NovelToon NovelToon
Dont Tell My Lady

Dont Tell My Lady

Status: sedang berlangsung
Genre:Teen School/College / Pengawal
Popularitas:406
Nilai: 5
Nama Author: Renten

Cerita ini berputar di kehidupan sekitar Beatrice, seorang anggota keluarga kerajaan Kerajaan Alvion yang terlindung, yang telah diisolasi dari dunia luar sejak lahir. Sepanjang hidupnya yang terasing, ia tinggal di sebuah mansion, dibesarkan oleh seorang maid, dan tumbuh besar hanya dengan dua pelayan kembar yang setia, tanpa mengetahui apa pun tentang dunia di luar kehidupannya yang tersembunyi. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Beatrice akan melangkah ke dunia publik sebagai murid baru di Akademi bergengsi Kerajaan — pengalaman yang akan memperkenalkannya pada dunia yang belum pernah ia kenal sebelumnya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Renten, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

【 Doubt to Regret】

Belle duduk di lantai lorong yang mengkilap, lututnya ditarik erat ke dadanya, sementara jarinya yang gemetar mencengkeram sisa-sisa pidato yang telah ia sobek, seolah-olah itu bisa melindunginya dari beban yang ia rasakan.

Alunan lembut orkestra mengalir di udara, ceria dan mengangkat semangat, namun justru membuat perih di dadanya semakin mendalam.

Setiap nada riang seakan mengejek.

Kata-kata Jacob terus bergema dalam benaknya.

"Apakah kau mengerti posisi yang kau duduki?

Kau bukan di sini untuk membuat pernyataan atau membuktikan sesuatu."

Kebanggaan Belle yang rapuh pun hancur, menyisakan keyakinan yang menusuk bahwa ia telah melakukan kesalahan.

Mungkin aku tidak mengerti... mungkin aku memang tidak pernah mengerti.

Langkah kaki yang berat dan teratur di atas lantai marmer memecah keterpurukan itu.

Ia menengadah, pandangannya kabur oleh air mata, dan terdiam.

Dorothea, dengan sikap anggun dan tenang, berjalan di samping seorang gadis bangsawan berambut merah yang mencolok.

Mereka berjalan dengan anggun, seperti orang-orang yang terbiasa menguasai tempat-tempat seperti ini, seragam mereka yang rapi memantulkan cahaya samar.

"Kenapa sanagt tiba-tiba begini?" tanya gadis berambut merah itu, suaranya lembut namun terdengar kesal.

Dorothea hanya memberikan pandangan singkat yang seolah cukup.

Gadis berambut merah itu menghela napas, menyerah.

"Baiklah, aku ikut. Tapi kau yang akan berbicara dengan King's Guard."

Belle terdiam kaku, jantungnya berdebar kencang.

Kehadiran mereka terasa begitu menguasai, mengingatkan betapa ia merasa tidak cocok berada di sini.

Matanya menoleh ke arah Dorothea, seolah berharap mendapatkan sedikit pengakuan.

Namun, saat tatapan mereka bertemu, keberanian Belle pudar.

Ia segera mengalihkan pandangan, menyapu wajahnya yang basah oleh air mata seakan ingin menghapus kerentanannya.

Tatapan Dorothea tetap datar, tak menunjukkan emosi, seolah Belle hanyalah bayangan yang lewat.

Tanpa sepatah kata pun, mereka berdua terus berjalan menyusuri lorong, langkah mereka mantap dan tidak tergesa-gesa.

Bangsawan berambut merah itu, tanpa menoleh ke belakang, berbicara dengan tegas kepada rombongan yang mengikutinya.

"Winstanley, sampaikan pada Nona Helvig bahwa kami akan berada di ruang dewan siswa.

Yang lain, kalian boleh pulang—atau... terserah."

Para bangsawan yang mengikuti mereka berhenti sejenak di dekat Belle.

Bros-bros mereka yang mengkilap memantul di bawah cahaya, ekspresi mereka campur aduk antara ingin tahu dan merendahkan.

Seorang anak laki-laki yang terlihat lebih tua dengan sikap bosan menyeringai tipis.

"Jadi, ini dia si Saint's Scholar?" gumamnya dengan nada hampir terhibur.

Seorang gadis bangsawan lain yang tatapannya tajam dan dingin melirik Belle.

"Tak menginspirasi," ujarnya datar.

"Dia tampak seperti pengemis yang sedang merajuk di jalan."

Seorang gadis bangsawan mendekat, wajahnya tajam tersenyum sinis.

Dia memainkan sebuah koin emas di jarinya, kilau logam itu menarik perhatian Belle sebelum terdengar bunyi 'klik' saat koin itu terjatuh di kakinya.

"Ini, ambil." kata gadis itu dengan nada mengejek.

"Anggap saja sebagai bayaran untuk pidato berikutnya, buat lebih menghibur—atau sebagai ongkos pulang ke desamu."

Tawa yang mengikuti terdengar lembut, terukur, dan menusuk.

Setiap tawa seolah seperti pisau yang mengiris pertahanan Belle yang rapuh.

Ia mengepalkan tangan, kuku-kukunya menancap ke telapak, serasa in berusaha mencoba mengecilkan dirinya.

"Cukup." Perintah tajam itu langsung menghentikan tawa mereka.

Winstanley, dengan jubah kecilnya yang dililitkan di sisi kiri, maju mendekat.

Tatapannya tajam menyapu rombongan itu, ketidaksetujuannya terasa jelas.

"Ini bukan permainan. Kalian sedang membuat diri kalian memalukan."

Bangsawan yang melempar koin itu memerah takut di bawah tatapan Winstanley, lalu bergumam sebelum mundur ke dalam rombongan.

Winstanley kemudian mengalihkan perhatiannya ke Belle.

Ekspresinya sulit dibaca, tidak kejam namun pun tidak ramah.

"Tenangkan dirimu," katanya dengan suara dingin namun tidak kasar.

"Kau tidak membantu dirimu sendiri dengan terus duduk di sini."

Dia tidak memberikan Belle kata-kata penenang. Kata-katanya hanya sebuah permintaan untuk pergi.

Kaki Belle bergetar saat ia memaksa diri untuk berdiri, tubuh kecilnya tampak semakin kecil di antara para bangsawan yang menjulang tinggi.

Tatapan Winstanley tertuju padanya sebentar, lalu ia menjentikkan lidah, seolah menunjukkan sedikit rasa kesal, sebelum berbalik dan pergi.

Saat rombongan itu pun bubar, langkah mereka perlahan menghilang, Belle kembali terjatuh ke lantai.

Melodi orkestra yang ceria seakan berubah menyakitkan di telinganya, sangat kontras dengan badai emosi yang berkecamuk di dalam dirinya.

Pikiran Belle berputar-putar, mengulang kata-kata para bangsawan.

"Tak menginspirasi.

Tampak seperti pengemis."

Setiap kalimat itu seolah menghantam, menghancurkan kepercayaan dirinya.

Air mata mengalir kembali di wajahnya, mengaburkan pandangannya terhadap dunia di sekelilingnya.

Mungkin mereka benar, pikirnya, dipenuhi oleh keraguan.

Mungkin aku terlalu bodoh berpikir bisa berdiri di sini, bersama mereka, dan dianggap setara.

Bayangan anak-anak panti asuhan terlintas di benaknya—mata mereka yang lebar dan penuh harapan, keyakinan mereka padanya adalah hadiah berharga yang kini terasa hancur.

Aku berjanji akan membuat mereka bangga.

Namun, aku malah membuat diriku sendiri terlihat bodoh.

Dengan suara yang bergetar, Belle berbisik lirih.

"Mungkin... mungkin aku tidak pantas di sini. Mungkin aku memang tidak pernah pantas."

Belle berjalan perlahan menyusuri halaman menuju gedung kelas, kepala tertunduk, langkahnya terasa berat.

Sebagian besar siswa sudah masuk ke kelas mereka, menyisakan lorong yang sepi hanya diisi beberapa kelompok kecil yang masih berkumpul.

Sisa-sisa pidato yang telah ia sobek di sakunya, terlupakan, sementara kedua lengannya menggantung lemas di samping tubuhnya.

Wajahnya yang berbintik tampak pucat, matanya yang merah karena lelah menatap hampa ke tanah, seolah setiap langkah adalah perjuangan tersendiri.

Ia hampir tidak menyadari bisikan pelan dan tatapan miring dari siswa-siswa lain.

"Itu dia, kan? Si Saint's Scholar?"

"Iya... sungguh tidak dipercaya, bukan"

Langkah Belle tak terhenti.

Ia tak punya tenaga lagi untuk peduli.

Saat ia mendekati tanga kecil di depan gedung kelas, sekelompok gadis muncul dari pintu berornamen lengkung, seragam mereka rapi meski tidak sekelas dengan seragam bangsawan yang bertingkat lebih tinggi.

Tawa mereka terdengar ceria dan riang, hingga mata mereka tertuju pada Belle.

Ekspresi mereka berubah, halus namun jelas, seketika tampak ada rasa ingin tahu yang bercampur dengan merendahkan.

Gadis dengan wajah tegas dan rambut gelap yang diikat ke dalam sanggul rumit, menyeringai saat menatap Belle.

Ia melambatkan langkahnya, membuat gadis-gadis lain berkumpul di belakangnya.

"Wah, lihat siapa ini," sautnya dengan nada mengejek.

"Saint's Scholar yang nekat berpikir bisa menggurui bangsawan."

Belle terus berjalan, wajahnya tak berubah, pandangannya terfokus pada tangga kecil di depan.

"Kau bahkan tidak menyapa?" gadis sanggul itu melanjutkan, mendekati Belle dan menghentikannya.

Kelompok gadis itu mengepung Belle.

"Kemana Saint's Scholar yang baru saja berani berpikir bisa menggurui bangsawan?"

Namun, Belle tetap diam.

Ia tidak mengangkat kepalanya, keheningannya seolah menambah kemarahan kelompok itu.

"Apa, kau kehabisan kata?" ejek gadis lain, sosok tinggi langsing dengan rambut keriting warna cokelat kemerahan.

Senyum mereka itu berubah menjadi semakin tajam.

Matanya menurun ke arah dada Belle, di mana bros Saint's Scholar itu masih terlihat samar.

Ia menunjuk dengan kuku jari yang runcing.

"Kau pikir masih layak memakainya?

Setelah membuat dirimu dan akademi ini tampak memalukan seperti itu?"

Belle menggenggam rok yang ia kenakan, namun ia tidak menjawab, keheningannya berubah menjadi bentuk penolakan.

Kesabaran gadis bersanggul itu tiba-tiba habis.

"Baiklah," desisnya, "aku bantu kau."

Tanpa pikir panjang, ia meraih bros itu dan merenggutnya dari seragam Belle dengan satu gerakan cepat.

Kain di sekitarnya robek terdengar jelas, meninggalkan tambalan yang kusut di tempat bros itu semula ter pasang.

Belle terkejut oleh kecepatan aksi itu namun tetap diam, kepalanya masih tertunduk.

Gadis itu mengangkat bros tersebut, membiarkan batu yang mengkilap menangkap cahaya matahari.

"Lihat ini," ujarnya mengejek sambil berbalik pada yang lain.

"Saint's Scholar. Benar-benar bahan tertawaan."

Dengan lambaian pergelangan tangan, gadis itu melempar bros itu.

Bros itu melambung di udara, kemudian berbenturan dengan batu-batu, berputar sejenak sebelum berhenti di tanah, permukaannya yang mengkilap masih terlihat samar.

Belle mengikuti gerak bros itu dengan pandangannya, wajahnya kosong, tak bisa dibaca.

Ia berdiri diam, kedua lengannya terkulai, tidak bergerak untuk mengambilnya kembali.

Sesaat, dunia seolah menyempit hanya pada kilau bros itu di tanah—tetapi ia tetap terpaku, tak mau, atau mungkin tak mampu, mengambilnya kembali.

Keheningan itu membuat kelompok itu semakin marah.

"Begitu saja?" ejek gadis berambut auburn itu. "Kau tidak mau mengambilnya? Lemah sekali."

Gadis bersanggul itu tertawa sinis.

"Dia sadar itu bukan miliknya. Makanya dia berjalan menjauh."

Belle terus melangkah, langkahnya mantap tapi hampa.

Terima kasih, pikirnya pahit, kata-kata itu terjebak di dalam benaknya.

Terima kasih telah mengambilnya dariku. Aku memang tak layak memilikinya.

Kelompok itu bertukar pandang bingung dan frustrasi saat Belle menghilang di kejauhan, keheningannya meninggalkan kekosongan yang tak terduga dalam ejekan mereka.

Bros itu tergeletak di atas batu, memantulkan cahaya lembut di bawah sinar matahari  menjelang siang.

Tak jauh dari situ, Edward tersenyum kecil sambil bersandar di batang pohon di cabang yang tinggi.

"Hooo, menarik..." gumamnya.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!