Memiliki anak tanpa suami membuat nama Cinta tercoret dari hak waris. Saudara tirinya lah yang menggantikan dirinya mengelola perusahaan sang papa. Namun, cinta tidak peduli. Ia beralih menjadi seorang barista demi memenuhi kebutuhan Laura, putri kecilnya.
"Menikahlah denganku. Aku pastikan tidak akan ada lagi yang berani menyebut Laura anak haram." ~ Stev.
Yang tidak diketahui Cinta. Stev adalah seorang Direktur Utama di sebuah perusahaan besar yang menyamar menjadi barista demi mendekatinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syitahfadilah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 23~ DIA AKAN KEMBALI AKU DAPATKAN!
Menjelang sore, satu persatu keluarga Vano berpamitan pulang kepada anggota keluarga pihak perempuan.
Sembari menunggu Cinta yang tengah bersiap-siap di kamarnya. Vano menghampiri pria paruh baya yang telah menjadi papa mertuanya tersebut dan berdiri tepat di hadapannya. "Sebelum membawa Cinta dan Laura pulang bersamaku, izinkan saya untuk mengatakan sesuatu." Vano mengatupkan kedua tangannya dan menatap pak Haris dengan lekat.
"Tidak ada seorang pun anak yang tidak pernah melakukan kesalahan. Dan tidak ada orang tua yang suka melihat anaknya melakukan kesalahan, mereka sebagai orang tua berhak memberikan hukuman atas kesalahan yang telah diperbuat anaknya. Dan jika selama ini Anda menganggap kalau Laura adalah sebuah kesalahan, maka saya ingin berterima kasih pada Anda. Sebab diantara semua hukuman yang Anda berikan pada Cinta, Anda masih berkenan mengizinkannya untuk tinggal di rumah ini. Saya sendiri tidak bisa membayangkan kalau dia harus terusir dari rumahnya dan hidup dengan penuh kesulitan bersama anaknya di luar sana." Vano menjeda kalimat sejenak dengan tarikan nafas. Tatapannya semakin lekat menatap papa Haris.
"Hari ini, semua tanggung jawab atas Cinta dan Laura sepenuhnya telah berpindah padaku. Terima kasih atas semua jasa Anda yang telah merawat, membesarkan dan memenuhi semua kebutuhan Cinta sampai sebelum dia menjadi seorang Ibu. Saya mohon izin untuk membawanya pulang bersamaku," ucapnya penuh kesungguhan.
Papa Haris hanya dapat mengangguk dengan ekspresi datar di wajahnya. Namun sungguh, setiap kata yang terlontar dari bibir menantunya itu bagaikan sebilah pisau yang menyayat hatinya. Sekarang putrinya telah berusia 27 tahun. Selama 26 tahun ia telah menjadi seorang ayah baik yang menyayangi anaknya dengan sepenuh hati, namun ia membuang waktu 1 tahun dengan mengabaikan putrinya itu hanya karena sebuah kesalahan yang ia anggap adalah aib.
Tak berselang lama, Cinta pun datang bersama mbok Darmi yang membawakan tas wanita itu. Atas permintaan Vano, Cinta tidak membawa begitu banyak barang-barangnya. Ia hanya membawa beberapa keperluan pribadinya, dan juga beberapa kebutuhan Laura. Rencananya, besok Vano akan membeli semua kebutuhan mereka.
"Pa, aku pamit ya." Cinta mengulurkan tangannya pada sang papa, dan menatapnya penuh harap agar kali ini sang papa mau menerima uluran tangannya.
Sejenak papa Haris hanya terdiam dengan mata yang berkaca-kaca. Kemudian mengangkat tangan kanannya dengan perlahan dan menyambut uluran tangan putrinya.
Cinta pun langsung mencium punggung tangan sang papa dengan cukup lama, seakan ia sedang melepas rindu yang telah menggunung. Sejak kehadiran Laura di rumahnya, ini adalah pertama kalinya ia bisa menyentuh dan mencium punggung tangan sang papa. Setelah ijab kabul beberapa waktu yang lalu, papanya itu langsung pergi meninggalkan ruangan sebelum ia sempat meminta doa' dan restu.
"Aku sama Laura pamit ya, Pa. Jaga diri Papa baik-baik," ucap Cinta setelah melepas tangan sang papa. Suaranya terdengar bergetar menahan tangis, namun seberapa pun ia berusaha menahan, air matanya tetap jatuh. Padahal ia hanya akan pindah ke rumah suaminya, akan tetapi ia merasa begitu berat meninggalkan papanya.
Lagi, papa Haris hanya dapat mengangguk pelan tanpa sepatah katapun yang mampu ia ucapkan. Ingin sekali ia memeluk dan meminta maaf pada putrinya, namun ia menahan diri karena merasa malu.
Cinta kemudian berpamitan pada keluarganya yang lain, kecuali pada Indri dan mama Ratih yang sama sekali tak terlihat diantara mereka. Dan terakhir ia memeluk mbok Darmi yang sejak di kamar tadi sudah menangis.
"Mbok, aku pamit ya. Jaga kesehatan dan tolong jaga Papa. Kabari aku apapun tentang Papa," bisik Cinta pada wanita paruh baya itu.
Mbok Darmi hanya mengangguk pelan dan terisak-isak. Ia lalu mengurai pelukan dan menatap Vano.
"Den Vano, tolong jaga Non Cinta dan Laura ya. Sayangi dan cintai mereka berdua dengan sepenuh hati," ucapnya lirih.
Vano mengangguk dan tersenyum. Ia terharu akan kepedulian mbok Darmi terhadap istri dan anaknya. Apakah papa Haris sama sekali tidak melihat itu, orang lain saja menyayangi Cinta dan Laura dengan begitu tulus, tapi dia yang sedarah justru mengabaikan.
Setelah rombongan keluarga Vano meninggalkan rumahnya dengan membawa Cinta dan Laura. Papa Haris masuk ke rumah dan langsung menuju ruang kerjanya. Ia mengunci pintu kemudian duduk di sofa sembari melepas jas. Menyandarkan tubuhnya dengan pandangan berkeliling menatap seisi ruangan tersebut.
Di ruangan itu ia memiliki banyak sekali kenangan bersama Cinta kecilnya dan juga mendiang istri pertamanya. Tatapannya lalu tertuju pada kursi dan meja kerjanya. Dulu, setiap ia duduk di sana menyelesaikan pekerjaan kantor yang ia bawa pulang, Cinta dan mamanya selalu ada menemaninya. Ruangan itu akan selalu dipenuhi canda tawa keduanya dan ia sama sekali tidak merasa terganggu. Sambil bekerja, ia sesekali menimpali obrolan istri dan putri kecilnya.
Tapi sekarang, ruangan itu bak sebuah rumah kosong yang telah lama tak berpenghuni. Tak ada lagi kegiatan di dalamnya sejak ia memilih pensiun dan Indri yang menggantikannya pemimpin perusahaan. Ia hanya masuk ke ruangan itu sesekali untuk mengenang masa-masa indah itu.
Kini ia benar-benar merasakan kekosongan dalam hatinya. Jika setahun ini ia masih bisa melihat Cinta meskipun perlakuannya begitu dingin. Namun, mulai sekarang tidak akan ada lagi Cinta yang selalu ia pantau secara diam-diam setiap kali putrinya itu pergi dan pulang bekerja. Juga tidak ada lagi suara tangis dan tawa Laura yang selalu mengingatkan bahwa ia telah menjadi seorang kakek meskipun tidak ia inginkan.
Di luar, satu persatu anggota keluarga pun pulang tanpa berpamitan pada pemilik rumah. Mereka tidak ingin mengganggu papa Haris yang mungkin sedang merenung di ruang kerjanya. Dan juga, mereka merasa enggan berpamitan pada Indri dan mama Ratih yang sejatinya memang tidak begitu mereka sukai sejak awal. Terlebih setelah mengetahui bagaimana perlakuan ibu dan anak itu pada Cinta dan Laura.
"Aku memang menginginkan Cinta pergi dari rumah ini, tapi bukan begini caranya!" teriak Indri di dalam kamarnya. Ia melempar sebuah vas bunga dan tepat mengenai cermin meja riasnya. Seluruh keluarganya telah pulang dan ia bebas berteriak dan menghancurkan apapun yang ia inginkan.
"Cukup Indri! Kamu harus terima kenyataan kalau sekarang kita sudah kalah. Kita sudah gak bisa berbuat apa-apa lagi karena Cinta sudah menjadi istrinya Vano."
Indri berbalik menatap mamanya dengan tajam. "Jangan pernah bilang kalau kita sudah kalah. Mama lihat saja nanti apa yang akan aku lakukan. Vano, dia akan kembali aku dapatkan!" Indri mengangkat sebelah tangannya yang terkepal. Seolah didalam kepalan tangannya itu ada Vano yang ia genggam.