Karin, Sabrina, dan Widuri. Tiga perempuan yang berusaha mencari kebahagiaan dalam kisah percintaannya.
Dan tak disangka kisah mereka saling berkaitan dan bersenggolan. Membuat hubungan yang baik menjadi buruk, dan yang buruk menjadi baik.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elfira Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
21. Curiga
Cahaya senja menerobos melalui jendela kafe, menerangi secangkir kopi yang menguap perlahan di hadapan Karin. Hari ini Karin, dan Tara memutuskan santai sejenak di kafe, setelah sepulang bekerja. Tara banyak bercerita soal pekerjaannya hari ini, tapi Karin tak bisa menyimaknya dengan fokus, karena pikiran Karin sedang tertuju kepada Widuri.
Karin tak bisa berhenti mengkhawatirkan Widuri, apalagi sejak Yuan memberitahu kalau mereka sedang clubbing. Sejak saat itu Karin sama sekali tak bisa menghubungi Widuri, dan itu membuat rasa khawatirnya semakin menjadi-jadi.
Tara, yang duduk di hadapan Karin, mulai menyadari sikap Karin yang aneh. Dia pun meraih tangan Karin, dan menggenggam erat telapak tangan yang terasa dingin tersebut. Membuat Karin terhenyak dari lamunannya.
"Kamu melamun ya, sayang? tanya Tara lembut dan dibalas anggukan kecil oleh Karin. "Masih memikirkan soal Widuri?" tanya Tara lagi.
Karin mengangguk lagi, sambil menghela nafas dengan cukup keras. "Iya, Mas, sejak Yuan bilang mereka sedang clubbing, aku sama sekali tak bisa menghubungi Widuri. Aku jadi khawatir sekali pada Widuri."
"Sudah coba datang ke tempat kos temannya?" tanya Tara begitu simpati. Dia merasa kasihan melihat Karin selalu pusing oleh ulah Widuri.
"Sudah, Mas. Tapi ternyata Yuan sudah pindah sejak lama, dan Widuri sepertinya menyuruh Yuan untuk tak menjawab teleponku." jelas Karin.
Tara mengangguk, lalu mulai ikut memikirkan cara untuk masalah Karin. Beberapa menit berlalu dalam hening. Hingga tiba-tiba mata Tara berbinar, lalu dia menjentikan jarinya. "Sepertinya aku tahu cara menghubungi Widuri."
Karin mengangkat wajahnya dengan penuh harap. "Bagaimana caranya, Mas?"
"Kita hubungi dia menggunakan nomorku. Dia pasti mengangkatnya," jawab Tara.
Karin mengangguk setuju akan idenya. Segera, Karin menyebutkan nomor Widuri, dan Tara pun menghubungi adik Karin itu. Tara meletakkan ponselnya di tengah-tengah, dan mengaktifkan mode speaker.
"Biar aku saja yang bicara," bisik Tara. "Aku hanya akan membahas soal tawaran kerjaannya dengannya."
"Baik, Mas. Semoga Widuri mau mengangkat teleponnya," ucap Karin penuh harap.
Nada sambung pun terdengar, lalu tak lama suara Widuri memenuhi ruangan. "Halo?"
"Halo selamat sore, apa betul ini nomornya Widuri?" tanya Tara.
"Iya, betul ini nomor saya ... ini siapa ya?" jawab Widuri dengan suara yang terdengar ragu.
"Ini saya, Mas Tara. Saya telepon kamu karena mau tawarin kamu pekerjaan."
Widuri langsung tertawa geli di balik telepon. "Oh, Mas Tara toh ... Mas pasti bohong ya? Mas disuruh sama Mbak Karin kan buat telpon aku?"
Karin mulai panik. Dia takut Widuri akan menutup teleponnya. Namun, Tara dengan tenang memegang tangan Karin, dan memberi kode kepada Karin agar tetap tenang.
"Saya tidak disuruh Karin kok. Saya memang teringat sama kamu yang belum bekerja. Tapi jujur, saya memang kasihan sama Karin dan Ibu Puspa. Mereka berdua mengkhawatirkan kamu," ucap Tara.
"Haha, enggak mungkin banget Ibu khawatir sama aku. Anak kesayangan Ibu kan Mbak Karin, bukan aku," jawab Widuri, tawanya terdengar semakin keras.
"Iya, terserah kamu kalau kamu enggak percaya. Tapi, yang jelas maksud saya baik. Saya mau menawarkan pekerjaan yang cukup bagus di kantor," bujuk Tara.
Hening, tak ada jawaban dari seberang sana. Namun, itu tampaknya tak membuat Tara menyerah.
"Dengarlah Widuri, saya ingin kamu menata hidup kamu lagi. Kamu tuh masih muda, dan masih bisa mencari laki-laki yang lebih baik dari mantan kamu yang pengkhianat," ucap Tara terus membujuk Widuri.
Kali ini ucapannya dibalas oleh suara tawa Widuri yang semakin keras. Karin sontak merasa aneh, padahal Tara sedang tidak melucu, tapi kenapa adiknya itu malah tertawa seperti itu.
"Saya ini serius Widuri, kenapa kamu malah tertawa seperti saya sedang bercanda?" Wajah Tara terlihat lebih serius, dia tak suka dengan cara Widuri tertawa, yang seolah sedang mengejeknya.
Widuri memelankan suara tawanya. "Hehe, maaf Mas, aku tak bermaksud mengejek kamu. Aku tertawa karena aku juga sudah sadar, enggak seharusnya aku terlalu terpuruk karena laki-laki seperti Mas Bagas ... dan soal pekerjaan ..."
"Terima kasih banyak untuk tawarannya, tapi aku sudah bekerja kok sekarang," jawab Widuri.
Karin, dan Tara reflek saling berpandangan. Karin merasa sedikit lega mendengar kabar baik itu. Karin pun segera menulis sesuatu di layar ponselnya. Dia meminta Tara untuk menanyakan soal pekerjaan Widuri secara rinci.
Tara mengangguk, dan langsung menanyakannya. "Oh, syukurlah kalau kamu sudah bekerja lagi. Kalau boleh tahu kerja dimana, Wi?"
"Aku bekerja sebagai staf di kantor seorang pengacara," jawab Widuri.
Karin semakin merasa senang dan lega. Dia lalu meminta Tara untuk menanyakan juga kapan Widuri akan pulang ke rumah.
"Oh, baguslah. Lalu ngomong-ngomong kapan kamu pulang?" tanya Tara.
"Ah, sudah dulu ya Mas. Aku ada urusan penting." Giliran ditanya masalah pulang gadis itu bukan menjawab, Widuri malah berpamitan akan mengakhiri panggilan telepon.
"Eh, Widuri jawab dulu. Kapan kamu pulang ke rumah?" tanya Tara berusaha menahan Widuri mengakhiri panggilan.
Karin mengira Widuri sudah menutup telepon, tapi ternyata gadis itu bersuara kembali.
"Oh, iya Mas, aku baru keingetan sesuatu," ucap Widuri tiba-tiba.
"Ingat soal apa?" tanya Tara sambil mengerenyitkan keningnya.
"Mas Tara, apa pernah datang ke apartemen Marlon beberapa hari yang lalu? Atau Mas Tara punya apartemen di sana?" tanya Widuri.
Mendengar pertanyaan itu, raut wajah Tara seketika berubah. Dia mematung, dan terlihat gelisah. Dan Karin pun merasa aneh, serta sedikit curiga akan reaksi Tara.
"Ti-tidak, saya tidak pernah datang kesana," jawab Tara dengan suara yang gemetar, dan terbata.
"Ah, begitu. Berarti aku cuma salah lihat waktu itu. Hehe, kupikir Mas Tara habis mengunjungi seorang perempuan."
"Haha, iya kamu pasti salah lihat. Saya tidak mungkin menginap di hotel, apalagi bersama perempuan lain."
"Iya... iya, aku cuma salah lihat. Ya sudah dulu ya Mas, bye," ucap Widuri.
Widuri menutup panggilannya. Lalu suasana di kafe terasa berubah. Ucapan Widuri barusan terasa aneh di telinga Karin.
Karin lantas menatap Tara dengan hati yang mulai curiga, dan Tara balas menatapnya.
"Jangan berpikiran macam-macam Rin. Widuri pasti hanya salah lihat," ucap Tara, berusaha meredakan kecurigaan di hati Karin.
"Aku tak berpikiran macam-macam kok Mas... aku hanya..."
Karin tak mampu meneruskan ucapannya. Dia tak ingin berburuk sangka terhadap Tara, tapi rasa takut mulai hinggap di hatinya.
Tara menggenggam tangan Karin, dan matanya menatap Karin dengan sungguh-sungguh. "Aku sudah berjanji takan pernah menyakiti kamu, dan aku takan pernah melanggar janji yang kubuat sendiri."
Karin mengangguk mencoba percaya, tapi rasa takut di hatinya tak kunjung hilang.
"Jangan kamu pikirkan ucapan Widuri barusan. Bisa saja itu cuma akal-akalan dia untuk merusak hubungan kita," ucap Tara tanpa berpikir.
"Maksud Mas Tara apa?" Karin sontak mengangkat sebelah alisnya.
"Kamu tahu kan dia begitu marah dan benci sama kamu sekarang. Bisa jadi dia ingin menghancurkan hubungan kita dan enggak mau melihat kamu bahagia."
Karin merasa tak terima dengan pemikiran Tara yang seolah mengatakan kalau adiknya punya niat jahat. Karin pun menghempaskan tangan Tara begitu saja. "Jangan bicara seperti itu Mas! Mas pikir Widuri sejahat itu? Aku ini kakaknya. Enggak mungkin Widuri menjahati kakaknya sendiri!"
"Iya aku tahu itu enggak mungkin, tapi enggak ada salahnya kalau kamu sedikit waspada," peringat Tara.
Karin tersenyum sinis, sambil menggelengkan kepala. Dia benar-benar tak mengerti dengan kecurigaan yang ada di pikiran Tara.
Dengan emosi Karin berdiri dari tempatnya. "Aku mau pulang sendiri hari ini. Mas enggak perlu antar aku."
"Rin, jangan marah dong Rin." Tara bangkit, lalu berusaha menahan langkah Karin.
Karin mengacuhkannya, dan tetap memilih pergi dari tempat itu. Karin berjalan terburu-buru keluar kafe, lalu menyebrangi jalan dengan langkah yang cepat.
Karin sudah membentangkan tangannya saat menyebrangi jalanan, tapi entah kenapa satu mobil seperti kehilangan kendali, dan tetap melaju ke arahnya.
"Karin awas!" teriak Tara, sementara Karin tak bergerak seperti membatu di tempat.
Tara pun berlari ke arah Karin lalu menarik tubuh Karin dengan cepat, tapi keduanya tetap sedikit terpental karena tubuh Karin sempat terbentur moncong mobil. Lalu keduanya menggelinding terjatuh ke sisi jalan dalam keadaan berpelukan.
Suara orang-orang terdengar mulai ramai di sekitar tempat kejadian. Karin membuka matanya perlahan, dan mendapati Tara sedang menatapnya dengan penuh kekhawatiran, dan nafas tersengal-sengal.
"Karin, kamu enggak apa-apa?" tanya Tara sambil mendekap Karin, dan menatap wajah Karin. Dia bahkan meraba wajah Karin untuk memastikan kondisi Karin.
Karin menggeleng dengan tubuh yang bergetar, dan jantung yang terasa berdegup kencang. "A-ku enggak apa-apa Mas, aku hanya kaget,"
"Syukurlah kamu enggak apa-apa. Mas benar-benar panik barusan," ucap Tara, peluhnya tampak bercucuran memenuhi dahinya.
Melihat betapa khawatirnya Tara, membuat Karin menyesal sudah sempat mencurigai dan meragukan Tara.
Karin membalas memeluk tubuh Tara. "Maafkan sikapku yang tadi Mas ... dan terima kasih sudah menolong aku Mas. Kalau enggak ada kamu mungkin aku --." Karin terbata, dia tak mampu membayangkan apa yang akan terjadi jika Tara tak menolongnya.
Tara mengelus punggung Karin dengan hangat. "Sudahlah tak usah kamu pikirkan yang tadi. Mas sangat bersyukur kamu enggak apa-apa."
Tara pun membantu Karin untuk berdiri. Terlihat orang-orang mengerumuni, dan menatap keduanya dengan khawatir.
"Kalian berdua enggak apa-apa?"
"Ada yang luka tidak? Apa perlu di bawa ke rumah sakit?"
"Kami enggak apa-apa kok," jawab Tara sambil menuntun Karin, untuk mendekat ke arah mobil yang hampir menabrak Karin.
"Hei, keluar! Tanggung jawab dong!" Beberapa orang mengerumuni mobil itu, dan meminta pengendara untuk turun.
Pengendara mobil itu keluar, sambil mengangkat tangannya, dan berusaha menenangkan orang-orang. "Tenanglah saya akan bertanggung jawab, dan membawa mereka berdua ke rumah sakit."
Pengendaranya ternyata seorang wanita yang sudah lanjut usia, tapi tampak masih modis dengan kacamata hitam, dan setelan kemeja, serat rambut pendek yang dicat warna abu-abu.
Dia menurunkan kacamata hitamnya. "Maafkan saya, saya benar-benar tidak sadar kalau ada yang menyebrang. Saya pasti akan membawa mereka--"
Ucapan wanita tua itu terhenti saat melihat ke arah Karin dan Tara. Tara, dan wanita tua itu sama-sama tampak terkejut.
"Loh, Tara!" ucap wanita itu sambil menunjuk Tara.