapi kejadian menghebohkan malam ini jelas menjadi pengecualian.
"Jangan terlalu menyalahkan diri sendiri," ujar Adam sambil duduk di sebelahnya. Suaranya lembut, berusaha menghibur.
"Kita semua bisa salah menilai orang. Maya memang pandai meyakinkan orang lain. Tapi, kau sudah mengambil langkah yang tepat dengan mengendalikan situasi ini."
Anastasia menghela napas panjang, lalu menatap Adam dengan ekspresi datar. "Aku cuma nggak nyangka aja dia akan seberani itu. Dia memanfaatkan kepercayaan aku, dan sekarang semuanya kacau. Bahkan Pak Broto terlihat sangat kesal."
“Itu sih karena ulah sugar baby-nya. Mungkin pak Broto bete liat si Maya begitu.”
“Heem, biarlah. Kepalaku semakin pusing saja.” Anastasia memijat pelipisnya.
Tak lama kemudian, Pak Broto menelpon Adam. "Adam," panggilnya dengan nada tegas, "mulai sekarang, aku mau kamu yang bertanggung jawab penuh atas masalah seperti ini. Jangan biarkan hal sekecil apapun lolos dari perhatianmu."
"Baik, pak! Saya akan pastikan tidak ada lagi kekacauan seperti ini."
Usai menutup panggilan, Adam berkata, "Dia memang tegas, tapi kau tahu kan, dia hanya ingin memastikan semua terkendali."
"Aku tahu, lebih baik dia ketimbang Kanjeng Mami malah. Tapi ..," jawab Anastasia sambil memijat pelipisnya. "Tapi tetap saja, aku merasa gagal. Harusnya aku bisa melihat tanda-tanda lebih awal."
Adam tersenyum dan menepuk pundaknya. "Kalau begitu, anggap ini sebagai pelajaran. Lagipula, bantuan dari timku akan segera tiba. Mereka akan membantu memastikan tidak ada kerusakan jangka panjang, termasuk menjaga reputasi hotel ini."
Anastasia tersenyum tipis, meskipun jelas masih merasa kecewa. "Terima kasih, Adam. Aku harap kita bisa menyelesaikan semuanya sebelum berita ini menyebar."
"Kita pasti bisa," balas Adam penuh keyakinan. "Aku akan segera menghubungi timku untuk menangani ini. Sementara itu, kau istirahat dulu. Kau sudah bekerja terlalu keras malam ini."
Anastasia mengangguk perlahan. Meski belum sepenuhnya puas, ia merasa sedikit lega mendengar nada penuh kepastian dari Adam. Suara tawa ceria terdengar dari pintu masuk. Lima wanita cantik masuk dengan pakaian minim.
Salah satu diantaranya langsung mengambil kunci kamar yang dipesan sehari sebelumnya.
“Kamar 307 sama 310, please!”
Kunci kamar diberikan pada wanita bergelung asal dengan rambut pirangnya. Salah satu dari kelima wanita itu menoleh ke arah Anastasia dan juga Adam. Ia tersenyum sebelum berlalu menyusul rekannya di lift.
“Kamu kenal dia An?” Adam bertanya yang dijawab gelengan kepala.
“Perasaanku nggak enak Dam.”
Mata Anastasia tertuju pada mereka yang tengah menunggu lift terbuka. Didalam lift kelimanya bercanda.
“Aku lihat ada boneka lucu tapi jelek di taruh di meja tamu. Persis kaya boneka Lalabulu bukan sih?”
“Mana aku lihat deh!” Salah satunya merebut ponsel yang lain.
“Ih jelek banget ya, gimana kalau kita sebut pake nama … Anna!”
“Bloody, Anna!!” Sahut yang lain kompak dalam lift dengan canda tawa.
Bloody Anna … bloody Anna … bloody Anna …,
Bersambung …,