Andai hanya KDRT dan sederet teror yang Mendung dapatkan setelah menolak rencana pernikahan Andika sang suami dan Yanti sang bos, Mendung masih bisa terima. Mendung bahkan tak segan menikahkan keduanya, asal Pelangi—putri semata wayang Mendung, tak diusik.
Masalahnya, tak lama setelah mengamuk Yanti karena tak terima Mendung disakiti, Pelangi justru dijebloskan ke penjara oleh Yanti atas persetujuan Andika. Padahal, selama enam tahun terakhir ketika Andika mengalami stroke, hanya Mendung dan Pelangi yang sudi mengurus sekaligus membiayai. Fatalnya, ketidakadilan yang harus ia dan bundanya dapatkan, membuat Pelangi menjadi ODGJ.
Ketika mati nyaris menjadi pilihan Mendung, Salman—selaku pria dari masa lalunya yang kini sangat sukses, datang. Selain membantu, Salman yang memperlakukan Mendung layaknya ratu, juga mengajak Mendung melanjutkan kisah mereka yang sempat kandas di masa lalu, meski kini mereka sama-sama lansia.
Masalahnya, Salman masih memiliki istri bahkan anak...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bukan Emak-Emak Biasa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Empat Belas
Suara pintu diketuk dari luar rumah, mengusik Andika dan Yanti. Keduanya yang sudah tidur di rumah Yanti yang lain, perlahan bangun kemudian duduk.
“Siapa, jam segini bertamu?” lirih Yanti yang kemudian menatap sang suami.
Andika yang tampak lesu khas orang kelelahan, Yanti paksa untuk memastikan. Terlebih di rumah Yanti yang lebih sederhana dan akan menjadi tempat tinggal baru mereka, tak ada pembantu apalagi yang gratisan seperti Mendung.
“Takutnya malah penjahat. Masa iya jam segini bertamu ke rumah orang. Enggak sopan banget!” ucap Andika ragu keluar dari kamar. Ia sudah membuka pintu, memilih kembali menutupnya. “Lagi marak kejahatan dengan modus ketok-ketok pintu malam bahkan menjelang subuh.”
“Takutnya mau ngabarin keadaan rumah aku yang kebakaran. Kematian Mendung, atau malah Pelangi yang jadi ODGJ, loh Sayang!” rengek Yanti.
“Kamu jangan gitu dong ke Pelangi.” Andika berusaha menegur Yanti.
Mata Yanti yang awalnya terkantuk-kantuk, langsung melotot hanya karena apa yang Andika katakan. “Mulutmu kalau ngomong enggak mikir, ya Mas! Aku ngomong sesuai fakta karena ada laporan kalau Pelangi mirip orang stres. Pelangi jadi suka ngomong bahkan ketawa sendiri!” ucapnya berteriak.
Andika langsung tidak berani melawan Yanti yang teriak-teriak. Ia memilih cari aman, keluar dari kamar dan memastikan siapa yang datang di luar sana.
Pajero putih tampak terparkir di luar sana. Di rumah yang gerbangnya belum beres penggarapan, Andika berpikir bahwa harusnya yang datang bukan orang jahat.
“Enggak mungkin orang jahat bertamu pakai mobil. Jangan-jangan benar, mereka akan mengabarkan kematian Mendung bahkan ... Pelangi?” pikir Andika bergegas membuka pintu.
Baru juga keluar dari rumah, pipi kiri Andika sudah mendapat bogem mentah. Fatalnya, setelah itu karena kehilangan keseimbangan tubuh, kepala Andika juga menghantam pintu.
“Ya ampun ... ya ampun ... Sayang ... ada penjahat!” Andika sengaja berteriak, kemudian meminta tolong.
Di dalam kamar, Yanti yang nyaris lelap, langsung tersentak. Yanti buru-buru bangun, turun dari tempat tidur, kemudian mengambil golok dan tongkat golf dari kolong ranjang tidurnya. Menggunakan keduanya, Yanti bersiap jaga-jaga. Walau ketika ia keluar dari rumah dan mendapati siapa yang ada di luar sana, ia refleks menjatuhkan kedua alat yang sebelumnya akan ia jadikan senjata.
“P—Pak ... Pak Salman ....” Yanti tak bisa berkata-kata. Ia mendekati Salman sambil mengulurkan tangan kanannya. Namun, Salman menepis dan lebih memilih untuk bersedekap.
“Mulai sekarang, saya tidak akan menjadi bagian dari usaha kalian lagi. Semuanya. Bukan hanya usaha sapu, gula merah, padi, dan juga bahan kerajinan anyaman yang tempo hari kamu lakukan!” ucap Salman sembari melirik bengis Yanti maupun Andika, silih berganti.
“L–loh ... loh, gimana ceritanya, Pak Salman? Hanya karena saya menikah lagi? Pernikahan saya tidan ada kaitannya dengan bisnis maupun kerja sama kita!” ucap Yanti benar-benar manis penuh kelembutan. Kondisi yang sangat berbeda ketika ia bersikap kepada Mendung maupun orang yang dirasanya lebih rendah darinya.
“Kesalahan kamu sudah sangat fatal, Yanti! Kau melukai wanita yang sangat saya cintai!” tegas Salman penuh penekanan.
“Sementara laki-laki samp ah ini, ... jangan mimpi aku mau mengenalmu jika kamu saja masih bersamanya!” Salman sampai menunjuk-nunjuk wajah Andika yang sampai detik ini bertahan menunduk.
“Woh ... maksudnya ... wanita yang Pak Salman cintai ternyata bukan ibu Dayatri, melainkan ... saya. Makanya, Pak Salman ingin saya pisah dengan suami baru saya?” lembut Yanti makin manja saja. Gayanya mengalahkan kemanjaan inces Syahrini yang jika berbicara sampai mende sah-de sah.
“Ngimpi, kamu! Mana mungkin saya tertarik wanita spek cabe-cabean seperti kamu!” tegas Salman terdengar kejam bahkan di telinganya sendiri. Ia tak segan menatap jij ik Yanti, yang langsung terlihat kena mental karena balasan kejamnya. Sementara di sebelah Yanti dan masih ada di hadapannya, Andika benar-benar tak berkutik. Andika mirip patung yang sekadar bernapas saja, diyakini Salman sampai dijaga.
“Bebaskan Pelangi dan minta maaf, berlutut kepada Mendung di hadapan banyak orang! Jika tidak, aku ratakan rumah maupun tempat usahamu!” sergah Salman yang kemudian melempar rokok masih tersisa setengah, dan itu dalam keadaan menyala.
Yanti menjerit panik karena lemparan rokok Salman mengenai kepalanya. “Sekate-kate banget pak Salman. Mentang-mentang orang kaya raya!” lirih Yanti dan hanya bisa pasrah meski ulah Salman sukses membakar sebagian rambut pirangnya. Aroma khas dari rambut terbakar, menyeruak di sekitar sana.
Awalnya Yanti hendak memastikan sang suami yang terus menunduk sekaligus diam. Ia sudah sempat berusaha melongok wajah Andika. Namun tak lama kemudian, ada suara mobil berat.
“Siap-siap di sini. Jika lewat pukul tujuh pagi tidak ada kabar juga, pertama-tama yang harus diratakan rumah ini. Terus habis itu pindah ke pabrik ....” Salman memberi arahan kepada empat pria yang awalnya baru keluar dari dua truk yang datang.
Dari yang Yanti awasi, ternyata truk tersebut membawa ekskavator. Kedua mesin berat tersebut, Salman tugaskan untuk meratakan rumah Yanti, andai Yanti tidak melepaskan Pelangi, pagi besok juga. Karenanya, Yanti yang sempat mendekat, buru-buru memberikan penjelasan.
“Alasan Pelangi dipenjara karena dia menye rang saya, Pak Salman. Pelangi salah dan—'' Yanti yang sempat emosional dalam menjelaskannya, refleks diam. Tam paran panas Salman yang mendarat di pipi kirinya lah yang menjadi alasannya.
“Saya bahkan tak segan menjebloskan kamu ke penjara, andai kamu tetap tidak mau mencabut laporanmu! Kamu akan berhadapan dengan saya jika kamu masih saja mengusik Mendung dan Pelangi!” tegas Salman. Terakhir, kemarahannya itu ia tutup dengan mengacungkan jari tengah tangan kanan kepada Yanti yang ia tinggalkan begitu saja.
Salman buru-buru naik dan mengemudikan mobil pajero putihnya. “Apa-apaan sih. Kok pak Salman mendadak ikut campur? Dia sampai segitunya bela Mendung dan Pelangi. Mirip sedang membela istri dan anak sendiri. Mas Andika saja enggak masalah Pelangi dipenjara, biar bisa jadi manusia lebih sopan. Mendung di jadikan kacung, juga katanya enggak apa-apa. Kata Mas Andika, yang penting aku bahagia. Aku mau apa saja, termasuk terus menerus pamer kemesraan di depan nenek-nenek, oke saja.”
Setelah merenung, tetapi hasilnya tetap gagal paham. Yanti sengaja meminta penjelasan sang suami.
“Ada hubungan apa sih anak set an dan nenek-nenek itu dengan pak Salman? Saudara apa bagaimana? Kok jadi ribet gini. Padahal sejauh ini, aku perhatikan pak Salman ya fokus ke anak dan istrinya. Lagian ... ih apa-apaan bela si nenek-nenek sama anak setan itu? Dia bahkan sesumbar mau mutus kerja sama. Dan ... rumah ini beserta pabrik-pabrik punyaku akan diratakan andai aku enggak bebasin Pelangi si anak se tan.”
Meski Yanti sibuk berbicara sendiri, Andika tetap diam. Namun pelan tapi pasti, kedua tangan Andika yang ada di sisi tubuh, mengepal kencang.