Kinanti, seorang gadis sederhana dari desa kecil, hidup dalam kesederhanaan bersama keluarganya. Dia bekerja sebagai karyawan di sebuah pabrik untuk membantu memenuhi kebutuhan hidup.
Kehidupannya yang biasa mulai berubah ketika rencana pernikahannya dengan Fabio, seorang pria kota, hancur berantakan.
Fabio, yang sebelumnya mencintai Kinanti, tergoda oleh mantan kekasihnya dan memutuskan untuk membatalkan pernikahan mereka. Pengkhianatan itu membuat Kinanti terluka dan merasa dirinya tidak berharga.
Suatu hari, ayah Kinanti menemukan sebuah cermin tua di bawah pohon besar saat sedang bekerja di ladang. Cermin itu dibawa pulang dan diletakkan di rumah mereka. Awalnya, keluarga Kinanti menganggapnya hanya sebagai benda tua biasa.Namun cermin itu ternyata bisa membuat Kinanti terlihat cantik dan menarik .
Kinanti akhirnya bertemu laki-laki yang ternyata merupakan pengusaha kaya yaitu pemilik pabrik tempat dia bekerja.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Amelia's Story, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2 Tegarnya Hati Kinanti
Kinanti duduk di depan jendela kamarnya, menatap cincin tunangan di tangannya. Cincin itu, yang dulu melambangkan harapan dan cinta, kini hanya menyisakan luka. Gosip para tetangga tentang pembatalan pernikahannya dengan Fabio telah menyebar luas. Setiap bisikan, setiap tatapan penuh belas kasihan, seperti duri yang menusuk hati Kinanti dan keluarganya.
Melihat orang tuanya ikut terluka karena gunjingan itu, Kinanti memutuskan untuk mengakhiri semuanya. Dia ingin mengembalikan cincin itu kepada Fabio, agar tidak ada lagi alasan bagi siapa pun untuk berbicara buruk tentang keluarganya. Dengan berat hati, Kinanti menghubungi Fabio dan meminta bertemu. Fabio dengan santai menyetujuinya dan menyebutkan sebuah kafe sebagai tempat pertemuan.
[Hallo, mas Fabio]
[Ya, ada apa lagi, kamu menghubungiku!]Fabio dengan suara menekan.
[Kinan, cuma mau mengembalikan cincin yang sudah mas berikan!]Kinan dengan suara tertahan.
[Baik, kamu datang saja ke kafe nanti aku sharelock]Fabio dengan dinginnya, sambil tersenyum ke arah Citra yang ada di depannya.
[Baik, Kinan ke sana sekarang]
Sore itu, dengan langkah tegap meski hatinya rapuh, Kinanti menuju kafe yang dimaksud. Dia membawa cincin itu dalam kotak kecil, berniat menutup babak menyakitkan dalam hidupnya. Namun, ketika ia tiba, pemandangan di depannya membuat jantungnya seperti berhenti berdetak.
Di sudut kafe, Fabio terlihat tertawa lepas bersama seorang wanita.
"Citra? sedang apa dia sama Mas Fabio?"gumam Kinanti.
Wanita itu adalah Citra, sepupu Kinanti sendiri. Mereka duduk berdekatan, saling melempar senyum dan tatapan mesra. Seolah dunia hanya milik mereka berdua.
Kinanti merasakan air matanya menggenang, tapi ia menahan diri. Ia tahu, ini bukan saatnya menunjukkan kelemahannya. Dengan keberanian yang ia kumpulkan, Kinanti melangkah mendekat ke meja mereka.
“Mas Fabio,” panggil Kinanti dengan suara tenang, meskipun hatinya bergejolak.
Fabio terkejut melihat Kinanti berdiri di depannya. Citra, di sisi lain, tersenyum tipis, seolah menikmati momen ini.
"Ahhh iya, Kinan."Fabio pura-pura terkejut.
“Ada yang bisa aku bantu, Kinanti?” tanya Fabio dengan nada datar, mencoba bersikap biasa.
Kinanti menatap mereka berdua dengan senyuman kecil yang dipaksakan. Dia mengeluarkan kotak cincin dari tasnya dan meletakkannya di meja. “Aku hanya ingin mengembalikan ini. Cincin ini sudah tidak ada artinya lagi.”
Fabio menatap cincin itu, lalu kembali menatap Kinanti. “Kinan, aku—”
Kinanti mengangkat tangan, menghentikannya. “Tidak perlu menjelaskan apa-apa lagi, Mas Fabio. Keputusanmu sudah jelas. Aku hanya berharap kalian bahagia.”
Suaranya terdengar lembut, tetapi di baliknya tersimpan luka mendalam. Dia kemudian menoleh ke arah Citra. “Selamat, Cit. Fabio sekarang milikmu. Jaga dia baik-baik.”
Citra hanya mengangguk dengan senyum yang penuh kemenangan. "Tentu... dia akan bahagia bersamaku!"
Fabio tampak canggung, ingin mengatakan sesuatu, tetapi Kinanti tidak memberinya kesempatan.
Kinanti berbalik dan berjalan keluar kafe dengan kepala tegak, meskipun hatinya hancur berkeping-keping. Di luar, angin sore menyapu wajahnya, dan akhirnya air mata yang ia tahan jatuh membasahi pipinya.
Namun di dalam hatinya, ia bersumpah untuk bangkit. Dia tidak akan membiarkan rasa sakit ini mengalahkannya.
"Aku berjanji, suatu saat kalian akan merasakan kesakitan seperti yang kurasakan!" Kinanti mengepalkan tangannya.
Fabio dan Citra boleh saja mengkhianatinya, tetapi Kinanti tahu, dia lebih kuat daripada yang mereka kira. Hari itu menjadi awal dari perjalanan Kinanti untuk menemukan kebahagiaan sejati yang tak tergantung pada orang lain.
Pulang ke Rumah yang Sunyi
Langit mulai gelap ketika Kinanti melangkah pelan menuju rumah kecilnya di pinggir desa. Wajahnya terlihat lelah dan matanya sedikit bengkak, hasil dari air mata yang tadi ia tumpahkan di sepanjang perjalanan pulang. Saat sampai di depan rumah, suara sayup-sayup penggorengan terdengar dari dapur kecil mereka.
Ibu Kinanti, Bu Wati, sedang memasak makan malam sederhana. Asap dari penggorengan berisi telur dan kuah sayur bening menyelimuti ruangan sempit itu. Bu Wati memaksakan senyum saat melihat Kinanti masuk ke rumah, meskipun di dalam hatinya ia tahu ada sesuatu yang berat sedang dipikul putrinya.
“Kinan, sudah pulang? Ibu masak sayur bayam sama telur. Maaf ya, cuma ini yang ada,” ujar Bu Wati sambil melirik Kinanti yang duduk di kursi dengan napas terengah.
“Enggak apa-apa, Bu. Ini sudah lebih dari cukup,” jawab Kinanti, mencoba tersenyum walau hatinya masih terasa perih.
Sementara itu, di luar rumah, suara tetangga yang bergosip terdengar jelas. Beberapa wanita sedang bercakap-cakap di depan rumah mereka.
“Kasihan, Bu Wati sama Pak Karyo. Gagal jadi besan keluarga ningrat,” ujar salah satu tetangga dengan nada mengejek.
“Iya, padahal anaknya Fabio itu cocok banget buat mengangkat derajat mereka. Eh, malah ditinggal begitu saja,” sambung yang lain sambil tertawa kecil.
Pak Karyo, ayah Kinanti, yang baru saja pulang dari pekerjaan serabutan, hanya bisa duduk di kursi bambu tua di teras rumah. Ia mendengar setiap kata dari para tetangga, tapi memilih diam. Sebagai kepala keluarga, hatinya teriris mendengar cibiran itu. Ia merasa gagal memberikan kehidupan yang layak bagi istri dan anaknya, apalagi setelah pertunangan Kinanti dibatalkan sepihak.
Melihat ayahnya termenung di luar, Kinanti bangkit dan menghampiri. Ia duduk di sebelah ayahnya, berusaha memberikan dukungan meski dirinya sendiri sedang rapuh.
“Pak, jangan dengarkan mereka. Kinan masih di sini, masih bekerja untuk kita semua. Kita enggak butuh orang lain buat bahagia,” ujar Kinanti sambil menggenggam tangan ayahnya.
Pak Karyo menoleh, menatap wajah putrinya yang tampak lebih dewasa daripada usianya. “Maafkan Bapak, Nak. Bapak belum bisa membahagiakan kamu.”
Kinanti menggeleng sambil tersenyum lembut. “Pak, selama kita masih bersama, itu sudah cukup buat Kinan.”Kinan juga menguatkan Sang Ayah. "Bagi Kinan, Ayah dan ibu sehat itu sudah lebih dari cukup."
"Mba Kinan, seminggu lagi Kirana mau ujian, belum bayar SPP 2 bulan, kalau enggak dibayar... Kiran enggak bisa ikut ujian Mba,"lirih Kirana adik Kinanti yang duduk di bangku SMA.
"Hhh, iya dek, nanti besok habis gajian mba langsung ke kasih uangnya ke ibu, biar ibu yang ke sekolah kamu ya."Kinan menatap nanar wajah adiknya, dengan senyuman tipisnya.
Malam itu, mereka makan bersama dengan suasana penuh keheningan. Meski sederhana, kehangatan keluarga kecil itu tetap terasa.
Namun, jauh di dalam hati Kinanti, ia bertekad untuk mengubah nasib keluarganya. Baginya, cibiran dan hinaan dari orang-orang tak akan menghentikannya.
Kinanti berjanji pada dirinya sendiri ia akan bangkit dan menunjukkan pada dunia bahwa gadis desa sederhana seperti dirinya pun bisa sukses dan bahagia tanpa bergantung pada siapa pun.
Di sebuah rumah besar bergaya kolonial, keluarga Fabio sedang berkumpul di ruang tamu. Ibu Fabio, Ny. Astari, duduk di kursi berlapis beludru sambil menyeruput teh hangat. Senyum puas terukir di wajahnya, memikirkan rencana besar yang akan segera terwujud. Fabio, yang duduk di sampingnya, terlihat tenang namun ada sedikit kecanggungan dalam ekspresinya.
“Kita harus segera meresmikan hubungan Fabio dengan Citra,” ujar Ny. Astari dengan nada tegas. “Keluarga Citra itu mapan, terhormat, dan sejajar dengan kita. Ini adalah keputusan yang tepat.”
Ayah Fabio, Pak Dimas, hanya mengangguk setuju sambil membaca korannya. Baginya, hubungan ini bukan hanya soal cinta, melainkan aliansi strategis yang bisa menguntungkan keluarga mereka.
“Sudah ada kabar dari keluarga Citra, Bu?” tanya Fabio dengan suara datar, meskipun hatinya tak sepenuhnya merasa lega.
“Mereka sudah setuju dengan pertemuan keluarga. Minggu depan, kita akan makan malam bersama di restoran mewah di kota,” jawab Ny. Astari dengan antusias.
Fabio mengangguk perlahan. Dia memang menyukai Citra, wanita cerdas dan cantik yang selama ini diam-diam masih ada di hatinya. Namun, di sudut kecil hatinya, ada rasa bersalah yang terus menghantui—terutama pada Kinanti. Dia tahu bahwa keputusan membatalkan pertunangan mereka melukai banyak hati, tapi baginya, itu adalah langkah untuk masa depan yang lebih cerah.
“Kita harus memastikan semuanya berjalan lancar,” lanjut Ny. Astari. “Keluarga Citra pasti menginginkan acara yang megah dan elegan. Aku akan menyuruh event organizer terbaik untuk mengurus ini.”
Fabio hanya diam, membiarkan ibunya mengambil kendali penuh. Bagi keluarga ini, pernikahan bukan sekadar soal perasaan, melainkan alat untuk memperkuat status sosial mereka.
Sementara itu, di rumah keluarga Citra, suasana tak jauh berbeda. Citra tersenyum lebar sambil mendengarkan ibunya, Bu Ratih, berbicara dengan penuh semangat tentang rencana pertemuan keluarga.
“Kamu benar-benar beruntung, Citra. Fabio itu lelaki yang sempurna—ganteng, berasal dari keluarga terpandang, dan punya masa depan cerah,” kata Bu Ratna sambil memegang tangan putrinya.
“Iya, Bu,” jawab Citra sambil tertawa kecil. “Fabio memang pilihan terbaik. Lagipula, aku yakin aku bisa membuatnya bahagia.”
Di dalam hati, Citra tahu hubungan ini juga merupakan cara untuk membuktikan dirinya lebih unggul dari Kinanti. Meski mereka bersepupu, Citra selalu memandang rendah Kinanti yang hidup sederhana. Baginya, merebut Fabio dari Kinanti adalah kemenangan besar yang patut dirayakan.
Rencana pertemuan kedua keluarga sudah disusun rapi. Dalam waktu dekat, pernikahan Fabio dan Citra akan diumumkan secara resmi. Semua tampak sempurna di permukaan, namun tak ada yang tahu, apakah kebahagiaan itu benar-benar tulus, atau hanya sekadar permainan status dan ambisi.
di awal minggu depan mulai pindah ke kantor pusat... ternyata mbulettt
di awal nenek lastri.. sekarang nenek parwati.. 😇😇😇
nyong mandan bingung kiye...