Mentari, yang akrab disapa Tari, menjalani hidup sebagai istri dari Teguh, pria yang pelit luar biasa. Setiap hari, Tari hanya diberi uang 25 ribu rupiah untuk mencukupi kebutuhan makan keluarga mereka yang terdiri dari enam orang. Dengan keterbatasan itu, ia harus memutar otak agar dapur tetap mengepul, meski kerap berujung pada cacian dari keluarga suaminya jika masakannya tak sesuai selera.
Kehidupan Tari yang penuh tekanan semakin rumit saat ia memergoki Teguh mendekati mantan kekasihnya. Merasa dikhianati, Tari memutuskan untuk berhenti peduli. Dalam keputusasaannya, ia menemukan aplikasi penghasil uang yang perlahan memberinya kebebasan finansial.
Ketika Tari bersiap membongkar perselingkuhan Teguh, tuduhan tak terduga datang menghampirinya: ia dituduh menggoda ayah mertuanya sendiri. Di tengah konflik yang kian memuncak, Tari dihadapkan pada pilihan sulit—bertahan demi harga diri atau melangkah pergi untuk menemukan kebahagiaan yang sejati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nurulina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pak Cahyo
Namun kini, setelah menikah, Tari mulai merasakan penyesalan. Ternyata, suaminya jauh dari yang ia bayangkan. Teguh ternyata sangat pelit, terutama terhadapnya. Setiap permintaan kecil seperti uang untuk kebutuhan pribadi selalu ditolak mentah-mentah. Tari merasa seperti menjadi ibu rumah tangga yang hanya mengurus rumah, tanpa mendapat perhatian lebih dari suami.
Meski begitu, Tari berusaha bertahan. Ia berusaha meyakinkan diri bahwa selama suaminya tidak melakukan pengkhianatan, ia akan tetap berusaha untuk mempertahankan rumah tangga ini. Namun, sampai kapan ia bisa bertahan dengan perasaan seperti ini? Pertanyaan itu terus menggerogoti pikirannya setiap hari.
Saat itu, ia sedang mencuci baju di belakang rumah. Tiba-tiba, Pak Cahyo, ayah mertuanya, mendekat dan menawarkan bantuan.
“Tari… Mau Bapak bantu angkat embernya?” tawar Pak Cahyo.
Tari sedikit terkejut mendengar tawaran itu. Ia menatap Pak Cahyo sejenak, lalu menjawab dengan gugup.
“Bo-boleh, Pak…” jawab Tari, agak ragu, meskipun ia merasa sangat berterima kasih.
Pak Cahyo pun dengan sigap mengangkat ember yang berisi pakaian bersih yang baru saja dicuci oleh Tari.
“Wah, ukuranmu ternyata besar ya, Tari…” seloroh Pak Cahyo, mertuanya, yang kebetulan sedang melihat Bh.
Tari langsung terdiam, matanya menatap mertuanya dengan bingung dan sedikit cemas. Kenapa mertuanya harus berkata seperti itu? Apa maksudnya? Kata-kata Pak Cahyo seolah menambah rasa tidak nyaman yang sudah lama ia rasakan.
Wajah Tari pun langsung merah padam mendengar perkataan mertuanya yang terkesan sangat tidak sopan itu. Ia merasa sangat dipermalukan. Betapa tak enaknya berada dalam situasi seperti ini.
“Maaf, Pak, tapi itu bukan punya Tari. Itu punya Sinta,” celetuk Tari, berusaha menjaga harga dirinya. Ia tidak ingin situasi semakin canggung dan menegaskan bahwa yang dimaksud oleh Pak Cahyo bukanlah miliknya.
Mendengar penjelasan Tari, Pak Cahyo langsung nyengir kikuk, tampak sedikit terkejut dan malu.
“Oh, bapak kira itu punya Tari,” kata Pak Cahyo gagap, sepertinya baru menyadari kesalahannya.
Namun, Tari tetap menatap tajam pada ayah mertuanya, matanya penuh dengan kemarahan yang sulit ia sembunyikan. Ia merasa sudah cukup dipermalukan.
“Pergi nggak? Bapak jangan buat gara-gara sama saya ya!” sergah Tari, mulai galak. Suaranya meninggi, menandakan ketegasan yang sulit ia kontrol.
Pak Cahyo pun langsung melengos, merasa malu dengan apa yang baru saja terjadi. Tanpa berkata apa-apa lagi, ia segera meninggalkan Tari yang masih berdiri dengan perasaan campur aduk.
“Huuuh, dasar! Satu keluarga nggak ada yang beres, pada sableng semua!” omel Tari dengan perasaan kesal yang semakin memuncak. Ia benar-benar merasa menyesal telah masuk ke dalam keluarga Teguh. Seolah-olah tak ada yang bisa ia andalkan di sini, semuanya hanya memberikan masalah dan rasa malu. Setiap hari seolah-olah ada saja kejadian yang membuatnya merasa seperti orang luar yang tidak diterima.
Tapi, mau apa dikata? Tari sudah terlanjur menjadi istri Teguh Prasetyo. Ia menghela napas panjang, merasa berat di dada. Begitu banyak hal yang ingin ia ubah, namun semuanya terasa sulit. Terlebih dengan kondisi rumah tangga yang ada, ia merasa seperti sudah terjebak dalam kehidupan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.
Ia menatap ke luar jendela, berharap bisa melihat dunia dengan cara yang berbeda. Namun kenyataannya, ini adalah pilihannya sendiri. Ia yang memutuskan untuk menikah dengan Teguh, dan meskipun ia sering merasa frustasi, tidak ada yang bisa ia lakukan selain menerima keadaan.
“Ya, mau tak mau harus menjalaninya,” gumam Tari, mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Semua yang terjadi adalah konsekuensi dari pilihannya, dan sekarang ia harus berusaha menjalani hidup ini. Toh, ini adalah pilihan hidup yang telah ia buat, tak bisa ia mundur lagi.
Semangat thor