**"Siapa sangka perempuan yang begitu anggun, patuh, dan manis di depan Arga, sang suami, ternyata menyimpan sisi gelap yang tak pernah ia duga. Di balik senyumnya yang lembut, istrinya adalah sosok yang liar, licik, dan manipulatif. Arga, yang begitu percaya dan mencintainya, perlahan mulai membuka tabir rahasia sang istri.
Akankah Arga bertahan ketika semua topeng itu jatuh? Ataukah ia akan menghancurkan rumah tangganya sendiri demi mencari kebenaran?"**
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ayuwine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
hampir saja
POV Mentari
Hari ini rumah terasa begitu sepi. Suara jam dinding yang berdetak terdengar lebih keras dari biasanya. Aku mencoba mengalihkan pikiran dengan mengerjakan tugas-tugas rumah, tetapi suasana hati tidak bisa tenang sejak kejadian di hotel beberapa waktu lalu. Reza. Nama itu terus menghantui pikiranku. Aku hanya bisa berdoa agar dia tidak pernah muncul di sini.
Namun, doaku sepertinya tidak dikabulkan. Dari balik jendela, aku melihat mobil Alya berhenti di depan rumah. Yang membuat darahku berdesir bukanlah Alya, melainkan pria yang keluar bersamanya. Reza.
Mataku membulat, tubuhku seketika kaku. Ya Tuhan, kenapa dia di sini? Tanpa pikir panjang, aku berlari ke kamar dan menutup pintu rapat-rapat. Jantungku berdetak begitu kencang, seperti akan meledak. Aku tidak bisa membiarkan Reza melihatku. Tidak, dia tidak boleh tahu aku ada di sini, apalagi mengingatku sebagai gadis di hotel itu.
Namun, nasib sepertinya tidak berpihak padaku. Suara Alya terdengar memanggilku, suaranya meninggi, penuh perintah. "Mentari! Cepat ke sini buatkan cemilan dan minuman!"
Aku menggigit bibir, panik. Apa yang harus kulakukan? Jika aku tidak keluar, Alya pasti akan mencariku. Tapi jika aku keluar, bagaimana jika Reza mengenaliku? Aku membuka laci meja kecil dan menemukan masker. Dengan tangan gemetar, aku memakainya. Setidaknya, ini bisa menyembunyikan sebagian wajahku.
Saat aku keluar dan menghampiri Alya, dia langsung menatapku dengan pandangan aneh. "Kenapa pakai masker? Kamu sakit?" tanyanya dengan nada tidak sabar.
Aku mengangguk pelan. "Maaf, Mbak. Saya lagi flu," jawabku pelan, berusaha terdengar wajar meski suaraku sedikit gemetar.
Alya memutar matanya, menatapku dengan pandangan jijik. "Huh, kalau sakit jangan sampai nular, ya. Pakai maskermu dobel! Dan cepat buatkan makanan untuk tamuku!" katanya dengan nada memerintah.
"Baik, Mbak," jawabku, menunduk dalam, lalu segera menuju dapur.
Dari dapur, aku mendengar suara Reza. Rasanya aku ingin menutup telinga. Tapi aku tetap mendengar semuanya.
"Mentari, ya? Nama yang cantik," katanya, membuat bulu kudukku meremang.
Jantungku serasa berhenti. Apakah dia mengenaliku? Aku menggigit bibir, mencoba menahan diri agar tidak panik.
"Kamu kenal dia?" tanya Alya, suaranya penuh kecurigaan.
Aku menahan napas, menunggu jawaban Reza.
"Nggak, cuma nama itu terasa familiar aja," jawabnya santai, tapi nadanya membuatku semakin gelisah.
Aku menyiapkan makanan dengan tangan gemetar, berusaha tidak memikirkan kemungkinan buruk. Tapi rasa takut itu sulit diabaikan. Aku tahu ini hanya soal waktu sebelum semuanya terbongkar. Reza bukan orang bodoh, dan aku harus lebih berhati-hati jika ingin selamat dari situasi ini.
Mentari duduk di sudut dapur, mencoba menenangkan diri. Perasaan gelisahnya sejak siang tadi baru mulai surut setelah melihat Reza akhirnya pergi. Tapi kegelisahan itu tidak sepenuhnya hilang. Ketakutan kalau-kalau Reza mengenalinya tadi membuat tubuhnya masih sedikit gemetar.
Saat jarum jam menunjuk pukul lima sore, suara mobil Pak Arga terdengar dari luar. Mentari buru-buru bangkit, memastikan meja makan sudah tertata rapi. Dia melongok ke ruang tamu, melihat Pak Arga masuk dengan wajah lelah seperti biasa.
Namun, ada hal yang tidak biasa. Tidak ada Mbak Alya yang biasanya menyambutnya. Mentari yang penasaran akhirnya memberanikan diri bertanya pelan, “Pak Arga, Mbak Alya masih tidur, ya?”
Arga mengangguk tanpa banyak bicara, lalu duduk di kursi meja makan. Mentari memperhatikan majikannya itu, ragu untuk berbicara, tapi akhirnya dia mengumpulkan keberanian. Dengan nada pelan dan hati-hati, dia mulai menceritakan apa yang terjadi hari ini.
“Pak... tadi siang, Reza datang lagi sama Mbak Alya,” katanya dengan suara hampir berbisik. “Saya sampai takut banget, Pak, takut dia kenalin saya.”
Arga mengangkat alis, seolah meminta Mentari untuk melanjutkan. Mentari pun mulai menceritakan semuanya dari bagaimana dia harus bersembunyi di kamar, sampai saat Alya memanggilnya untuk membuatkan makanan dan memaksa dia memakai masker dua lapis.
Mentari menceritakan semuanya dengan polos, bahkan sesekali menyelipkan nada lucu dalam ceritanya. “Saya sampai nahan napas, Pak, takut Reza tahu itu saya. Mana harus pakai masker tebal-tebal lagi... kayak nggak bisa napas, Pak,” ucapnya sambil mengusap lehernya dengan ekspresi gemas.
Tak disangka, Arga yang awalnya tampak lelah justru tersenyum, bahkan tertawa kecil mendengar cerita Mentari. Tawanya terdengar ringan, seperti seseorang yang baru saja menemukan sedikit hiburan di tengah tekanan hidup.
Mentari tertegun. Dia memandang Pak Arga dengan bingung. Bukannya marah atau sedih, kenapa majikannya ini justru tertawa? “Pak... kok malah ketawa?” tanyanya polos. “Mbak Alya, lho, bawa tamu ke rumah lagi. Kok Bapak nggak marah?”
Arga menghela napas panjang, meletakkan sendoknya sejenak. “Kadang, Mentari,” katanya pelan, “kalau semuanya sudah keterlaluan, marah itu nggak ada gunanya. Cuma bikin capek sendiri.”
Mentari mengangguk pelan, meskipun dalam hatinya dia masih belum sepenuhnya mengerti. Tapi satu hal yang dia tahu pasti Pak Arga adalah pria yang sabar. Bahkan mungkin terlalu sabar.
Alya terbangun dengan tubuh yang sangat lelah. Dia mengingat kembali pertemuan dengan Reza tadi, yang telah memuaskan keinginan biologisnya yang selama ini terabaikan. Sebuah senyuman kecil muncul di wajahnya, merasa puas dengan apa yang telah terjadi. Meski ia tahu itu salah, perasaan itu terasa menyenangkan. Arga, suaminya, kini sudah tidak pernah lagi menyentuhnya, membuatnya merasa terabaikan dan kosong. Keinginan untuk diinginkan, untuk merasa diperhatikan, tak lagi ada dalam hubungan mereka.
Saat matanya tertuju pada jam dinding, dia terkejut. Pukul 10 malam? Dia terlalu lama tidur. Panik sejenak, Alya bergegas bangkit dari tempat tidurnya dan berlari menuju lantai bawah, mencari Arga. Bagaimana jika suaminya marah? Namun, ketika ia sampai di ruang tamu, ia melihat Arga sedang duduk santai di sofa, menonton TV sambil meminum susu jahe hangat buatan Mentari.
Alya merasa cemas, namun ia berusaha tetap tenang. Langkahnya terasa ragu ketika mendekati Arga. Dia tahu dia harus mengatakan sesuatu, meminta maaf. Tetapi kata-kata itu terasa begitu berat. Dengan suara pelan, dia berkata, "Maaf, sayang. Aku ketiduran... terlalu lelah," katanya, berusaha memberikan alasan yang bisa diterima.
Namun, Arga hanya mengangguk, tanpa berkata apa-apa. Alya menunggu responsnya, namun yang didapatkan hanyalah keheningan. Tidak ada kemarahan, tidak ada kekhawatiran, hanya sebuah anggukan datar dari Arga. Dia hanya terus menatap layar TV, seolah tak peduli.
Alya merasa hatinya semakin berat. Apa yang sebenarnya terjadi dengan suaminya? Mengapa Arga seolah tak peduli lagi? Alya merasa bingung, cemas, dan sedikit kecewa. Semua rasa itu tercampur aduk, namun dia tidak bisa berbuat banyak. Keheningan yang tercipta semakin membuatnya merasa jauh dari suaminya, dan semakin sulit untuk menghadapi kenyataan bahwa hubungan mereka telah berubah begitu jauh.
semangat Thor