Hubungan Inara dan Artha harus kandas karena perselingkuhan Artha. Padahal mereka sudah mau menikah.
Malu pernikahan batal, Inara terpaksa menyetujui perjanjian dengan Argha, kakak Artha demi untuk membalas Artha dan tidak mempermalukan orang tuanya.
Inara kalah dengan perasaannya. Ia jatuh cinta pada suaminya yang misterius. Hanya saja, dendam Argha membuat Inara merasa rendah diri. Dan godaan Artha selalu datang pada mereka.
Akankah Argha dan Inara bisa bersatu, atau masa lalu Argha akan terus membuat jarak di antara mereka dan memilih berpisah demi kebaikan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Layli Dinata, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 23 Tragedy Malam Pertama
Sejak masuk ke dalam kamar, Inara terus mencengkeram erat gaun yang ia kenakan.
‘Duh, bagaimana ini?’
Inara menggigit bibir bawahnya. Merasa gugup dengan situasi saat ini. Terlebih saat mendengar suara gemericik air di dalam kamar mandi. Jantung Inara seakan ingin meledak.
Klek.
Tubuh Inara menegang bersamaan dengan dengan kepalanya yang terangkat. Sosok pria tampan dengan rambut basah keluar dari kamar mandi dengan mengenakan handuk sebatas pinggang. Dada bidangnya yang kekar, dengan tetesan air dari rambut basah memberi kesan maskulin.
Terlebih deretan roti sobek yang berderet di perutnya, Inara hampir gila melihat itu. Bahkan, ia sampai lupa cara bernapas.
“Giliranmu.”
“A-apa?”
Perlahan Argha mendekat, pria itu menggelengkan kepalanya. Tubuhnya membungkuk untuk mensejajarkan wajah mereka. Aroma sabun dan sampo menguar di indera penciuman Inara, membuat gadis itu semakin terprovokasi.
“Mandi, Inara,” ucap Argha serak, tangannya mengusap kepala Inara dengan lembut.
Semburat merah terlihat di kedua pipi Inara, hal itu membuat Argha semakin gemas, ia terkekeh dan istrinya itu semakin malu. “Apa mau langsung saja?”
“Ha? A-aku mau mandi.” Buru-buru Inara bangkit. Ia berlari menuju kamar mandi. Menutup pintunya dengan cepat.
“Hah hah hah.” Inara meraba dadanya, karena ngos-ngosan. Sudah seperti lari marathon. Bayangan mengenai roti sobek terus melintas di kepala. Apa lagi wajah tampan yang sedikit basah.
Inara menggelengkan kepalanya dengan cepat. Bahkan, ia memukul kepalanya sendiri menggunakan telapak tangan. “Aku sudah gila!”
Inara menatap pantulan dirinya di cermin. Pipinya benar-benar merah, ah itu justru semakin membuatnya frustasi.
“Jangan-jangan dia melihat muka mupengku ini? Argh, Nara! Bisa-bisanya.”
“Inara, kamu mandi apa tidur?!” teriak Argha dari luar.
“Aish! Pria itu.” Inara meraup wajahnya frustrasi.
“Inara!”
“Ya! Sebentar. Susah bukanya nih.”
Klek
Inara berjengit karena Argha membuka pintu kamar mandi. Pria itu hanya mengenakan celana boxer, tanpa kaus. Ia yang berdiri di depan cermin menjadi gugup.
“Apanya yang susah buka?” Perlahan Argha mendekat. Inara gemetaran, gadis itu bahkan sampai mencengkeram gaun pengantinnya.
“Ka-kamu kenapa masuk? A-aku mau mandi.”
Sebelah alis Argha terangkat satu. “Memangnya kenapa?”
“Y-ya … ya tidak boleh! Keluarlah, Mas. Aku mau mandi gimana kalau kamu masuk aku ….” Ucapan Inara terputus saat Argha menarik tangannya. Pria itu memutar tubuh Inara. Membantu gadis itu menurunkan resleting gaunnya. Perlahan turun, hingga sampai punggung.
Inara memejamkan mata, tubuhnya semakin menegang. Argha berhak melakukannya, ia mencoba memberikan pengertian pada dirinya sendiri.
Namun, siapa sangka, Argha justru kesulitan menelan ludahnya saat melihat punggung polos istrinya itu.
“Su-sudah. Tidak ada yang sulit, kan? Saya keluar ya.” Buru-buru Argha keluar. Ternyata, niat menggoda gadis itu, ia sendiri yang ikut terbakar.
Inara mengembuskan napas, lega. Buru-buru ia mengunci pintu kamar mandi, dan mulai melanjutkan kegiatannya.
Argha duduk di tepi ranjang, sesekali menatap pantulan dirinya di cermin. Mendengkus frustasi. Ia sudah kehilangan akal. Saat matanya terpejam, bahkan punggung Inara yang terlintas dalam pikirannya.
“Argha, tenang. Kalian sudah menikah.” Argha mencoba menenangkan diri sendiri, menghirup napas dalam-dalam untuk mengisi oksigen di dalam paru-parunya yang seakan menipis.
Usai mandi, Inara gelagapan. Ia memekik dalam hati, merutuki kebodohannya. Bahkan, ia lupa membawa pakaiannya tadi.
“Bagaimana ini?” Inara mondar-mandir di dalam. Kini ia hanya mengenakan jubah mandi, rambut basahnya terurai.
Klek
Niat hati ingin mengintip, berharap suaminya telah tidur untuk menghindari perasaan canggung. Namun, sialnya ia justru melihat Argha yang tampak menatapnya dengan seringaian kecil. Inara memejamkan matanya, karena tertangkap basah.
“Kamu kenapa mengintip seperti maling?”
Inara meringis. Malu dan membuka pintunya. “Aku lupa bawa baju.”
Argha memutar bola matanya. Tangannya masih bersedekap dada. Inara buru-buru lari menuju kopernya. Mengambil baju tidur panjang yang bisa menutupi seluruh tubuhnya.
Tangan Inara bergerak cepat mencari pakaiannya, saat menemukannya, ia kembali berdiri dan bergegas ke kamar mandi. Namun sialnya, Argha sudah berdiri di belakangnya. Kepalanya membentur dada suaminya itu.
“Aduh!”
Tatapan mereka bertemu. Argha hanya diam saja menatapnya lekat,
“Aku mau ganti baju dulu.”
Lagi-lagi Argha menahan tangan Inara. Gadis itu kembali mengangkat wajahnya.
“Kenapa harus pakai baju kalau ….” Sengaja Argha menjeda kalimatnya. Ia suka menggoda istrinya yang sok polos itu. Argha yakin sekali, pikiran Inara tak sesuci itu.
“M-mas. Kalau tidak pakai baju, aku akan masuk angin.”
Argha berdecih. Sejauh mana Inara akan berpura-pura. Yang ia tahu, adiknya adalah pria brengsek. Meski Inara bilang putusnya mereka karena Inara tak mau disentuh, tetap saja ia tak percaya.
“Takut masuk angin apa takut hamil anak saya?”
Mata Inara mendelik dengan lebar. Ucapan frontal Argha membuatnya benar-benar gugup.
“Saya ini suami kamu. Suami sah kamu.”
Inara menunduk. ‘Bisakah dia minta baik-baik? Apa dia tidak tahu kalau aku mati-matian menahan kegugupan ini?’
“Kenapa? Masih mikirin Artha?’’
Inara mengangkat wajahnya. Kegugupannya lenyap seketika. Ia menarik tangannya dengan keras. Tak disangka, Argha kembali mengungkit mantannya itu. Inara sama sekali tidak suka.
“Terserah apa yang kamu pikirkan tentangku.” Inara pergi begitu saja.
Mulut Argha terkatup rapat, sebelah tangannya berkacak pinggang. “Apa aku menyinggungnya?”
Inara mengunci pintu kamar mandi. Tubuhnya menempel pada pintu dengan mata terpejam. Entah mengapa, hatinya sakit saat Argha mengungkit pria bajingan itu. Bukan berarti ia masih mencintai Artha, tetapi ia merasa, Argha sama sekali tidak menghargainya.
Air mata Inara luruh begitu saja. “Kenapa sesakit ini?”
Argha sejak tadi mondar-mandir di kamar, Inara tak kunjung keluar dari kamar mandi. Jujur, ia resah. Ingin tahu keadaan istrinya itu. Hanya saja gengsi yang setinggi gunung himalaya menghalanginya. Pria tampan berhidung bangir itu menggigit ujung kukunya.
“Argha … bukankah ini malam pertama kalian? Kenapa harus ada tragedi keceplosan segala?” Sebagai laki-laki yang belum berpengalaman mengenai asmara, Argha memang ceroboh.
Entahlah, ia bahkan lupa dengan tujuan aslinya. Melihat wajah kecewa Inara membuatnya terus merasa bersalah.
Saat Inara membuka pintu, Argha menatapnya dengan tegang. Gadis itu berjalan dengan tenang melewatinya. Argha terus memperhatikan langkah istrinya itu.
Hingga, Inara mengambil bantal dan guling, berniat untuk tidur di sofa, lalu langkahnya terhenti karena Argha mencekal pergelangan tangannya.
“Kamu mau ke mana?” tanya Argha dengan suara beratnya.
“Tidur.”
Dada Argha terasa sesak. Kini keduanya diliputi dengan kecanggungan. Ia merasakan sesak yang luar biasa. Ia mengambil alih bantal dan guling yang Inara bawa. “Biar saya saja. Tidurlah di ranjang dengan tenang.”
Inara tertegun. Pria itu benar-benar merebahkan tubuhnya di atas sofa kecil. Yang mana kaki Argha bahkan tidak bisa berselonjor. Tidur seperti itu, pasti sangat menyakitkan, terlebih Argha tak mengenakan kaus sama sekali.
‘Kenapa dia tidak menahanku dan memintaku untuk tidur bersamanya?’ batin Inara.
“Mas,” panggil Inara dengan hati-hati.
“Hem.” Argha menjawab dengan gumaman, tanpa menoleh sedikitpun.
“Biar aku saja yang tidur di sana, tidur seperti itu hanya akan membuat seluruh badan kamu sakit.”
“Tidur saja dengan tenang. Jangan cerewet!”